※ Panorama ※

2.3K 218 10
                                    

Balon merah muda meletus tepat di depan wajah Langa. Pelakunya tak lain adalah Reki Kyan yang tengah mengunyah permen karet dengan tampang cerah secerah terik mentari.

"Hari ini ingin melakukan apa, sobatku?" tanya Reki agak berbisik, sementara tangan sibuk memegangi buku, menghalau pandangan guru yang tengah mengajar.

Langa memperhatikan Reki. Ia mengenal pemuda berbandana arang, setelah kesulitan mencari kerja part time di tanah kelahiran sang ibu. Sosok yang tengah mencoret-coret buku tulis ini, berhasil melenyapkan sisi suramnya sejak beberapa bulan lalu. Reki menarik dirinya ke dunia baru. Serupa panggung opera, Langa menjadi tokoh utama yang menyaksikan paranoma jelita. Kegugupan yang melanda diawal sirna seketika tubuhnya terbang ke udara selayaknya condor andes di langit Kanada. Rekaman tersebut terus berkelebat, memori beberapa detik yang sanggup mengisi kekosongan di hatinya.

"Aku ingin melakukan banyak hal!" tukas Reki penuh semangat, sehingga manik azure Langa menangkap raut Reki yang seolah tak pernah menanggung beban barang sekecil kerikilpun.

"Apa saja yang Reki suka," balas pemuda bersurai baby blue sembari memasang tampang datar, seakan-akan hal romantis--di adegan film romansa kebanyakan--yang ia ucapkan barusan teramat remeh.

"Berlomba sampai ke gardu terlebih dahulu?"

"Bagus."

"Atau lomba sampai ke kantin, tetapi melewat rute gedung kelas sepuluh?"

"Itu bagus."

"Hei, Langa! Bagaimana kalau melompati ring basket, lalu yang bisa menyentuh papan adalah pemenangnya!" Reki menjentikkan jemari sembari berbinar-binar.

"Itu lebih bagus." Meskipun tertular antusiasme Reki, Langa masih terlihat minim emosi.

"Kalau kau kalah belikan aku yakisoba!"

Langa terkekeh dengan telapak tangan menahan dagu. Dia tahu Reki punya kepercayaan diri yang tinggi, meskipun pemuda bermanik amber ini bukanlah tipikal yang cerdas dalam hitung-hitungan, nyatanya dia punya tingkat akurasi tinggi mengenai lompatan. Yah, walaupun akhir-akhir ini Reki cukup tertinggal perihal skateboard atas dirinya. Langa tidak sedikitpun melihat raut kecewa dari sosok gurunya ini.

"Baik," sahut Langa menutup obrolan sembunyi-sembunyi mereka.

"OKE!" Reki berteriak keras seraya mengacungkan jempol, sehingga atensi seisi kelas beralih ke arahnya. Melihat pasang-pasang mata yang menahan tawa, Reki hanya menggaruk tengkuk dengan gelagat bodoh.

"Buang permen karetmu, Reki Kyan."
Guru setengah baya tampak menaikkan bingkai kacamata begitu cengiran lebar Reki berhasil mengisi keheningan kelas.

Begitu kelas usai, Reki melempar papan skateboard ke pijakan. Di mata Langa, gerakannya dinilai telaten ketimbang sembrono.

"Yang sampai terlebih dahulu ke kedai yakisoba adalah pemenangnya!" seru Reki sambil mendorong papan skateboard dengan tungkai kaki, begitu Langa mengerjap karena menyadari sahabat baiknya itu melesat terlebih dahulu, Reki mencibir dari kejauhan.

"Perjanjiannya bukan seperti ini." Langa mendengkus, suaranya nyaris berbisik. Meskipun mendumal kecil, tetapi Langa tetap mengejar ketertinggalan, bahkan mata sendunya sudah menangkap pilar kokoh di sisi kiri.

Atmosfer seolah mendukung adrenalin Langa. Papan skateboard menggilas aspal di pinggir kota, begitu tungkai kakinya sudah menguasai permainan, roda skateboard melesat cepat dan dalam hitungan detik tubuh Langa melayang seolah memiliki sayap, kakinya berputar cepat membawa bobot tubuh agar lebih tinggi. Lagi, Langa merekam panorama jelita di kepalanya, membuat degup jantung makin membuncah. Entah, perasaan senang ini akan berlangsung sampai kapan.

As Unique as PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang