※ Paksa ※

592 94 2
                                    

Lapis lazuardi meredup. Lampu kemuning yang menganak air mata hingga membasahi pipi nyaris tumpah. Mulutnya ingin berucap sesuatu yang sudah lama terkubur rapat. Tangannya ingin meraih agar tak lagi kehilangan. Namun, dirinya hanya bisa menonton pemandangan kelam buah dari beberapa lompatan waktu yang lalu.

Hari kembali di buka pada sosok rupawan, Langa Hasegawa. Entah, berapa kali kunjungannya ke rumah sakit; Kaoru, Shadow, juga dirinya. Sikut dan pelipis menampilkan memar biru menjurus keunguan, memiliki efek yang tak terlalu kentara, tetapi pergelangan kaki terkilir membuat suasana hati menjadi menyebalkan.

Meskipun dilanda luka fisik. Ia kembali menapaki Crazy Rock. Di sana sudah berdiri Miya Chinen dan Shadow--sepertinya sudah sembuh dari retak tulang.

Matanya mengamati panorama cendana, tiba-tiba pemuda atletis melompat di depannya. Gaya agresif dengan ciri khas suka pamer otot perut dan bahu. Kojiro Nanjo.

Mungkin Joe ingin melepas gundah pikirnya. Langa mengabaikan pria tan yang menarik perhatian seisi penonton. Kaki kanannya menjadi acuan dan mulai mengendara Skateboard. Sepertinya pergelangan kaki yang terkilir tidak sakit-sakit sekali. Hanya saja ketika ingin melakukan tanjakan yang didominasi gerakan kaki, rasa nyeri mulai menghujami.

Perkiraannya meleset.

"Kau tidak apa-apa?"

"Apanya?"

"Jangan cemas." Joe menepuk bahu Langa, lalu melewatinya terlebih dahulu. Meski terkesan menasehati untuk memberi semangat, alis Joe tertaut menurun, bahkan senyumnya terasa hambar.

Berikutnya bocah angkuh, Miya menyusul sambil memamerkan klickflip dan heelflip berurutan. Diikuti dengan Shadow yang mendorong papannya dengan kekuatan penuh dan jari-jari mengenggam pemicu ledakan berskala kecil. Ketika tiga orang--tukang pamer--megungguli, Langa masih tidak merasakan kesenangan pada detak jantungnya seperti dulu. Ia merasa hampa.

Saat teriakkan gadis-gadis lebih mendominasi, Langa mendongak untuk melihat sumber suara, muncul pemuda berhelai navy. Sosoknya di kelilingi serbuk bintang nan berkilau. Baju mencolok dengan ornamen rumit seperti menjadi pengganti rembulan di cakrawala, apalagi saat terjun payung mengembang sempurna.

Sepatu boot yang nyaris runcing menapaki deck gesit, tong berkorosi dilindas apik menuju dataran. Begitu menghasilkan debur debu senyum persuasif menginvasi sosok bertopeng.

"Aku akan mengumumkan hal penting." Kakinya mengetuk-ngetuk tanah dengan gerakan cepat.

"Aku akan mengadu orang-orang istimewa lewat..." Maniknya menatap sekeliling. "...sebuah turnamen!"

"Tentu saja aku akan berpartisipasi juga."

Seketika anggapan bergemuruh seantero Crazy Rock. Decak kagum menentukan pemenang di masa depan mengaum-ngaum heboh. Senyum mengembara ketika berharap dirinya lebih kuat. Akan tetapi, manik ruby hanya tertuju pada sosok menjulang dengan kulit putih bak batu giok. Cahaya dari helikopter menyelubungi tubuhnya yang dipenuhi kemelut.

"Aku bisa menari denganmu."

Di malam itu. Langa pulang dengan segenap perasaan kosong. Ia berdiri tepat di depan rumah berplang 'Kyan'. Ia mengetuk pelan. Pintu dibuka dan menampilkan wanita paruh baya berperawakan kurus. Penampilannya kelihatan renta ditambah kantong mata berbentuk bulan sabit nan hitam yang mengelilingi.

Sudah seminggu lebih Reki menghilang dan waktu tujuh hari itu sukses membawa perubahan drastis pada ibunya.

Langa menyapa sekilas, selanjutnya Ibu Reki mempersilahkan masuk seraya memasang senyum.

Ponsel Langa lagi-lagi berkedip. Notifikasi perihal turnamen skateboard kembali memenuhi layar persegi panjang. Langa lama melamuni dan memilih tetap menolak. Tidak sadar waktu formulir sudah habis.

Malam semakin larut. Langa yang biasa punya jam disiplin memutuskan untuk melanggar.

Pagi hari ia menyanggupi aktivitas seperti biasa. Namun, lokernya kembali diteror sosok yang melabelinya dengan sebutan 'Eve'.

Rekam video berputar sehingga membawanya pada ruangan berlampu megah ini.

.

.

.


Koak penjaga malam menjadi saksi semu pertunjukkan di ruangan miskin ventilasi. Rantai besi bergesek-gesek pada lantai dan kulit yang dipasung. Empunya meronta-ronta dengan pandangan takut. Namun, pandangan cemasnya tentu tidak tertangkap mata orang yang mengelilingi sebab pengelihatan dihalangi oleh kain hitam ketat.

"Hari ini, aku punya hadiah untukmu," bisik sosok bertuxedo. Ia melepas topeng putih gading. Rambut biru tua sudah diberi pomade dan disisir rapi ke belakang. Saat mengatakan itu, hawa dingin menyeruak mencicipi pori-pori yang terbuka.

Tubuh ramping dipenuhi peluh tampak bergetar kuat.

"Kau akan suka," desisnya sambil menarik tali kekang pada leher si pemuda. Alhasil, menimbulkan erangan memilukan.

"Tadashi."

Pemuda yang sejak tadi menonton dengan pandangan datar melangkahkan kaki mendekat.

"Lepaskan rantai di kakinya."

"Baik, Ainosuke-sama."

Suara kunci terbuka lagi-lagi menimbulkan aura tak mengenakan.

"Kasur." Seperti mengerti pinta tuannya, sekretaris bermarga Kikuo menghentikan gerakkannya.

"Tidakkah ini..."

"Siapkan alkohol."

Tadashi makin bungkam, setelahnya barulah dia memindahkan sosok di lantai ke atas kasur dengan hati-hati. Pemuda berhelai merah segera memberontak, tetapi hanya bisa mengeluarkan suara 'mmh' karena tak diberi akses bicara. Saat keluar ruangan Tadashi bisa menangkap nada dingin yang tertuju padanya.

"Anjing sialan."

Ruangan itu tidak memiliki jam sehingga suara jantung jam tidak mengingatkan waktu rumpang mereka.

Tadashi mendorong knop silver dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya membawa baki dan mangkuk hewan berisi alkohol. Bau pekat yang bahkan membuat hidung si iris emerald mengernyit. Pupil arang mengecil kala ruangan itu dipenuhi suara lenguhan dan kesakitan bersamaan. Mengatasi keterkejutan Tadashi meletakkan mangkuk di ujung kasur.

Ainosuke melirik, sejenak ia menampilkan air muka masam, lalu tersenyum sinis. Jari menarik plester hitam sehingga membuat kulit bibir si pemuda terkelupas. Ainosuke mengusap dagu berliur.

"Minum sampai habis." Kemudian dengan suara teramat kecil, tetapi bernada cemooh ia melanjutkan. "akan kupertimbangkan hukumanmu."

(Sebagian adegan sudah dihapus)

Ia tidak dapat menahan air mata yang membludak untuk keluar. Bibirnya bergetar menghantarkan raungan karena rasa sakit sampai ke tulang-tulang.

"Ingin kejutan lain?" lagi-lagi telinganya dibisikkan sesuatu yang membuat bulu kuduk berdiri.

Kain dilepaskan dari mata. Mulanya hanya siluet ganda, tetapi ketika suasana bertransformasi menjadi hening, air mata yang membanjiri mereda, rasa sakit fisiknya terganti dengan nyeri dan sesak di dada.

Sosok di hadapannya menatap dengan mata berlinang air mata.

Manik biru yang sangat ia rindukan menatap nanar dengan mulut dan tangan terikat.

Satu-satunya orang yang paling tidak ia inginkan melihat kondisi mengenaskan dirinya.

Nyawa Reki serasa ditarik saat itu juga. Ia terkulai lemas. []

Update : July 20, 2021

As Unique as PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang