Dev terburu-buru berjalan dari dalam rumah, dia sudah telat tiga puluh menit. Artinya menyimpang dari perjanjian, padahal Dev biasanya hanya telat lima sampai sepuluh menit.
Dev sempat tidak sadarkan diri beberapa jam karena kebanyakan meminum Alkohol, dia pikir pekerjaanya hanya sampah yang menjadi beban hidupnya, jadi untuk menghilangkan pikiran itu sejenak, dia meminum Alkohol sebanyak mungkin, sampai lupa memiliki perjanjian dengan Ken.
Ponsel dalam saku berbunyi, dia mengambil ponsel tanpa menghentikan jalannya lalu menempelkan di telinga. Suara tegas Ken terdengar lantang bahkan lebih lantang dari biasanya, maklum, Dev sudah membuatnya menunggu.
"Cepat datang! Kita tidak punya waktu banyak," suruh orang dalam telepon.
"Aku akan segera sampai," jawab Dev lalu mematikan telponnya.
Dia berjalan memasuki mobil pribadinya yang sudah siap menghantarnya kemana saja, di dalam mobil, Dev duduk di pojok dekat jendela. Dia menyangga dagu dengan salah satu tangannya.
"Kita akan kemana?" tanya sopir pada Dev, mereka sudah ada di tengah jalan raya.
"Tempat biasa," jawab Dev singkat.
entah mengapa pembunuhan kali ini membuat Dev ragu, seakan ada yang salah, dia menyalakan Ac lebih tinggi agar pikirannya ikut dingin lalu menuang soda dalam gelas. Dev meneguk soda di sepanjang perjalanan, harinya kosong jika tidak ada kegiatan. Umurnya memang mengharuskan dia memiliki anak tapi pada kenyataanya, semua wanita yang dia bawa selalu di tolak oleh kedua orang tuanya.
"Bodoh!" ucap Dev ketika mengingat penolakan kedua orang tuanya pada gadis terakhirnya.
Mereka sudah sampai di tempat termahal yang biasa Dev gunakan untuk merancang rencana sebelum melancarkan aksinya, dia turun dari mobil. berjalan masuk restoran mencari letak keberadaan temannya, ada lambaian tangan ke arahnya yang tidak asing. Ternyata Ken, dia mendekati Ken di salah satu bangku.
"Habis dua soda? Apa menungguku cukup lama?" Tanya Dev sambil duduk di depan Ken.
"Tidak, aku juga baru datang, tapi aku hanya ingin soda ini, rasanya lebih enak dari biasa," jawab Ken, dia meletakkan gelas soda yang sudah kosong di atas meja.
"Bagaimana? Apa kita jadi membunuh Tuan Axcel?" ucap Dev sedikit serius.
"Jika tidak, lalu buat apa kita di sini? Ah, ayolah kita meluncurkan sekarang," ajak Ken sambil menarik tangan Dev keluar restoran.
Mereka tergabung dalam geng mafia terbesar dalam kota yang bernama Rogher, namun bedanya dengan geng mafia lain, aksi mereka selalu tertutup dari pandangan semua orang. Seakan tidak pernah melakukan pembunuhan padahal ribuan raga sudah di layangkan.
Ken dan Dev mulai berlalu menaiki mobil ke tempat yang sudah di persiapkan, Di sana Tuan Axcel di sekap tanpa bius. Dev bilang, biar dia tau jika yang di permainkan adalah tukang main. Dev kembali menyangga dagu di jendela, rasa ragu datang. Mencoba mencegah kejahatan kali ini tapi keinginan Dev lebih tinggi dari rasa iba.
"Aku ragu membunuh Tuan Axcel," gumam Dev, pandangannya tiba-tiba kosong.
"Bodoh! Yang kau inginkan malah kau ragukan," timpal Ken melirik Dev sekilas.
"Dari tadi, pikiranku menghalangiku," keluh Dev, beralih menyangga kepalanya.
"Singkirkan pikiran bodohmu itu, yang terpenting musuh kita ini harus mati!" gertak Ken menegaskan.
Mobil semakin cepat melaju hingga berhenti di pelosok desa, ada rumah tua di sana. Kalo di lihat dari luar, seperti rumah orang kaya pada umumnya yang bertingkat tiga. Dev dan Ken turun dari dalam mobil, mereka berjalan memasuki rumah tua itu.
Baru di depan pintu, mereka sudah menemui beberapa mayat laki-laki dan perempuan yang di gantung. Terus melangkah ke dalam, ada gundukan di lantai. Gundukan apa? Ya kuburan orang yang mereka benci, di kubur dengan tidak layak dan mengenaskan.
Gundukan yang di temui semakin ke sini maka semakin banyak, seakan-akan lantai rumah tua ini adalah kuburan. Dev membuka pintu gudang dengan kasar, dia menyeringai tajam pada Tuan Axcel yang di ikat di sudut dinding. Jika tidak menyampuri urusannya mungkin umurnya bisa lebih panjang.
"Apa kabarmu, Tuan Axcel?" tanya Dev, dia mencolek dagu Tuan Axcel padahal Tuan Axcel sedang bersusah payah melepaskan ikatan tangannya.
"Bejat! Ada urusan apa kau menangkapku, ha?!" gertak Tuan Axcel yang sibuk dengan tangannya.
"Apa? Bejat? Bukannya kau yang bejat, kalau tidak karenamu, mungkin aku tidak akan melewatkan kontrak besar dari luar negri!" Bentak Dev, dia mengeluarkan pistol dari sakunya.
"Dan itu, mengurangi pemasukan perusahaan dan bisa mengakibatkan kebangkrutan!" imbuhnya dengan nada lebih tinggi.
Dev mengarahkan pistol tepat di kepala Tuan Axcel, dia akan mengakhiri hidupnya sampai di sini. Tapi tiba-tiba, ada yang datang dari luar dengan berlari.
"Berhenti!" bantah seorang wanita yang baru datang, dia berdiri di depan Tuan Axcel.
"Menyingkirlah nona, biarkan dia merasakan balasannya!" suruh Dev, fia tidak mau melukai orang yang tidak ada sangkut pautnya.
"Aku akan melakukan apapun yang kamu mau, tapi jangan lukai papaku," ucap wanita itu sambil menunduk.
"O, drama yang bagus Tuan Axcel, gadismu berani melindungimu," ledek Ken yang menonton dari kejauhan.
"Jangan Vil, ini pantas untuk papa," cegah Axcel pada anaknya, dia tidak mau gadisnya kenapa-napa.
"Baiklah nona, tapi ingat! Apa yang aku mau harus kau lakukan!" Gertak Dev sambil mencolek dagu wanita itu.
"Tidak masalah, sekarang lepaskan papaku," pinta wanita itu.
Dev memberi perintah pada Ken dengan satu kedipan matanya, jika salah satu mata Dev berkedip ke arahnya, itu berarti dia menyuruh Ken untuk melepaskannya. Ken dengan berat hati melepaskan Tuan Axcel, hari ini dia gagal melihat pertumpahan darah musuhnya. Biasanya, sudah mendapat kepuasan karena keberhasilan misinya.
Tuan Axcel memeluk gadisnya setelah di lepaskan oleh Ken, dia juga meminta maaf pada Dev karena telah memainkan kepercayaan yang di berikan padanya. Dev hanya menanggapi dengan senyum miring.
"Siapa nama gadismu itu, Tuan?" tanya Dev, dia tertarik pada wanita itu pada pandanga n pertama tadi.
"Villia, dia juga anggota mafia tapi tidak terlalu berbahaya," jawab Tuan Axcel, dia memperkenalkan putrinya.
"Baik, Villia! Aku mau ketemu sama kamu, besok di sini," ucap Dev pada Villia sambil tersenyum miring.
"Oke, aku tunggu jam sepuluh pagi," jawab Villia yang dari tadi sama sekali tudak takut.
Setelah membuat perjanjian, mereka berdua pergi dari rumah tua itu.Sekarang tinggal Dev dan Ken yang masih ada di dalam gudang, Dev berencana akan menjadikan Villia sebagai calon istrinya. Kini orang tuanya tidak boleh menolak pilihannya karena ini akan menjadi yang terakhir, dia memilih pasangan hidup.
Bergonta-ganti pasangan mungkin menyenangkan bagi lelaki di luar sana tapi tidak bagi Dev, dia ingin satu wanita yang bisa menemaninya sampai akhir hayat. dulu waktu kecil, ada ibunya yang selalu ada tapi sekarang sudah tiada lagian dia juga sudah dewasa, sudah sepatutnya memiliki pasangan hidup.
"Gila kau Dev! bisa-bisanya seorang Devandri Anolda, tertipu oleh omongan wanita," ucap Ken yang sebal dengan Dev hari ini.
"Dia bukan wanita biasa Ken, dari sorot matanya, Dia bukan wanita yang suka bermain seperti kita. Mukanya saja menakutkan, bisa kita jadikan umpan untuk menyingkirkan lawan," jawab Dev, dia membelakangi Ken sambil melipat tangan du depan dada.
"Terserah kamu saja Dev, aku muak dengan rencanamu," timpal Ken, dia terlanjur marah dengan Dev lalu pergi meninggalkan Dev sendiri.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LATTER [END]
RandomTHE LATTER, pilihan terakhir untuk selamanya, kunci akhir hidup ini, cinta dalam kebohongan itu tidak lebih baik dari cinta yang tidak di ungkapkan, tulus, untuk menjadikannya yang terakhir harus tulus agar hati tidak mudah tersakiti, dari segi keku...