Masih pagi, pasangan pengantin baru ini sudah bercengkerama di dalam kamar, Villia merapikan jas yang di pakai Dev dan menautkan salah satu kancingnya. Dia mendongak ke atas memandangi wajah Dev sambil tersenyum lebar, Dev menangkup salah satu pipi Villia dengan telapak tangan besarnya di barengi senyuman lebar yang dia berikan.
"Cantik sekali kau baby, apa yang kau butuhkan hm?" tanya Dev tanpa mengalihkan pandangannga dari wajah Villia.
"Tidak, aku hanya ingin bersamamu," goda Villia sambil menunduk dan memegang telapak tangan Dev yang masih menangkup salah satu pipinya.
"Jangan manja, aku harus bekerja untuk keluarga kita," timpal Dev, dia mencolek hidung menjulang Villia.
"Apa tidak cukup semua ini untuk kita bertahan hidup? Haruskah kau bekerja keras sayang?" tanya Villia sambil kembali memandang Dev.
"Harus, sebanyak apapun harta kita, akan habis dengan sendirinya," tutur Dev, dia memegang pundak Villia.
"Ini ada nomornya Denis, jika kau membutuhkan sesuatu, perintah saja dia, aku berangkat dulu my baby girl," imbuh Dev berpamitan, dia mencium pucuk kening Villia lalu berjalan pergi.
Saat melewati almari kecil di dekat pintu, dia mengambil tas kerja miliknya sambil berjalan, Villia mengikuti Dev dari belakang. Mereka berjalan berbuntutan, meski begitu, Dev tau Villia sedang membuntutinya. Dia berhenti berjalan di ruang tamu dan menepukkan telapak tangannya dua kali, Dev kembali berjalan keluar rumah. Di sana, mobil sudah siap mengantarkannya ke kantor.
Villia yang baru tau cara Dev memerintah pelayannya hanya mengangguk-anggukan kepala perlahan, dia melambaikan tangan pada Dev yang ada di dalam mobil dengan senyuman lebar. Setelah ada di dalam mobil, barulah Dev leluasa untuk memberi perintah pada Ken atau Denis, dia mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya dan menekan nomor Denis lalu mebempelkan ponsel ke telinganya.
"Tuan, ada yang bisa saya bantu?" tanya Denis dari dalam telpon.
"Awasi Villia di dalam rumahku, pastikan dia tidak berbuat macam-macam!" perintah Dev dengan lantang.
"Baik Dev, bagaimana memiliki istri Villia? Apakah dia semanis yang kau pikirkan, hmm?" tanya Denis seakan juru bicara yang ingin tau kehidupan orang lain.
"Sangat manis, benar-benar manis bahkan beracun, dia memiliki dendam padaku," timpal Dev dengan nada sebal, dia memukulkan tangannya ke pintu mobil.
"Dendam? Jelas saja, papanya kan hampir saja kau bunuh maka dari itu kau harus hati-hati dengan istrimu itu," tutur Denis sambil tertawa kecil tapi masih terdengar dalam telpon.
"Sudah, jalankan perintahku sekarang!" gertak Dev lalu mematikan telpon. Dia sangat benci dengan orang yang mencurigai Villia meski pada dasarnya Villia memang licik.
Dev menyangga dagu di dekat jendela mobil sambil memikirkan bagaimana caranya agar Villia tidak bisa menjalankan rencana busuknya di dalam rumahnya, dia harus sering memanjakannya dan kalau perlu, Villia harus secepatnya hamil agar tidak bisa melakukan pekerjaan lebih. Dev akan membuat Villia terlena dengan memberinya hadiah dan perhatian, wanita kadang tidak tega menyakiti orang yang membaikinya maka dari itu Dev akan terus membaiki Villia sampai dia terlena.
Jarak antara rumah dengan perusahaan tidak jauh, sekarang Dev sudah sampai di perusahaan tepat waktu, dia turun dari mobil dan berjalan ke kantor sambil membawa tas kerja. banyak karyawan yang juga baru datang, setiap ada yang berpapasan dengan Dev selalu menyapa dengan sopan mengingat Dev adalah atasan mereka. Sekertaris Dev, Raven, dia langsung mendekati Dev kala menyadari kedatangan atasannya, dia memberitahukan beberapa berkas yang sudah menumpuk dan belum di tanda tangani.
"Apa kau bodoh?! Datanglah ke rumah dan bawa itu semua jika sekiranya penting, jangan kau tumpuk di meja kantorku saja, kalo pembangunan berhenti, apa kau mau ganti rugi?!" bentak Dev memarahi sekertarisnya yang suka teledor, dia meliriknya sinis.
"Aku pun juga banyak urusan, mungkin sudah tidak ada waktu untuk mengantarkan berkas ini ke rumahmu bos," timpal Raven sambil menunduk.
"Apa urusanmu itu bisa menggantikan gajimu yang perusahaan ini berikan?! Jika tidak maka utamakan perusahaan! Paham!" Bentak Dev, dia menarik kerah keneja Raven dan mengangkatnya.
"Paham, lain kali tidak akan aku ulangi lagi," jawab Raven yang sangat takut di perlakukan sepetti ini oleh Dev.
Dev menurunkan Raven lalu Raven pergi begitu saja ke ruangannya, masih pagi tapi sudah ada yang membuatnya emosi. Sementara di rumahnya Dev, Denis sedang melihat Villia dari jendela kamar yang di tutupi kelambu tapi masih kelihatan apa yang Villia lakukan. Villia sedang menyisir rambut lalu mengambil pisau tajam di sampingnya, dia menusuk-nusuk poto Dev yang selalu di sukai bila di depan Dev.
"Mati kau di tanganku! Pengecut, Pecundang! Buaya!!" ucap Villia dengan nada tinggi lalu melempar poto yang sudah tertusuk ke lantai kamar.
Denis merekam ucapan Villia bahkan yang Villia lakukan sejak tadi kecuali mandi, Villia kembali menyisir rambut lalu menguncirnya tinggi. Dia pergi keluar kamar dengan raut muka sebal, meski begitu, Villia masih sempat menginjak foto Dev yang sudah di tusuk-tusuk.
Hal itu membuat Denis menggelengkan kepalanya perlahan, mengapa punya bos yang bodoh dalam memilih pasangan hidup. Denis tidak lagi mengikuti Villia karena dia sudah memasang kamera di setiap sudut ruangan dengan sepengetahuan pembantu yang ada jadi gerak-gerik Villia mudah di pantau.
Dia pura-pura bertamu dengan memencet bel dari depan tapi baru beberapa langkah menjauhi kamar, ponselnya sudah berbunyi, pasti dari Dev yang ingin tau keadaan rumahnya.
"Tuan, apa kau ingin mendengar berita terpanas pagi ini sehingga kau sudah menelponku dua kali dalam sepagi hm?" tanya Denis yang ada di luar rumah.
"Ck, cepat katakan! Apakah Villia berbuat sesuatu?" tanya Dev yang sudah penasaran dengan tingkah istrinya saat dia sedang tidak ada di rumah.
"Villia menusuk-nusuk bahkan menginjak fotomu yang menjadi kesukaanya saat di depanmu, dia juga bilang kalau kau itu pecundang dan akan mati di tangannya," timpal Denis membeberkan apa yang baru saja di lihat.
"Huh, dasar bocah kecil, kau berbuatn seenakmu sekarang tapi lihat saja nanti, aku atau kau yang menang," umpat Dev sambil tersenyum miring.
"Terus pantau dia, jangan sampai terlewatkan satu tingkah pun, paham!" imbuh Dev dengan nada sedikit menggertak di akhir kata-kata.
"Paham Dev, sampai jumpa nanti sore," timpal Denis, telponnya telah di matikan oleh Dev.
Dev memutar kursi membelakangi meja, dia teesenyum miring saat mengingat perkataan Villia tentangnya di saat dia sedang tidak ada di rumah. Mungkin Villia pikir, Dev bodoh karena mudah di kelabuhi padahal dia yang bodoh, dia terlalu berani melahan Dev dengan setibu pasukan maungnya.
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LATTER [END]
De TodoTHE LATTER, pilihan terakhir untuk selamanya, kunci akhir hidup ini, cinta dalam kebohongan itu tidak lebih baik dari cinta yang tidak di ungkapkan, tulus, untuk menjadikannya yang terakhir harus tulus agar hati tidak mudah tersakiti, dari segi keku...