Hal pertama yang terjadi di pagi hari ini adalah keributan.
Bagaimana tidak? Para dayang menemukan pangeran tertua mereka sudah tak bernyawa dengan bersimbah darah di dalam kamarnya. Semua rencana keberangkatan Yuta batal begitu saja. Tangisan pilu pecah di istana selatan.
Keempat pangeran lainnya, adik kandung Yuta kini tengah menangisi kepergian si sulung.
"S-siapa yang tega melakukan ini?", tangis Mashiho.
Asahi hanya mampu mengepalkan tangannya. Matanya juga merah menahan amarah dan kesedihan. Yoshi? Tentu ia menangis sambil menenangkan Mashiho. Sementara Haruto hanya bisa menangis dalam diam. Mata dan pipinya basah, tapi ia tak mengeluarkan suara apapun.
~
Menjelang siang, para anggota keluarga kerajaan telah berkumpul di istana utama. Mereka semua mengenakan pakaian serba putih. Dengan wajah tertekuk, mereka berjalan rapih melalui gerbang istana.
Tampak rakyat yang berkempul di sekitar wilayah istana. Ada yang menangis, tapi sebagian besar dari mereka hanya diam. Kepergian salah seorang pangeran tampaknya tak begitu berpengaruh bagi mereka. Entah karena jumlah pangeran yang terlalu banyak, atau karena yang baru saja meninggal adalah pangeran berdarah Jepang.
Junkyu ikut berdiri di antara rombongan istana. Ia berdiri di sebelah Jihoon, sedikit gemetar. Ia tidak menangis, tidak. Tapi entah bagaimana hatinya terasa perih.
Siapa yang tega melakukan ini?
Apa ini juga perbuatan Daebimama?
Junkyu melirik ke depan, ke arah Daebimama yang tampak ditopang oleh raja seolah ia tak sanggup untuk berjalan sendiri."Jangan terkecoh, ia hanya bersandiwara.", ucap Jihoon pelan.
"Tapi bagaimana bisa ia melakukan ini pada cucunya sendiri?", gumam Junkyu juga pelan.
"Ia benci dengan So-ui nim, begitu pula dengan anak-anak So-ui nim. Meski mereka cucu kandung, ia hanya membencinya. Sama seperti ia membencimu. Wanita tua itu dipenuhi rasa dengki.", Jihoon mengepalkan tangannya. Mata monolidnya menatap benci kepada wanita yang adalah neneknya itu.
Junkyu yang menyadari kemarahan Jihoon menatapnya iba. Ia menggenggam tangan Jihoon yang terkepal erat, ingin menenangkan Jihoon sejenak.
"Aku tahu kau pasti marah saat ini. Tapi hari ini saja, biarkan Yuta wangjanim beristirahat dengan tenang.", Junkyu menatap Jihoon dan tersenyum tipis.
Jihoon menatap balik pemuda Kim di sebelahnya itu.
"Kau benar.", balas Jihoon membuka kepalan tangannya, membalas genggaman tangan Junkyu.
Tepat di depan mereka ada Jeongwoo yang tengah merangkuk Junghwan yang menangis dengan sedih saat ini. Junkyu menatap pilu ke arah si bungsu. Terlepas dari usianya yang masih sangat muda, ia sudah melalui banyak hal menyakitkan. Tangannya terulur menepuk pelan punggung Junghwan.
Mereka berjalan cukup jauh hingga akhirnya sampai di kaki gunung. Ritual pelepasan dimulai oleh seorang biksu. Setelah selesai, tubuh pangeran tertua mereka dibakar di atas tumpukan jerami kering.
So-ui nim terlihat sangat kacau. Air matanya mengalir tanpa henti. Bahkan wanita itu tak berhenti bergumam menyalahkan dirinya sendiri. Sungguh memilukan.
Junkyu sendiri juga sama sedihnya. Ia mengingat kembali pertemuan terakhir mereka semalam. Bagaimana ia berjanji akan mengantar kepergian Yuta ke Jepang. Namun yang terjadi justru ia kini sedang mengantar pangeran tertua itu menuju alam baka untuk selama-lamanya.
Junkyu merogoh dalam hanbok putihnya, mengeluarkan sebuah burung bangau kertas yang berwarna merah kecoklatan akibat darah yang telah mengering. Itu adalah burung bangau kertas yang diambil Junkyu begitu sampai di kamar Yuta karena keributan pagi tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Into The Unknown [Kim Junkyu]
Fanfiction"Kenapa aku ada disini? Apa aku sedang syuting? Bukannya kemarin aku baru selesai syuting Treasure Map spesial Chuseok?" Semuanya terjadi begitu saja... Kim Junkyu... bingung. Sangat bingung. bxb fluff angst mystery *Terinspirasi dari Scarlet Heart...