•Tidak Sesuai Rencana•

41 7 0
                                    

Siswa-siswi kelas 10 IPS 2 sedang melakukan diskusi saat ini. Lebih tepatnya diskusi mata pelajaran sastra Inggris.

Sayangnya, Ella tidak bisa fokus mendengarkan temannya yang sedang berdiri di depan. Tatapannya sejak tadi terarah pada sosok wanita yang pernah ia lihat di kantin sekolah—sosok perempuan berpakaian putih, berambut panjang, serta punggungnya bolong. Entah mengapa ia mondar-mandir di balik jendela kelasnya.

"Kamu yang lagi liat ke jendela, tolong simpulkan apa yang baru saja ketua kelas presentasikan!" perintah Kemal selaku guru sastra inggris.

Karena Ella masih menghadap ke arah jendela, salah seorang teman sekelompoknya menyenggol lengannya. Ella menoleh. Ia heran saat menyadari bahwa tatapan seluruh isi kelas terarah padanya. Namun, ia segera mendapatkan jawaban dari keheranannya ketika matanya bertemu dengan mata Kemal.

"Kenapa diem? Kamu nggak denger, saya bilang apa?" bentak Kemal.

"Simpulin apa yang tadi udah dipresentasiin sama ketua kelas." Teman yang tadi menyenggol lengan Ella berbisik.

Ella menggigit bibir. Bagaimana bisa ia memberikan simpulan, jika mendengarkan saja tidak?

Aduh, mati aku! batin Ella.

"Sa-saya nggak tau, Pak. Maaf, saya tadi nggak merhatiin presentasi dari kelompok 1." Walaupun kalimatnya terbata-bata, tetapi Ella tetap memberikan jawaban. Karena ia tahu, jika ia diam saja, maka Kemal akan semakin memaki dirinya.

Ella paham betul apa saja kebiasaan guru sastra inggrisnya itu. Saking pahamnya, ia tahu bagaimana nasibnya sehabis ini.

"Kamu ini, ke sekolah bukannya belajar, malah ngelamun aja kerjaannya! Kamu nggak kasian sama orang tua kamu yang udah kerja banting tulang demi biayain sekolah?" bentak Kemal, lagi. "Keluar sekarang juga! Saya nggak butuh murid yang kerjaannya cuma ngelamun di kelas!"

Ella menghela napas pasrah. Ia tidak akan melawan, karena apa yang ia dapatkan adalah hasil dari apa yang sudah ia lakukan. Ia pun berjalan keluar kelas dengan kepala yang tertunduk malu.

Dari tempat duduknya, Yuli menatap Ella iba. Demikian pula dengan Gita.

***

Pelatih basket membunyikan peluitnya dengan tempo panjang. Itu berarti, waktu istirahat telah tiba. Satu per satu anggota basket mulai meninggalkan lapangan dan mencari tempat yang nyaman untuk beristirahat.

Daripada berkumpul dengan teman-teman seangkatan ataupun kakak kelasnya, Ella lebih memilih untuk duduk sendirian di bawah pohon. Iya, sendirian. Yuli tidak masuk hari ini karena ada keperluan keluarga. Lebih tepatnya, ia harus membantu mengurus adik dari ibunya yang meninggal dunia kemarin malam.

Di dalam hatinya, Ella terus merutuki dirinya sendiri yang kehabisan air mineral. Jika harus membeli di kantin, jaraknya terlalu jauh dengan posisinya saat ini.

Jika pergi ke koperasi, ia berpikir bahwa tempat itu sedang tutup. Koperasi sekolahnya itu memang lebih sering tutup ketika jam ekstrakulikuler tiba. Entahlah, tidak ada yang tahu penyebab pastinya kecuali sang Pengurus.

Ella mengangkat alis saat tahu bahwa Ketua Tim Basket Putra sedang berjalan ke arahnya. Seperti yang sudah Ella duga, laki-laki itu benar-benar berhenti dan duduk di sebelahnya.

"Haus, 'kan? Nih, minum," ucap Reza sembari menyodorkan sebotol air mineral kepada Ella.

Tangan Ella terulur untuk mengambil botol tersebut. "Makasih, Kak. Maaf ngerepotin."

"Sama sekali nggak ngerepotin kok. 'Kan tinggal pergi ke koperasi aja," ujar Reza santai.

Menyadari raut heran Ella, laki-laki itu kembali berujar. "Tadi aku paksa bapaknya biar buka koperasi. Lagian udah tau jamnya ekskul, bukannya nyediain konsumsi buat anak-anak, malah tutup. 'Kan nggak baik nolak rezeki."

Mata Ella [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang