Ini udah terhitung 2 tahun sejak Arin sama Sobin resmi pacaran. Mereka juga sering jalan bareng atau lebih tepatnya Sobin yang nyamper Arin ke ke tempat magangnya. Tahun depan Arin bakalan skripsi jadi dia lagi disibukin sama magang dan nyusun materi. Sementara Sobin udah setahun kerja di tempat bapaknya.
"enak ya yang udah kerja, mana usaha sendiri jadi bebas mau bolos juga." Cibir Arin pas mereka balik ke kantor tempatnya magang abis makan siang.
"enggak juga, sebelum begini ayah juga memperlakukan gue sama kayak pegawai lain. Lagian besok kalau lo lulus juga pasti nerusin satu restonya papa kan?"
"iya sih, jadi pengen lulus cepet. Capek kerja begini ternyata." Keluh Arin.
"pengalaman rin, nggak ada yang tau kalau semisal selesai magang lo bakal dapet tawaran kerja disini."
"pengen liburan lagi deh rasanya." Arin membahas liburan yang pernah mereka lakukan sebelum dia dipusingkan dengan masalah skripsi.
"besok deh kalau ada uang lagi, gue harus nabung dulu." Ucap Sobin.
"beneran ya, tapi jangan cuma ke Jepang." Pinta Arin.
"iya besok lo yang pilih, lagian waktu itu kan karena gue mau kasih hadiah ulang tahun ke ayah sama ibu." Sobin ingat saat dia akhirnya memberikan pasport untuk orangtuanya dan mengatakan rencana liburan mereka, justru Arin yang terlihat antusias.
"iya..."
"udah kerja dulu yang bener baru mikir liburan. Kelarin skripsi nanti gue hadiahin liburan kemana pun itu." Janji Sobin terdengar menggiurkan.
"bener ya, awas bohong." Tuding Arin yang cuma dibalas senyum sama cowok berlesung itu.
"ekhem! Kerja Al bucin melulu, dicari pak boss tuh." Tegur salah satu senior di kantor Arin.
"hehehe iya kak maaf, bye binbin kerja dulu ketemu dirumah nanti." Arin melambaikan tangan sambil berjalan menjauh dari Sobin yang membalas lambaian tangannya.
"lo harus kerja keras bin, cewek lo pengen liburan." Monolog Sobin menyemangati dirinya.
.
.
.
."tumbenan pulang malem? Ayah perasaan nggak nyuruh kamu lembur lho..." Surya bertanya heran, karena setelah Sobin memutuskan untuk meneruskan usaha sang ayah lelaki itu jadi jarang ke tokonya.
"gapapa aku lagi pengen aja." Sahut Sobin asal.
"kamu nggak rencana lanjut kuliah? Katanya cuma mau kerja setahun."
"rencananya aku malah mau lamar anak orang yah." Ucapan Sobin bikin Surya keselek.
"mau lamar anak papa?" Sonya memastikan gadis yang dimaksud putranya.
"iyalah, siapa lagi? Lamaran aja dulu nikahnya nunggu Arin siap." Sobin tampaknya udah yakin.
"emang Arin mau sama kamu?" Surya menggoda.
"ck ayah nih anaknya mau ngajak serius anak orang malah digituin. Emang ayah sama ibu nggak mau punya mantu?" Sobin cemberut menatap ayahnya.
"ya maulah, mau lamaran kapan? Udah ngomong sama mama?" Sonya yang menggebu.
"belum rencana besok sih, mumpung weekend dan Arin juga libur." Sobin berujar sambil mengunyah makanannya.
"besok lamaran apa besok ngomongnya?" Surya memastikan.
"besok ngomong minggu depan lamaran." Sobin ngomongnya enteng banget.
"serius? Emang udah ada yang dibutuhin kamu?" Surya bertanya serius.
"kalau belum ngapain aku ngomong begini, masalah cincin udah ada tenang." Sobin kemudian merogoh saku celananya mengeluarkan kotak berwarna biru beludru.
"anak ibu udah gedhe..." Sonya berujar dengan mata berkaca.
"lho kok nangis? Masa mau kecil terus akunya. Udah kuliah, udah kerja juga jadi gapapa kan kalau aku ngelamar Arin?" Sobin memastikan, siapa tau aja nggak boleh karena mereka mau dia kuliah lagi kan.
"boleh lah, masa mau punya mantu ayah nggak ngebolehin iya kan bu..." Surya menengok pada sang istri yang sudah menitikkan airmata.
"siapa tau ayah sama ibu mau aku fokus sama pendidikan dulu." Sobin mengendikkan bahunya.
"boleh sayang, ibu justru seneng kamu ngajak kita ngobrolin hal sepenting ini."
"kalau nggak ngobrol sama kalian aku mau ngobrol sama siapa? Aku cuma punya kalian, ibu nih aneh deh ngomongnya. Tapi tenang bu, ibu masih jadi cinta pertamanya Senja kok sampai kapanpun itu. Nomer dua mama terus Arin yang ketiga." Sobin berujar diikuti senyum terukir.
"ayah, Senjanya udah mau nikah..." ucapan Sobin berhasil membuat Sonya menangis kali ini bukan hanya menitikkan air mata.
"lamaran dulu, berasa mau ditinggal besok aja kamu." Surya membantu sang istri menghapus air matanya.
.
.
.
."papa...mama... Senja pengen minta izin buat lamar Arin sebagai pendamping Senja, boleh?" Sobin nepatin janjinya buat minta izin ke keluarga Arin.
"kamu beneran serius sama anak papa? Nggak lagi bercanda kan?" Juna sebenernya yakin Sobin bakal serius.
"iya aku serius, udah lama aku mau ngomong begini tapi kan kita masih sibuk sama kerjaan masing-masing jadi baru sempet sekarang. Aku juga udah ngobrolin ini sama ayah dan ibu." Sobin beneran gugup ditatap Juna seintens itu. Ini lebih berat daripada sidang skripsi.
"Alya gimana? Udah yakin sama Senja?" Eunoia bertanya pada sang putri yang menunduk.
"kalau papa ngebolehin..." Sahut lirih Arin.
"ya kalau kamu udah yakin, papa sih iya aja. Toh nggak harus ada yang dikenalin lagi kan. Secara kita udah deket banget dari dulu, kalau sekarang Senja mau serius sama Alya papa tentu setuju." Ucapan Juna ngebuat baik Arin atau Sobin bernafas lega.
"santai aja kak, nggak bakal ditolak kok. Lagian kalian udah pacaran masa iya nggak boleh ke tahap yang serius." Eunoia paham cowok jangkung itu tegang.
"sumpah aku deg-deg an ma, lebih gugup dari sidang skripsi." Jujur Sobin.
"papa salut lho kamu kesininya sendiri, jadi kapan mau lamaran?" Juna menepuk bahu Sobin bangga karena pemuda itu memang datang kerumahnya tanpa kedua orantuanya.
"minggu depan kalau boleh."
"boleh kalau kamu udah siap. Makin cepet makin baik kan." Juna ngeiyain karena lelaki itu yakin Sobin nggak bakal ingkar.
Ciyeeee yang mau lamaran uhuyyy....
Gas pol pokoknya bin terobos teroos... Rem blong

KAMU SEDANG MEMBACA
Brother-zone (?)
Fanfiction'gue suka sama lo lebih dari saudara 'kalau gue juga suka sama lo gimana?' 'yaudah ayok pacaran bukan sedarah juga kan.' Pic © pinterest