***
Bolehkah aku pergi? Semua ini lebih terlihat seperti mimpi dibanding kenyataan.
_15_
Suasana malam hari di rumah keluarga Mahesa tidak seperti biasanya. Malam ini terlalu sunyi di kediaman keluarga kecil tersebut.
Ayah benar-benar melakukan perjalanan bisnisnya pagi tadi. Sedangkan Jean dan Raka hari ini tidak bisa menginap karena mereka juga harus pergi ke luar kota. Kebetulan yang sangat menyebalkan.
Anan mengerjapkan matanya pelan, rasa sakit menghantam kepalanya begitu saja ketika ia mulai tersadar.
Ah iya! Ia ingat, terakhir kali ia memeluk Juna erat, menahan Juna yang penuh dengan emosi itu. Lalu,
Ah lalu apa yang terjadi? Ia melupakan bagian terakhirnya.
Matanya menangkap sang kakak yang terduduk memunggunginya. Juna duduk di pinggiran ranjang, tapi dengan posisi membelakanginya.
"J-Jun-a" rasanya suaranya hampir saja menghilang. Kerongkongannya kering, sudah berapa lama ia tertidur?
Tidak ada pergerakan dari kakak kembarnya.
Apa kakaknya tertidur? Tidak, Juna tidak bisa tertidur dengan posisi duduk seperti itu.Anan beranjak dari tidurnya, berusaha merubah posisinya, duduk menyender di kepala ranjang. Sungguh, tubuhnya masih terasa sangat lemas.
"Jun-"
"Apa gue udah terlalu jahat ke lo, Nan?" Suara dingin Juna tiba-tiba saja terdengar. Sangat jelas dan sedikit bergetar.
"A-apa maksudnya, Jun?"
Bukannya menjawab, Juna malah berbalik menghadapnya. Anan cukup terkejut melihat Juna dengan matanya yang telah memerah. Itu bukan Juna! Bukan? Lalu siapa?
"Ini apa, Nan?! Gue nemuin ini di laci meja belajar lo!"
Matanya membulat ketika Juna menunjukkan botol berisi obat penenang ditangannya. Jadi, Juna sudah mengetahuinya? Padahal ia telah berusaha menyembunyikannya dari ayah dan Juna.
"Lo mau mati?"
Anan menunduk dalam. Rasa bersalah mengerubungi hatinya.
"Jawab gue, Nan! Kenapa ada obat ini di-"
"Iya kamu bener, Jun!"
Tidak seperti yang dibayangian, justru Juna tersenyum meremehkan. Remaja itu memainkan botol obat digenggamannya, sebelum membukanya dan mengeluarkan beberapa butir obat dari botol tersebut.
"Lo mau mati kan?"
Anan mengangkat kepalanya, menatap Juna bingung.
"Lakuin sekarang di depan gue."
Ini gila! Juna menjulurkan tangannya, di dalam telapak tangannya terdapat beberapa butir obat. Remaja itu menarik telapak tangan Anan, lalu memindahkan obat-obat itu ke tangan sang adik.
"J-Jun-"
"Kenapa? Lo mau mati kan?"
Ada yang berbeda dari Juna saat ini. Remaja itu terlihat tidak seperti Juna yang biasanya. Senyum meremehkannya masih terukir, ia terlihat senang karena Anan ketakutan dibuatnya.
"T-Tapi kenapa?"
Suara dengusan Juna terdengar sangat jelas di kedua telinganya. Tapi beberapa saat setelahnya remaja itu tertawa seperti orang gila.
"Lo akhirnya bakal pergi dari hidup gue buat selamanya. Gue udah nunggu ini dari lama dan gue gak mau ngelewatin kesempatan ini."
Anan tertegun mendengar pengakuan Juna. Ia tidak pernah mengira Juna akan mengatakan hal tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANDROMEDA (TAMAT)
Fiksi Penggemar(Brothership) "Ketika mencoba untuk lebih berani, semua rasa sakit yang dirasa tidak seburuk luka yang diterima." ... Arjuna, aku memutuskan untuk menulis ini karena aku tidak bisa menjawab semua pertanyaanmu saat itu. Andai kamu tahu, aku ini muna...