Villia, Dev candu dengannya, keberanian dan kecantikan wajahnya membuat Dev mencintai Villia lebih dari gadis-gadisnya yang dulu. Sekarang Dev sedang mengeluarkan isi almari satu persatu ke atas ranjang sambil memilih pakaian yang akan di pakai bertemu Villia.
"Ck, semuanya jelek! Tidak ada yang cocok denganku," keluh Dev, dia meletakkan kedua telapak tangan di kedua pinggang.
"Ada apa, tuan Dev? Masih pagi sudah mengeluh," tanya Denis sambil menasuki kamarnya Dev.
"Ini, bantu aku memilih baju, kenapa tiba-tiba semuanya buruk menurutku," jawab Dev yang duduk di tepi ranjang.
"Bukannya Tuan Dev, selalu tampil dengan pilihan pertamanya, lalu mengapa bingung," timpal Denis, dia terlentang di atas kasur.
Dev terdiam, dia mencerna perkataan Denis yang baru saja terucap lalu mengambil satu baju yang menurutnya tepat. Dev menempelkan baju itu ke tubuhnya lalu berkaca, ternyata perkataan Denis ada benarnya juga, pilihan pertama lebih cocok di badan bahkan Dev merasa menjadi dirinya sendiri.
"Dari banyak baju yang kau pilih hanya satu, mau bertemu siapa Dev? Kelihatannya sepesial," Tanya denis, dia bangun dari tidur.
"Villia," jawab Dev singkat.
"Villia? Gadisnya Tuan Axcel yang kau ceritakan semalam itu kah? Jadi penasaran, secantik apa sih dia hingga bisa mencuri hatimu Dev," timpal Denis, dia menyangga dagu seakan berpikir keras.
"Ah, banyak bicara," ledek Dev sambil berjalan keluar kamar meninggalkan Denis sendirian di dalam kamarnya.
Dia baru keluar ini dari tadi pagi, Dev berhenti di almari kecil pinggir tembok, tangannya menekan tombol nomor dengan cepat lalu menempelkan telepon di telinganya.
"Ken, jemput Villia ke rumahnya dan antar dia ke restoran tempat kita biasa bertemu, sekarang!" perintah Dev, dia mengembalikan telepon ke tempatnya semula.
Dev kembali berjalan, sekarang menuju ruang tamu hendak sarapan. Lagian Villia pasti sedang berdandan jadi untuk bersiap untuk menemuinya bisa nanti dulu bahkan di tinggal sarapan pun tidak akan terlambat.
Setibanya di ruang tamu, dia duduk di salah satu kursi, di atas meja sudah tersedia berbagai makanan siap santap. Dev menepukkan tangannya di atas kepala, dan membuat salah satu pelayan datang dari dalam. Dia berdiri sambil menunduk di depan Dev.
"Suruh Denis untuk merapikan kamarku! Cepat!" perintah Dev dengan lantang.
Pelayan itu mengangguk lalu berjalan pergi hendak menjalankan perintah, Dev menyendok makanan ke mulutnya pelan-pelan sampai habis. Jika tadi menepukkan tangan di atas kepala maka sekarang menggebrak meja, Pelayan lain datang. dia juga menundukkan kepala dan mulai membereskan sisa sarapan Dev.
Dev mengelap mulutnya dengan tissue, dia berjalan ke kamar hendak bersiap menemui Villia. jalannya sangat cepat jadi sekarang sudah sampai di depan pintu kamar, tangannya membuka pintu sedikit lalu melihat ke dalam. Ada Denis yang sedang terkapar lemas di lantai, kamarnya sudah bersih seperti semula.
Kakinya melangkah masuk mendekati Denis, Denis yang tau kedatangan Dev langsung bangun dari tdurnya. Dia menyambut Dev dengan rentangan kedua tangan di depannya.
"Aku kira ada tugas penting, ternyata menjadi bagian dari pembantumu," keluh Denis sambil duduk di tepi ranjang Dev.
"Kau tidak berguna, jadi pembantu itu bisa membuatmu lebih berguna daripada diam saja," jawab Dev mengambil pilihannya tadi.
"Sana keluar! Aku mau ganti pakaian," suruh Dev dengan lantang.
"Lima menit lagi lah, Aku masih capek," timpal Denis yang mulai nyaman dengan ranjang Dev.
"Apa perlu aku panggilkan satpam?" tanya Dev memandangi Denis.
"oke, aku keluar tapi jika kau hendak kencan maka ajaklah aku," pinta Denis sambil berdiri dan berjalan mundur.
Tidak ada tanggapan dari Dev mengenai permintaan Denis, Dia malah mendorong Denis keluar kamar lalu menutup pintu dengan kasar. Denis duduk di dekat pintu, kebetulan di sana ada ada satu kursi untuk menunggu si pemilik pintu membukakan pintu kamar.
Di dalam kamar, Dev miring ke kiri dan ke kanan di depan kaca. Dia merasa sudah pas dengan penampilannya, mungkin menurut Villia, ini hanya pertemuan biasa tapi bagi Dev inilah pertemuan sepesial. Tanpa keragua hati, Dev mengambil seikat bunya yang sudah dia siapkan semalam lalu membuka pintu kamar.
"Tuan, Tampan sekali seperti pangeran kerajaan seberang, mau kemana?" tanya Denis setelah memuji.
"Mau bertemu Villia, jika ikut maka ayo!" timpal Dev tanpa menghentikan langkahnya.
Denis mengikuti langkah Dev dari belakang, mereka biasa berjalan dengan cepat dan kini sudah di teras memasuki mobil. Cepat sampai tempat bukan berarti rumah Dev kecil, tapi dia sudah terbiasa melewati rumah yang begitu besar setiap hari, bahkan keluar masuk perusahaanya sendiri.
"Setir mobilnya, nanti akan aku kasih tau alamatnya di jalan!" perintah Dev sambil melemparkan kunci ke arah Denis.
Mereka berdua berangkat ke restoran langganannya Dev, Denis yang di kenal ceria, bernyanyi di sepanjang jalan membuat Dev yang suka termenung sedikit terusik. Dia melihat ke pinggir jalan melalui jendela, salah satu tangannya menopang dagu. Anak kecil yang bekerja tidak luput daru pandangannya, mengingatkan Dev di masa kecil.
Kelam sekali masa lalunya, harus jatuh bangun melawan teriknya matahari hanya untuk mencari sesuap nasi. Dia anak angkat dari orang tuanya, saat umur Dev menginjak sembilan tahun, ada dua orang asing mengajaknya pulang ke rumahnya hingga dia bisa menjadi seperti sekarang.
Tidak terasa, mereka berdua sudah sampai di parkiran restoran, Denis menghentikan mobil secara mendadak membuat lamunan Dev buyar. Dia turun dari dalam mobil lalu berjalan mendekati Ken.
"Semoga sukses," bisik Ken di telinga Dev.
Dev hanya menjawab dengan senyum miring sambil berjalan masuk restoran, seluruh bangku restoran hari ini penuh dengan pengunjung, entah ada acara apa di sini. Dia mengedarkan pandangan mencari keberadaan Villia, hingga pandangannya melihat Villia sedang duduk sambil mengaduk jus. Tanpa ragu lagi, Dev berjalan mendekati Villia sambil membawa bunga di salah satu tangannya.
"Hay nona, maaf aku terlambat sepuluh menit," sapa Dev, dia duduk di depan Villia.
"Tidak masalah," jawab Villia sambil mengaduk jusnya.
"Karena kemaren, kamu bilang mau melakukan apa saja yang aku inginkan, jadi sekarang, kamu juga harus mau menjadi istriku," ucap Dev dengan tenang.
"Sebuah kehormatan bagiku karena di pilih untuk menjadi calon pendampingmu, kalau aku gak masalah karena selama ini tidak pernah sekali pun memiliki pasangan, dan papaku pasti setuju, tinggal Tuan dan keluarga," jawab Villia lantang, mukanya juga tidak menunjukkan keraguan.
"Tenang saja, aku akan siapkan semua dengan baik," ucap Dev, dia merasa puas dengan jawaban Villia.
Mereka berdua menikmati makanan yang di pesan masing-masing sambil sesekali meminum jus agar tidak tersedak.
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LATTER [END]
RandomTHE LATTER, pilihan terakhir untuk selamanya, kunci akhir hidup ini, cinta dalam kebohongan itu tidak lebih baik dari cinta yang tidak di ungkapkan, tulus, untuk menjadikannya yang terakhir harus tulus agar hati tidak mudah tersakiti, dari segi keku...