🌻2🌻

2.1K 279 9
                                    

***

Mungkin Bunda benar, aku memanglah pembawa sial. Aku tidak hanya membuat Bunda merasa sedih, tetapi aku bahkan telah membuatnya pergi jauh.

_2_

Ananta tidak beranjak dari duduknya. Sangat lama remaja itu menangis, hingga tandas air matanya. Mata bulatnya merah dan bengkak, namun dadanya masih terasa sesak.

Pusara Bunda seperti mengejeknya, karena hari ini, ia resmi ditinggalkan.

Alam jelas memahami kesedihannya, hujan mengguyur kota Semarang dengan derasnya, tak membiarkan remaja bermata bulat itu sendirian.

Hujan semakin deras membasahi pemakaman. Pakaian hitamnya sudah basah sepenuhnya, tapi remaja itu masih menunduk dan menumpahkan tangisnya dihadapan makam baru itu. Hingga ia tak sadar, seseorang telah bersimpuh di makam sang bunda, melakukan hal yang sama sepertinya.

"Hiks... Bunda."

Kedua mata Anan membulat. Suara itu sangat dikenalinya.

Kepalanya terangkat, menampilkan kedua matanya yang telah memerah dan membengkak. "Ju-na?"

Detik itu, kedua mata keduanya bertemu. Keduanya sama-sama menangis, mata mereka sama-sama memerah dan membengkak. Dan lagi, tiba-tiba dada keduanya berdetak sangat kencang, hingga lupa caranya untuk bekerja dengan normal.

Arjuna Gala Mahesa, remaja itu adalah kembarannya.

Tidak! Bukan pertemuan seperti ini yang ia harapkan.

.
.
.

Ingatanmu pasti membawaku dalam kenangan terburuk yang pernah kamu miliki.

.
.
.

"Juna udah bilang, Juna gak mau dia ikut kita."

Suara dingin Arjuna terdengar menusuk, seperti ada jarum tak kasat mata yang sengaja diarahkan kepada Ananta, yang masih menunduk.

Ini adalah kali pertamanya mereka bertemu setelah 10 tahun. Ananta juga tak menyangka, ayahnya datang untuk menjemputnya. Karena selama ini, pria itu selalu terdengar  dingin saat ia menghubunginya.

"An-Anan gak papa kalo tinggal sendiri disini, Yah. Anan juga udah punya rencana buat daftar di SMA yang sama kayak teman Anan."

Pria paruh baya yang sedari tadi terdiam itu menghela napasnya. Jayandra, pria itu tak habus pikir dengan jalan hidupnya. Tania pergi begitu saja, membawa salah satu buah hatinya. Dan kini, mantan istrinya itu juga pergi, sangat jauh hingga ia tak lagi dapat menemuinya.

"Anan tetap ikut kita ke Jakarta. Ayah udah siapin semuanya."

"Ayah!"

Jelas Juna adalah yang paling keras menentang. Dalam pandangan remaja 16 tahun itu, Ananta telah merebut semua kasih sayang bundanya. Bundanya hanya peduli pada Ananta itu dibanding dirinya, dan ia tak memiliki alasan lain untuk peduli pada saudara kembarnya itu.

"Juna udah bilang kalo Juna gak mau dia ikut kita!"

"Terserah kamu mau bilang gimana, Juna. Ayah tetap akan membawa Ananta."

Jayandra, sebenci apapun ia pada Tania, ia tidak akan menjadi kekanakan dengan membenci Ananta juga. Sudah cukup sikap dinginnya pada si bungsu selama ini. Tania sudah pergi, dan Anan hanya punya dirinya dan Juna. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Tentu saja.

.
.
.

Hari berikutnya lebih cerah dari sebelumnya. Hujan tidak lagi membasahi kota, suhunya lebih hangat hingga membuat hati Ananta juga menghangat.

Ayah tidak banyak berbicara padanya, sesekali hanya bergumam dan memberi perintah kepada Pak Awan, supir pribadinya. Sedangkan Juna, kembarannya itu tengah tertidur pulas, menyender di kaca mobil.

Pria bermata bulat itu tersenyum tipis sembari memperhatikan saudara kembarnya. Mereka memang tidak mirip, bahkan Juna lebih tinggi dibanding dirinya. Jika ayah lebih banyak mewarisi gen-nya pada Juna, maka untuknya, bunda adalah yang mendominasi. Walau begitu, mereka tetaplah saudara kembar yang memiliki ikatan batin yang kuat. Ketika Juna sakit, ia juga akan ikut sakit tanpa tahu alasannya. Tapi setelah bunda membawanya untuk pergi, ia tidak lagi berhubungan dengan Juna.

Ngomong-ngomong, ia jadi teringat Raka. Sahabatnya itu belum tahu apa-apa karena remaja itu tengah liburan ke luar kota, dan ia tidak ingin mengganggu ketenangan sahabatnya.

Tapi perihal kepindahannya, ia tidak mungkin menyembunyikan ini dari Raka. Jahat sekali jika ia tiba-tiba menghilang tanpa mengabari apa pun pada sahabatnya itu.

"Yah." Panggilnya. Suaranya sendiri sudah hampir habis, terlalu banyak menangis membuat suaranya bergetar.

"Hmmm."

Hatinya sedikit sakit, Ayah berubah menjadi dingin padanya. Atau mungkin, perasaannya sedang sangat sensitif hari ini. Bukankah pria paruh baya itu sudah biasa dingin saat dihubungi olehnya?

"An-Anan izin untuk meminjam ponsel Ayah. Anan ingin mengabari teman Anan, Yah."

"Ponselmu dimana?"

Anan menunduk dalam ketika Ayah meliriknya. Nampaknya Ayah tidak suka dengan permintaannya itu.

"Anan gak punya ponsel. Selama ini Anan pake ponsel bunda buan ngehubungin Ayah."

Didengarnya pria itu menghela nafas panjang. Apakah ayah akan memarahinya? Sungguh ia sangat takut.

"Ini, pakai dulu punya Ayah. Nanti kita mampir buat beli ponsel baru."

Remaja itu tertegun, matanya menatap tak menyangka Ayah yang sudah menyodorkan benda pipih bewarna hitam tersebut. Hatinya tersentuh.

Senyumnya perlahan mengembang, kedua tangannya mengambil ponsel tersebut. "Ma-Makasih Ayah."

.
.
.

Andai kamu tahu, Juna. Aku merasa sangat bahagia, karena akhirnya kalian ada bersamaku. Aku mungkin tidak akan ketakutan lagi, karena kali ini aku tidak benar-benar sendiri dan terluka.

.
.
.

'Jahat banget kamu, Nan. Untungnya kamu hafal nomorku. Pokoknya, kamu harus ngabarin aku kalo udah sampe. Dan jangan lupa buat kasih tau alamat kamu di Jakarta, biar aku bisa main ke rumahmu kalo liburan.'

Ananta tak hentinya bersyukur dalam hati, karena respon Raka saat ia menghubunhinya tadi tidak seperti yang ia bayangkan sebelumnya.

Mereka berteman sangat erat, bahkan sejak tahun pertama di sekolah menengah pertama. Di saat siswa lain menjauhinya karena sikapnya yang tertutup, Raka adalah satu-satunya yang berani mendekatinya. Mengajaknya berbicara dan selalu mengajaknya untuk sekelompok tiap kali ada tugas kelompok.

Helaan nafas terdengar dari sampingnya. Juna, saudara kembarnya itu nampak terbangun dari tidurnya. Ah, setidaknya dukanya tergantikan oleh kehadiran Ayah dan Juna. Bertemu dengan Juna adalah hal yang tak pernah bisa ia bayangkan selama sepuluh tahun terakhir, karena bunda selalu melarang dan mengurungnya.

"Jangan anggap gue mau nerima lo kayak Ayah. Lo itu cuma anaknya bunda, bukan anaknya ayah."

"Arjuna!"

"Terus aja ayah belain anak sial itu!"

Hatinya terasa sakit, tentu saja. Ucapan tajam Juna terasa begitu menusuk.

.
.
.

Tapi lagi-lagi aku terhempas, Juna. Karena nyatanya, kehadiranku adalah kesakitan bagimu.

.
.
.

TBC

Huuuffttt... Kelar 2 part. Hmzz. Maaf ya kalo gimana gitu. Aku ini agak random:) yaa.. pokoknya minta maaf dulu sebelum ada yang protes🙂

ANDROMEDA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang