※ Partner ※

432 59 0
                                    

Suara sirene yang gaduh justru diapresiasi senyum puas dan tepukan penuh kemenangan. Rasa-rasanya ingin melompat seraya mengangkat satu tangan, lantas berteriak 'Bip-bip Hore!'. Namun, usia selalu jadi masalah jika dihubungkan dengan aktivitas kekanakan.

Langa tidak tahu bagaimana dunia berbalik baik padanya semudah ini. Meskipun lukanya masih menganga, perihal mental Reki yang terakhir kali tampak tidak stabil, setidaknya Adam berhasil ditangkap. Untuk cekcok persidangan biarlah dipikirkan nanti. Selagi memiliki bukti mumpuni.

Pikiran lega itu mendadak hilang, sesaat melihat wajah Adam yang keki melewati Langa dengan pergelangan di borgol, seperti ada sesuatu yang masih berlubang.

Kelegaan Langa berubah menjadi teka-teki tanpa petunjuk. Entah apa kemelut yang dirasanya. Apakah hatinya mulai busuk sehingga tertanam rasa ingin balas dendam? Atau ada hal lebih buruk lainnya yang membuat buku-buku jarinya sekarang memutih.

"Syukurlah. Kau tidak perlu tanda tangani kontrak dengan Adam sehingga mimpi Miya tidak hancur." Kojiro Nanjo menjabat tangan Langa, seolah mengulang kembali adegan Kiriko dan staff kepolisian usai penangkapan Adam.

Langa terkejut dengan tangan Joe yang mendadak terangkat. Tatkala mengembalikan kesadaran seperti semula, dia langsung menyambut jabatan Joe.

Langa berusaha menampilkan air muka positif sembari mengukir jawaban. "Sebetulnya aku tidak tahu mimpi apa lagi yang harus dicapai, Chinen, sebab dia sudah melambung diusia semuda ini." Opini Langa dibalas deheman tak sedap dari Kaoru yang mulai kegerahan dengan keadaan sekitar.

"Manusia itu bisa melampui banyak hal. Berhentilah membatasi kemampuan sehingga bisa membelenggu diri sendiri. Kau masih sangat hijau. Yah, meskipun kau minim ekspresi bak bokong teflon milik Kojiro." Kaoru menjeda ucapan. Meskipun empunya berkelakar di penghujung kalimat, air muka kaligrafer Al itu tetap tenang.

Iris pheonix-nya merendah samar, sebelum dia melanjutkan. "Ketika kau ditampar ombak, Aku yakin kau akan bangkit lebih banyak, walaupun tergerus arus sekalipun."

"Oi, Megane! Kupikir akurasimu sebatas robot sinting itu saja. Lucu rasanya, mendengar ceramah ala cendikiawan darimu, mengingat emosimu hanya setipis SIM card."

"Sialan!" Jika Kaoru sudah mulai menghardik. Maka dimulailah pula pertikaian di antara keduanya.

Langa mendongak sebentar. Biru langit tampak kontras dengan maniknya, tetapi tidak bersahabat dengan batin. Warna violet khas bunga alfalfa membuatnya kembali mengingat keadaan Reki ketika ditemukan, lalu tungkainya terbawa ke hutan kembali tanpa pikir panjang.

Sangat mudah bagi Langa untuk menemui pohon besar tempat Reki memeluk diri dalam keadaan menyedihkan, berikut luka sayatan dan lebam yang menghiasi kulit empunya. Hal itu masihlah terbayang di kepalanya.

Langa berjongkok, seketika matanya membola saat melihat rekam jejak di sekitaran pohon. Rasanya polisi tidak mengidentifikasi tempat ini, apalagi mengingat tragedi beberapa hari silam terjadi sesudah hujan. Kemungkinan jejaknya sudah terhapus karena hujan datang beberapa hari berikutnya.

Denyut yang biasanya membuat Langa heran dan tak tahu penyebab datangnya, mendadak berdentuman secara sembrono. Pemuda blasteran itu tidak ingin melupakan hal keji yang dialami Reki sebab dia ingin menanggung juga rasa sakit itu, tetapi seburuk-buruknya perasaan. Tentu dia tahu, Reki lebih menderita lagi. Ah, membayangkannya saja jantung Langa serasa diremat.

Sebelum membalik badan, kemudian keluar hutan, Langa kembali mengoreksi kejanggalan di pohon itu. Dan benar saja, ada lubang seukuran sarang burung pelatuk.

Ada kertas yang terlipat sehingga membentuk persegi kecil di sana.

Kartu remi bersimbol hati.

Lagi?

Namun, kali ini bukan berisi tantangan atau ancaman yang menuai problema tragis, melainkan berisi tiga kata yang cukup membuat Langa tercenung.

'Aku ingin mati'

.

.

.

Ruang Bimbingan Konseling ialah tulisan di plat berlapis akrilik. Ruang menyebalkan yang membuat Miya Chinen tidak berhenti gemetaran. Bukan karena dia ketahuan merokok atau adu otot, tetapi karena peristiwa memalukan beberapa jam lalu.

Pintu toilet dijeblak. "Miya," sosok bersurai brownies meremat ujung pakaian, sedangkan di hadapannya ada Miya Chinen yang menyentak ubin dengan bulir transparan di pelupuk.

Kedua tangan Miya ditahan ke atas. Tidak perlu menganalisis situasi lagi, bocah sebaya Miya itu sudah bisa membaca situasi buruk ini. Apalagi, sosok angkuh itu kini sedang menciut; gemetaran dan sebisa mungkin menahan tangis. Takashi tidak paham, mengapa tingkah arogan dan keras kepala Miya masih bisa dipertahankan meskipun dalam situasi sulit.

Begitu pandangan Takashi jatuh pada pemuda asing yang siap menutup pintu toilet dengan kakinya. Manik kelabu miliknya tiba-tiba memanas. "Pak, ada oom-oom mesum!" teriak Takashi sambil membuka pintu toilet lebih besar.

Kira-kira begitulah, awal di mana ruangan horor ini berhasil membawa tubuh Miya Chinen di sini. Ibunya sudah duduk di samping sambil membelai punggung si anak beberapa kali dengan mimik prihatin.

Miya tidak menyimak sepanjang tanya jawab, dia bahkan beberapa kali tersentak saat ditanyai lebih lanjut. Berada satu ruangan dengan pelaku cabul---Meskipun tubuhnya belum disentuh-sentuh---yang ternyata salah satu wali seorang siswa, membuat dirinya jadi tidak tenang.

Saat ibunya membungkuk hormat, barulah Miya bergerak, tetapi untuk keluar dari ruangan itu secepatnya. Dia berlari ke tempat parkiran mobil sembari mengedarkan pandangan mencari kendaraan yang dibawa ibunya.

Batinnya dibumbui berbagai pergolakan. Mengingat Takashi adalah teman lama yang membuangnya, Miya takut gosip akan tersebar cepat. Meskipun sejak kejadian itu dia memutuskan untuk tak bergaul lagi dan berprespektif bahwa teman tidak dibutuhkan dalam meraih mimpi, Miya tetap tambah takut mengenai persepsi orang di sekeliling nantinya.

Reki adalah teman pertama Miya setelah Takashi tidak lagi meliriknya. Ditambah lagi, mengingat teman pertamanya yang konyol dan bertingkah kekanakan meskipun lebih tua lima tahun di atasnya sedang dalam keadaan tidak baik. Miya merasa dunianya bertambah hampa.

"Miya." Panggilan tersebut membuat lamunan Miya buyar, poros tubuhnya berputar.

Mata hijau Miya kembali diliputi ketakutan. Namun, saat sosok bernama Takashi melangkah ke arahnya, tatapannya kembali berubah sinis. Dia sebisa mungkin mencebik. "Mau mengejekku lagi, huh?"

Takashi mengangkat baret putih khas sekolahnya. "Aku ingin mengembalikan ini. Tadi terjadi di toilet."

Miya otomatis meraba kepala dan benar-benar tidak menemukan baretnya di sana. Seketika pandangan jemawa bertransformasi menjadi sipu. Wajah Miya memerah bak kepiting rebus.

"Betapa memalukannya?!" teriak suara hati Miya.

"Cih." Miya buru-buru mengubah ekspresinya kembali, tetapi karena Takashi sudah melihat wujudnya diliputi malu, topeng Miya berhasil terlucuti.

Pemuda berhelai cokelat justru merespon dengan kekehan.

"Ka-kau!" Miya tidak habis pikir, apanya yang patut ditertawakan? Apakah kesialannya di toilet tadi?

"Santai saja. Kenapa kau selalu menutupi rasa sakitanmu dengan sikap arogan seperti itu?"

"Apa pedulimu?"

Takashi menyipit sebal, tetapi berusaha mengendalikan kalimatnya agar tak terdengar menohok lawan bicara. "Hal inilah yang membuat teman-teman menjadi salah paham dan perlahan menjauhimu."

Miya menggigit bawah bibirnya sambil meremas baretnya. "Aku tidak butuh cer--"

"Kau bisa membagi rasa sakitmu."

"Apa yang kau bicarakan?!"

Takashi mengulas senyum, bahkan kedua matanya ikut membentuk sabit. "Sebab kita teman, bukan?"

"Eh?"

Siang itu, entah kenapa jantung Miya menyuarakan degup yang tidak biasa. []

Update : September 24, 2021

As Unique as PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang