※ Paradoks ※

430 61 0
                                    

Aroma bawang dan mentega hangus mengaduk-aduk pikiran Langa. Garlic bread yang mekar bak bunga, ditata apik bersanding dengan teh peach hangat-hangat kuku. Tidak tahu akan selaras dengan liur Reki atau tidak. Memikirkan selera makannya saja membuat Langa ikut hampa bak lorong putih rumah sakit.

Meskipun bimbang. Hari ini, Langa tampil lebih rapi. Walaupun kiblat fashion-nya kasual dan mungkin tak muluk-muluk, pria ini berusaha memantaskan diri dengan blazer mocha sambil membawa seikat cosmos merah. Lagaknya jauh dari kata membesuk memang, tetapi masih beberapa tahun ke depan jika berpikir Langa ingin melamar seseorang.

Gerendel pintu sudah di depan mata. Pemuda berkulit putih itu meneguk saliva dalam-dalam, kemudian mendorongnya, seketika manik azure langsung menangkapan sosok yang tengah bergumul dalam selimut pucat khas bangsal rumah sakit.

Menyadari seseorang berada di ruangan yang sama dengannya. Selimut disibak, menampilkan sosok kuyuh tengah menggigit apel dengan sebelah pipi bengkak karena dipenuhi daging buah.

Surai merah Reki yang serupa kelopak cosmos dalam genggaman tampak kusut dan mencuat ke mana-mana. Namun, masih terlihat menggemaskan ketimbang terakhir kali Langa menyentuhnya dalam keadaan lepek dan menyedihkan.

Langa merajut senyum tipis, ada gelombang rasa sakit yang terus mengeluarkan buih saking panasnya. Menyadari Reki makan dengan cara sembunyi-sembunyi, rasa sakit itu semakin parah.

"Reki." Kelu sebetulnya memanggil sosok yang dirindukan, tetapi dia betul-betul tidak tahu permulaan yang baik. Langa tidak pandai basa-basi, kamusnya hanya dipenuhi susunan frasa pendek, sependek jaraknya dengan Reki sekarang.

Reki berhenti mengunyah apel, lantas membulatkan mata. Aura kengerian memancar di sana, lalu Apel yang setengah ludas jatuh ke lantai sedemikian dramatis. Detik itu, Reki menarik selimut kembali untuk menutupi diri, dia lantas menggulung diri memunggungi Langa mirip kepompong. Jika dalam kondisi normal, mungkin Langa akan mentoleran sikap kekanakan Reki dan menganggapnya hanya ngambek, tetapi pada posisi ini dia pikir mungkin Reki merasa malu karena mengingat dirinyaa dilecehkan di depannya.

"Kau ingin punya waktu sendiri, ya?" Langa bertanya lembut. Telapaknya ingin mengelus tonjolan kepala Reki yang dibungkus selimut, tetapi dia urungkan dan memilih meletakkan pangan di nakas dan menyusun bunga di vas.

Langa menghirup napas rakus sebelum kembali membuka pembicaraan. "Reki, mungkin kau akan antusias mendengar ini," tukasnya sengaja menggantung kalimat, berharap Reki akan melepas selimut, lalu memandang Langa degan mata berbinar dengan rasa ingin tahu tinggi seperti dulu. Akan tetapi, lusinan detik berikutnya bocah merah itu masih diam.

"Setelah kau keluar dari rumah sakit. Aku ingin mengajakmu mencoba snowboard di Kanada. Apa kau ma--Reki!" Langa memutus ucapan sendiri, lantas tercengung saat menyadari gumaman Reki yang berulang.

"Ja-jangan ... A-ku minta ampun ... Ja-ngan ...."

Langa segera beranjak untuk memeriksa keadaan Reki. Lututnya terasa lemas saat merasakan kain yang membalut tubuh Reki bergetar.

"Reki, ini aku." Langa berusaha membujuk sembari melepaskan kukungan itu. Namun, Reki semakin membelit kainnya seolah tidak membiarkan siapapun mengusik kediamannya.

"Kau tidak akan bernapas nanti. Buka, ya?" Ia masih berusaha kalem.

"Tidak, tidak! Kumohon ... sa-kit, ini menyakitkan."

Langa tertular gemetaran, dielusnya pelan tubuh Reki dibalik selimut berharap bisa meminimalisir ketakutan, tetapi berikutnya Langa justru mendengar teriakan. Teriakan memilukan seolah ada yang menahan Reki untuk meraup oksigen. Saat suara teriakannya berangsur-angsur menurun, mirisnya malah digantikan bunyi napas yang terputus-putus.

Kepanikan yang melanda Langa bertambah parah saat perawat memasuki ruangan dengan tampang cemas. Selimut kelabu itu berhenti mengikat Reki. Namun, pemandangan berikutnya berhasil membuat manik Langa mengecil.

Reki tengah mencekik lehernya sendiri dengan sklera memerah, air mata berjatuhan di sana, setelah didepak keluar oleh perawat, yang terakhir Langa dengar hanyalah permintaan memohon dan ketakutan.

Reki, neraka apa yang kau hadapi dengan Adam?

.

.

.

"Aset yang imut, Bung!"

"Ka-kau berani-beraninya!" Bocah berambut gelap buru-buru menarik resleting celana. Wajahnya memanas dipenuhi awan kemurkaan.

Miya biasa mendapat perundungan lewat tatapan mata oleh teman-teman sebayanya, tetapi dilecehkan secara tidak langsung di tempat umum begini ialah kali pertamanya, sehingga otak polosnya tidak dapat memproses semburan buruk apa yang harus dituangkan ke makhluk asing ini.

"Eh, tunggu dulu. Bocah ini pentolan nasional itu bukan? Siapa namanya Miu? Miyu? Intinya mirip suara kentut kucinglah." Pemuda sebelahnya tampak memandangi bocah duabelas tahun yang menyingkirkan diri di dinding dan bersiap-siap keluar.

"Miya," koreksi teman satunya.

"Meskipun arogan. Dilihat-lihat wajahnya cukup manis." Sosok tinggi itu segera menarik tubuh Miya kembali, kemudian mengangkat dagunya sambil menyeringai. Dia memerangkap tubuh itu, membuat alis kelam bocah dengan tinggi 161 cm berkerut menahan amarah.

"Jangan menyentuhku, jelek!" Miya melibaskan tangan bersiap menampar pipi pemuda di hadapan. Namun, pemuda itu hanya bersiul sambil terkekeh meremehkan. Dia menangkap pergelangan tangan Miya begitu mudah, membuat gigi-giginya bergemeretak.

"Mulutnya kasar juga, minta dibungkam, hmm?"

"Aku tidak punya waktu menemanimu, Ken. Bisa-bisa aku dikira saksi tindak pedofilia." Pemuda dengan untai blonde berujar datar. Namun, tangannya berhasil menempeleng kawan sejawatnya. Melihat kesempatan itu, Miya langsung meludahkan liur ke wajah si pemuda.

"Sialan!" Pemuda itu berang dan mempererat genggaman pada pergelangan tangan. Bahkan, dia menghentakkan tubuh Miya ke pinggir wastafel. Entah, memar seperti apa yang didapatnya nanti.

Bocah bermata zamrud meringis sambil menggoyangkan tangan berusaha memberontak.

"TUA BUSUK! LEPASKAN AKU!" Kakinya yang bebas dipakai untuk menendang. Kenapa rasanya dia sering sekali terjebak dalam situasi begini? Diangkat begitu mudah, lalu kesulitan melepaskan diri. Padahal tubuhnya tidak pendek-pendek amat untuk standar bocah Sekolah Dasar.

"Ck. Ken. Aku tidak tanggung kalau wajahmu masuk ke TV. Aku pergi!" Pamit pemuda itu sambil mendecakan lidah.

"Hei, tunggu! Lepaskan aku!" Miya berteriak ke arah pemuda yang melengos cuek. Namun, reaksinya tersebut mendapat bogem mentah dari lawan.

"Ukh!"

Reaksi kesakitan Miya membuat celana si pria menyempit. Seteguk besar saliva di telan paksa. Sejenak wajah sombong Miya dipenuhi ketakutan. Dia bahkan tercekat, mengabaikan rasa sakit.

Pria itu menjeblos salah satu pintu toilet, kemudian melempar tubuh Miya ke dalam bilik. Bokongnya langsung menabrak ubin begitu keras.

Bocah Chinen itu meneriakkan minta tolong ketika pria itu hendak memposisikan diri untuk meraih bibirnya.

Sumpah. Di sini dia berpikir ingin mati saja. Ingin menangis sejadi-jadinya.

Seperti diilhami oleh Dewi Fortuna, tiba-tiba pintu terjeblak. Moment horor barusan digantikan aksi tatap-tatapan di toilet. Namun, bukannya lega karena ada kesatria berkuda putih tiba-tiba datang, justru pandangan Miya semakin ciut. []

Update: September 14, 2021

As Unique as PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang