※ Parestesia ※

491 77 4
                                    

Bulu mata Reki bergetar. Kelopaknya perlahan merambat naik menafsir hawa baru.

Hal pertama yang mengaduhkan ialah rasa nyeri di kepala, kemudian diikuti dengan dingin yang menguar dari dinding dan menusuk lembar tubuh tanpa pertahanan. Menemukan kondisi tubuhnya tidak berbalut apa pun, manik amber yang semula menyipit menjadi membelalak lebar. Otaknya memproses cepat dan ingatannya jatuh saat ia hendak menemui Langa.

Tubuhnya menyeruduk trotoar, berikutnya pandangan gelap memenuhi.

Grendel pintu bergulir, merasuki rungu. Meskipun ia tipikal pemuda yang sering tidak paham mengkondisikan suasana, insting Reki mengatakan bahwa akan ada hal buruk menghampiri.

Benar saja. Ketukan sepatu pantofel membuat olah jantungnya bergemuruh tidak karuan. Saat penerangan cahaya menusuk kornea secara mendadak, Reki hanya mendengar teriakan di dalam ruangan yang dihuninya.

Pengamatannya menjadi abu-abu dan dihari-hari selanjutnya pun begitu.

Reki selalu berusaha menulikan pendengaran, baik lewat perintah otak pun dengan telapak tangan. Akan tetapi, teriakan menyayat hati itu tak kunjung berhenti, bahkan menjadi gema yang mengisi sudut-sudut kosong.

Saat tersadar dari banyaknya mimpi buruk yang dilalui seorang diri, Reki mendengar suara tangis terpilin. Suara seorang pemuda yang hampir menyerah dengan hidup.

Sampai suatu hari, ia sadar. Bahwa jeritan dan tangis itu berasal dari mulutnya sendiri.

Aku...

Aku ingin mati.

Baris kalimat yang terus-menerus hinggap di kepala, juga mulai menggerogoti jiwa.

Pijakan waktu berjalan melambat. Pun hawa sudah semakin dingin. Tidak ada kehangatan yang menembus dari dinding kelam ini. Reki tidak tahu sudah berapa lama ia terkurung di sini. Hari ini, ia hanya mendengar rintik hujan dengan bau embun yang sejenak menenangkan.

Suara dobrakan pintu mengejutkan Reki. Ia kontan beringsut mundur. Selama di sini, Reki selalu takut dengan decitan kayu yang menggesek ubin, bukan karena mengingat kilas film horror. Meskipun ketakutan ia pada hantu terbilang tinggi, Reki masih lebih takut berhadapan dengan sosok berhelai biru ini. Manik magentanya yang cantik, entah kenapa selalu terlihat dipenuhi amarah dan luka seakan percikan hitam selalu membara dan siap menghanguskan siapa pun.

Reki mengatup bibir kuat-kuat. Walaupun tahu tidak bisa bersembunyi, ia tetap merapatkan punggung secara vertikal ke dinding yang membekukan epidermis, lalu menarik kedua lutut ke atas dada. Namun, rupanya gerakan Reki membuat bibir pemuda navy dengan sapaan Adam, mendecakkan bibir kesal.

Reki tahu, tanpa sosok Tadashi. Adam akan lebih brutal menyiksanya.

"Bajingan, keras kepala!"

Reki tidak tahu umpatan itu dilontarkan kepadanya atau makhluk lain yang menyulut sumbu emosi Adam, yang jelas setelah itu, umpatan keji dan tak bermoral lainnya terus bergema.

Ketakutan berlebihan membuat Reki menyeret tubuh untuk menjauh, bokongnya menggesek ubin dengan cara menyakitkan.

Adam mendengkus tepat ke moncong hidung Reki. Pemuda belia bisa membaui alkohol yang menguar. Kendatipun tidak menelan langsung cairan difermentasi itu, tenggorokan Reki sudah menyempit karena rasa pahit.

Dalam keremangan, wajah Adam tampak merona karena atmosfer panas efek alkohol. Reki berniat menggeser duduknya lagi, tetapi sadar posisi ia sudah sampai ke ujung.

Seketika suara besi berderak mencekik leher Reki.

"Ukh!" Reki berusaha menghirup asupan oksigen yang kian menyempit, tetapi memori kejam yang telah dilalui membuat ia berhenti berusaha. Matanya sayu menatap lantai dingin tak bersahabat.

As Unique as PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang