3. Kecewa

53 10 1
                                    

Larissa tertidur dalam dekapan Senja karena kelelahan menangis. Sepertinya ia memang benar-benar mengeluarkan semua perasaan yang ia rasakan tadi, Senja sendiri terus menenangkan Larissa tanpa bertanya tentang hal apa yang membuatnya bisa sehisteris itu.

"Bawa ke kamar lo aja, Ja." Senja menggangguk membawa Larissa dalam dekapannya menuju ke lantai atas.

"Selamat tidur, sayang. I hope you can remember me." Senja melepaskan alat bantu dengar Larissa, mengecup kening gadis itu sebentar lalu keluar dari kamar.

"Sejak kapan?" Senja baru saja mendudukkan dirinya di sofa ruang tengah dan pertanyaan Naren sudah menyambutnya.

"Apanya?" Senja mendongakkan kepalanya, menatap lampu ruang tengah dengan pandangan sayu.

"Barcode. Sejak kapan dia barcode?"

"Gue nggak tahu, gue baru tahu itu tadi pagi waktu ngobati tangan dia yang memar."

"Lo tahu kan, itu bisa jadi berbahaya kalau di biarin terus." Samudra memperingatkan.

Walaupun mereka berada dijurusan arsitektur dan teknik sipil tapi mereka juga mengerti tentang psikologi, karena Mama Samudra yang bekerja di bidang psikologi dan juga karena mereka pernah menemani Starla saat mengalami depresi dulu.

"Gue nggak mau dia kayak Starla. Gue nggak tahu udah sejauh mana mentalnya kena. Haruskah gue bertindak kali ini?" Senja meminta saran pada ketiga sahabatnya.

Jujur, Senja merasa sedikit trauma, karena dulu Starla juga pernah berada diposisi Larissa saat ini. Bedanya Starla dulu mengonsumsi obat-obatan dan berakhir membuat ginjalnya rusak, walaupun kini Starla sudah sembuh dari depresinya tapi gadis itu masih perlu pengawasan ketat apalagi mengenai penyakitnya.

"Kalau gitu bergeraklah."

"Ya?" Kalimat yang Naren ucapkan tadi tidak begitu jelas untuk Senja tangkap.

Naren menghela nafasnya, "Cuma lo yang bisa mencegahnya Senja. Walaupun dia nggak ingat sama lo tapi pasti dalam hatinya dia percaya sama lo. Jadi sekarang bukan waktunya buat diem lagi, lakukan apapun yang menurut lo bisa bantu dia." Naren menjelaskan maksudnya.

"Dan kami siap membantu." Reno menambahkan.

"Kami mendukung apapun keputusan lo." Samudra pun melakukan hal yang sama.

Senja tersenyum lebar, "Nggak ada ruginya gue bertahan jadi sahabat kalian."

Mereka tertawa bersama, "Walaupun kita kadang sedikit gila, kita itu bermanfaat." Celetuk Naren disela tawanya.

"Lo aja yang gila, gue enggak."

"Gue juga nggak mau gila kayak lo."

Lantas mereka kembali bercengkerama, menceritakan apapun yang bisa mereka ceritakan karena memang seperti itulah persahabatan mereka. Tidak ada yang tertutup semuanya terbuka, mereka mengetahui suka dan duka, bahkan luka dari masing-masing orang.

Menjelang malam hari, Senja mencoba mendatangi kamarnya. Gadis itu sepertinya baru terbangun.

"Larissa, aku antar kamu pulang." Suara halus Senja menyapa pendengarannya.

"Aku bisa pulang sendiri, Senja."

"Nggak ada penolakan. Sekarang kamu mandi, aku ada baju ganti kok walaupun mungkin sedikit kebesaran." Senja menyodorkan baju ganti yang ia bawa.

"Nggak perlu, aku pakai ini aja." Tolaknya halus.

"Bajumu kotor dan ada bercak darahnya juga, nggak mungkin kan kamu pulang dengan keadaan kayak gitu. Nggak usah bantah, kamar mandinya ada di sana. Kalau udah selesai langsung ke bawah." Senja dengan tegas menunjuk arah kamar mandi disudut kamarnya.

Senja || Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang