"Makasih udah mau nganterin aku ya, Git." Ella menepuk bahu Gita pelan, sesaat setelah ia turun dari motor.
"Santai aja," balas Gita. "Duluan, El."
Ella mengangguk. "Ati-ati."
Mata Ella mengamati tubuh Gita yang semakin mengecil, kemudian menghilang di persimpangan jalan. Ia lalu berbalik arah dan bergegas masuk ke dalam rumah.
"Tumben pulang paling akhir," sambut Galih yang sedang duduk santai di ruang tamu sembari membaca majalah.
"Kerja kelompok, Kak." Ella menjawab singkat.
Karena sang Kakak hanya mengangguk, Ella memutuskan untuk melanjutkan langkahnya menuju kamar. Gadis itu membersihkan badan sebentar, lalu pergi ke ruang makan.
"Makan dulu, El," ujar Renty yang dengan sigap mengambilkan nasi untuk Ella.
"Iya. Makasih, Ma." Ella menerima piring itu dan mulai mengambil lauk.
Suasana di ruang makan mendadak hening. Hanya ada suara sendok yang bersentuhan dengan piring. Keempat manusia itu sangat menikmati masakan Renty, yakni sayur sup dan ikan mujair goreng.
"Gimana sekolahnya, El? Udah nyaman, 'kan?" tanya Gamal memecah keheningan.
"Udah dong, Pa. Udah nyaman sama salah satu cowok di sana malahan," jawab Galih mendahului jawaban adiknya.
"Ih, Kakak sok tau! Lagian yang ditanya 'kan aku, kenapa Kakak yang jawab?" Ella menendang kaki Galih kesal.
Galih mengaduh. Akan tetapi, raut wajahnya yang menahan tawa tidak menunjukkan bahwa ia sedang kesakitan.
"Ya nggak apa-apa. Iya 'kan, Pa?"
Gamal hanya menggeleng melihat kelakuan kedua anaknya.
"Aku nyaman kok, Pa. Guru-gurunya baik, anak-anaknya juga asik banget. Cuma peraturannya lumayan ketat, udah kayak sekolah negeri." Kini Ella yang benar-benar menjawab.
"Alhamdulillah. Soal peraturan yang lumayan ketat, Papa sama mama emang sengaja cari yang kayak gitu, biar kamu terbiasa hidup disiplin," ucap Renty yang sedari tadi lebih banyak menyimak.
"Padahal waktu smp udah ketat juga," gerutu Ella.
Gamal mengangguk. "Gimana persiapan pindahannya? Udah berapa persen kira-kira?"
"Udah sembilan puluh persen. Tinggal dikit lagi, Pa." Galih berkata dengan mantap.
Ella menggaruk tengkuknya. "Aku masih dikit banget. Mungkin belum nyampe lima puluh persen."
"Ella, kita 'kan udah ngingetin kamu dari sebulan yang lalu." Gamal menatap putrinya sangsi.
"Ya, habisnya tugas rumah aku banyak banget." Ella mencoba mencari pembelaan. "Lagian aku juga udah nyaman banget sama rumah ini, Pa. Sayang aja kalo tiba-tiba harus pindah."
"Ya udah, biarin Ella tinggal di sini aja, Pa, Ma. Sekalian dijual sama rumahnya. Kali aja ada yang mau ngurusin. Lagian tugas kok dijadiin alesan, bilang aja mager" cibir Galih yang langsung mendapat pelototan dari Renty dan Gamal.
"Tugasku emang banyak loh, Kak!"
"Bukannya kamu udah masukin barang-barang ke kardus ya?" celetuk Renty yang sudah beberapa kali melihat kardus-kardus besar di dalam kamar anak bungsunya.
"Mama mah nggak bisa diajak kerja sama. Nggak asik." Ella memanyunkan bibirnya.
Gamal menghela napas lega. "Papa pikir Ella beneran belum nyiapin barang."
***
"El, jangan buang sampah sembarangan!" Puput mengingatkan ketika Ella melempar bungkus permen ke lantai begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mata Ella [END]
HorrorBagi Ella, gangguan dari sosok-sosok mengerikan bukan merupakan hal yang aneh. Ia selalu memakluminya sebagai konsekuensi dari kelebihan yang ia miliki. Walaupun terkadang, ia masih sangat terganggu dengan hal itu. Apalagi jika pikirannya sedang kac...