※ Prapubertas ※

516 71 0
                                    

"Adam ... Dia, dia ingin aku menghancurkan mimpi Chinen."

Lusinan detik berlangsung dan tidak ada yang bercakap ria. Mereka sama-sama meratapi marmer monochrome seolah pengalihan tersebut mampu menjernihkan pikiran.

Sampai pada akhirnya, Joe memberanikan diri untuk menilik wajah snow yang terpuntir ngeri, empunya gemetaran sampai tahap di mana dia seolah tidak bisa menanggung bobot sendiri.

"Adam ingin aku menandatangani kontrak kerja bersamanya."

"Lalu dia berpikir bocah Chinen itu tidak dibutuhkan lagi dan ingin membuangnya?"

Langa terdiam. Jawaban Joe tepat sasaran membuat dia semakin bersalah. Apalagi, membayangkan bocah unggulan nasional itu jatuh ke dalam lubang saat Langa tiba-tiba berjaya. Ilusi itu terlalu kelam sebab Langa mencintai skateboard karena Reki dan tekadnya sendiri. Bukan karena keinginan ambisius menjadi bintang.

Langa itu 'snow'. Partikel dingin yang tidak akan runtuh lagi ketika jatuh. Sudah cukup masa lalunya dengan dunia seluncuran es berakhir kelam.

"Itu adalah pertukaran yang kulakukan dengannya. Untuk mengembalikan Reki." Tidak ada lagi nada getir di sana, tetapi kuku pemuda itu berhasil melukai telapak tangan sendiri sehingga membentuk empat garis kecil bernoda darah.

"Ketika berada di posisimu. Aku juga akan dihadapkan pilihan sulit dan kurasa aku akan memilih hal yang sama, tetapi Langa ... Hal seperti ini tidak bisa kita selesaikan sendiri." Pria bersurai zamrud sengaja menggantung ucapan. Dia jatuhkan pandangan ke arah Miya dan Cherry yang kelihatan tengah bersiteru.

"Aku pikir kita harus melibatkan hukum," lanjutnya.

Kojiro Nanjo pikir ini sudah termasuk keputusan final. Namun, remaja di sebelahnya menggeleng kuat. Pupil mengecil sebesar kacang polong menandakan keterkejutan. "Kau tidak mengerti. Nama keluarga Ainosuke begitu besar. Kesaksian kita tidak akan--"

"Ini bahkan masalah yang harus diselesaikan orang dewasa." Ketika memutus ucapan bocah 17 tahun, telapak Joe menggerayangi pundak Langa. "Aku tahu orang yang cocok dengan penyelidikan ini."

Langa hanya menatap Joe sepersekian detik, kemudian dia alihkan patah-patah ke arah Miya Chinen yang kala itu, benar-benar menumpahkan air matanya, sedangkan Cherry kelihatan kewalahan mengatasi sampai-sampai mengerutkan alis.

Melihat sosok pendek yang bahkan belum memasuki usia remaja. Langa semakin takut neraka apa yang akan dijumpainya nanti.

"Jangan terlalu membebankan masalah ini pada dirimu sendiri." Joe lagi-lagi menasehati. Senyum genit pemuda hidung belang--yang membuahkan keunikannya--kini tak tampak lagi, menyisakan perawakan tegas layaknya seorang Ayah.

.

.

.

Ketukan hak memenuhi ruangan berubin kayu. Surai merah nan panjang berkibar pelan. Namun, fokus menyorot bulu mata lebat bak kipas, menunjukkan pola sipit dan iris mencolok keunguan yang tajam.

"Teh ini sangat cocok dengan aura anda, Kamata-san," ungkap Kaoru seraya menyajikan ritual minum teh.

Wanita dengan pakaian formal bernuansa hitam hanya memamerkan sedikit senyum, lalu menyesap teh hijau dengan senang hati. Meskipun biasa disambut dengan bir bersama rekan-rekan kerjanya, dia masih berusaha meneguk teh panas yang sarat nilai tradisional.

"Kurasa kau bukan orang yang mengundangku?" Kamata melirik apel Adam yang bergerak naik turun.

"Memang bukan, tetapi ini tempatku." Pria berhelai sakura ingin menyampaikan keluhan berikut makian terhadap saha-musuh karibnya karena berbuat seenaknya. Namun, melihat sikap profesional Kiriko Kamata yang serius dan tidak suka basi-basi, Kaoru menyimpan sendirian dalam benak.

As Unique as PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang