※ Poutine ※

1.1K 139 7
                                    

Hari itu Reki bermimpi. Mimpi menakjubkan seolah hal tersebut merupakan nostalgia yang ia kubur lantas dilupakan. Mega merah menjadi pemandangan awal Reki menjelajah alam bawa sadar. Tubuhnya masih mungil. Masa-masa ia menjadi bocah cengeng, jika tidak dituruti keinginannya.

Reki kembali ke masa sekolah dasar. Ia berdiri dengan setelan hoodie ditimpa kemeja sebahu berwarna cerah dan dipadu celana denim di atas lutut.

Perutnya terasa kenyang. Saat Reki mengetes bau mulut lewat sendawa, ia membaui kentang goreng dan keju, seperti ada wangi saus yang asing. Sembari berjalan membawa ransel sekolah, Reki melintasi ruang bawa jembatan.

Manik amber bergradasi pada senja di cakrawala, sedetik kemudian bola matanya menciut karena takut. Ada sosok berbaju putih tengah memeluk diri. Namun, bukan Reki namanya, kalau tidak keras kepala dan nekat. Ia melangkah ke bawah jembatan yang lebih mirip goa.

Bau tanah basah dan besi-besi berkorosi memenuhi indera penciuman. Kaki kecilnya terbawa pada sosok berseragam serba putih. Reki duga itu seragam SMA, pemuda itu tampaknya punya selera berpakaian yang hampir mirip Reki. Ia menggunakan hoodie di balik jas putih, meskipun gelap Reki bisa melihat surai navy-nya yang layu.

Reki berjongkok, bergantian memandangi papan skateboard, lalu ke arah sang pemuda yang memeluk obesesi papan putih. Tiba-tiba sebuah mobil melesat, lampunya menyinari wajah si pemuda sejenak. Manik serupa sakuranya menunduk, tampak rapuh. Ada beberapa luka kecil di tangannya yang mengepal. Si pemuda terisak kecil, tidak kekanakan. Dalam pendengaran Reki tangisnya cukup menyayat hati.

"Onii-chan, apa ini?" Reki yang dahulu masih polos. Tidak paham papan cantik berwarna putih itu difungsikan untuk apa.

Pemuda di sampingnya menoleh. Menatap intens sosok mungil Reki yang memeluk lutut. Awalnya ia menampilkan wajah terkejut, setelahnya tampak mendelik, tidak ramah.

Reki ciut dan ketika suara gemerisik aneh menganggu gendang telinga, sosok remaja berambut biru dongker menghilang bersamaan dengan atmosfer yang membawa tubuh Reki melambung.

Aroma daun teh mengudara, merasa kilauan menusuk-nusuk matanya yang sebelumnya terpejam, Reki Kyan membola. Ia berkedip beberapa kali usai mengucek mata. Mengabaikan bunga mimpi, ia menusuri ubin bersih di kamar Langa seraya menguap lebar.

"Reki, Ohayou," sapa Langa sambil mengangkat cangkir tehnya. Mirip bapak-bapak kantoran.

Reki menjawab tak jelas, tampaknya masih enggan memulai hari.

"Kita akan latihan di kamar--maksudku, hoaam~ di tamankan?"

Langa mengangguk sekenanya. Setelan kemeja biru laut polos dengan manset berkurva sudah melekat di tubuhnya. Reki terka Langa pasti sudah mandi waktu dia masih tertidur.

Reki duduk tepat di depan Langa, tampaknya masih separuh sadar. Ia duduk di kursi sambil memeluk kaki, seakan enggan menatap pagi kepalanya terkulai di atas lutut. Reki biasanya sarapan hingga makan malam di depan futon sehingga kakinya bisa terlipat di ubin. Namun, interior rumah Langa sangat berbeda. Ia makan di atas kursi berhadap-hadapan.

"Reki, makanlah." Langa mendorong sepiring poutine, tetapi lirikkan mata terfokus pada kaki Reki.

Reki memandang kentang goreng wangi berlapis remahan keju dan saus merah kental mengingatkannya kembali akan mimpinya. Iris madunya mengerjap lucu. "Apa pakaianku akan kering pagi ini? Tidak mungkin aku keluar separuh telanjang begini," ucap Reki sambil mengerucut. Tangannya menarik kedua ujung kaus biru sebal. Menampilkan perut yang kerempeng.

Langa duga. Reki bukan malu karena penampilannya yang terbuka, tetapi karena fashion-nya yang berubah sebab Reki tipikal yang suka memadupadankan pakaian berwarna cerah.

As Unique as PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang