***
Jika kamu juga menganggapku pembawa sial, ya mungkin itu benar.
_3_
Anan tidak pernah menyangka, akhirnya ia menginjakkan kakinya lagi di rumah masa kecilnya itu.
Tidak banyak yang berubah, kecuali keberadaan foto-foto yang terpajang di dinding rumah. Ia tak menemukan keberadaan fotonya dan juga bunda, hanya ada foto ayah dan Juna yang terpajang. Padahal dulu, mereka sering sekali berfoto bersama.
"Kamar Anan belum dibersihin, jadi sementara tidur di kamar Juna dulu, ya."
"AYAH!"
Belum sempat ia menjawab, Juna sudah terlebih dahulu berteriak. Saudaranya itu berubah jadi ketus padanya, tidak seperti Juna kecil yang selalu ia kagumi senyumnya.
"Iya atau ayah sita semua gadget kamu?"
Dengusan Juna terdengar begitu jelas, bahkan Anan sampai tidam berani menatap saudara kembarnya itu.
"Oke. Tapi dia tidur dibawah."
.
.
.Aku mungkin telah merenggut segalanya. Tapi aku sangat bersyukur, karena kamu tidak lupa caranya untuk bersimpati padaku.
.
.
.Tidur di lantai memang bukan keahlian seorang Ananta. Pria itu selalu berakhir demam jika di pagi harinya. Udara semalam terlalu dingin untuknya, terlebih Arjuna menyalakan AC ke suhu terendah. Hey! Selama ini Anan hanya menggunakan kipas angin di kamarnya. Tentu saja tubuhnya merespon tidak suka.
"Bisanya cuma bikin repot aja."
Anan mengabaikannya. Remaja itu sudah bergelung di dalam selimut yang Juna gunakan sebelumnya.
Ntah mengapa semalam Juna tiba-tiba mengangkat tubuhnya, membawanya untuk tidur di atas dan membebatnya dengan selimut tebal. Meski ucapannya masih tajam, Arjuna masih tetap sudi untuk merawatnya.
"Gue panggil ayah dulu."
Spontan Anan menggeleng. Masih terlalu pagi untuk membangunkan Ayah. Pria itu pasti masih beristirahat. Ia tidak ingin merepotkan Ayah.
"Yaudah, abis sarapan minum obatnya. Gue udah minta Pak Awan buat beliin bubur ayam. Nanti ambil sendiri di bawah, jangan manja." Setelah mengatakannya, Juna langsung pergi meninggalkan kamar.
.
.
.'Aku jadi sendirian nih pas wisuda besok.'
Senyum Anan mengembang ketika gerutuan Raka terdengar begitu jelas. Ponsel yang ayah belikan sudah dapat ia gunakan, walaupun hanya untuk mengobrol dengan sahabatnya itu. Untungnya, dulu Raka selalu meminjaminya ponsel dan mengajarinya cara untuk menggunakannya. Jadi ia tidak terlalu kaku menggunakan benda tersebut.
"Gimana nilaiku ya?"
'Hmmmm... Gak ada bocoran nih. Tapi yang kudenger dari Bu Dewi, ayah kamu dateng nemuin dia buat ngambil pengumuman kelulusan.'
Kemarin kan hari libur?
'Tau gak bagian yang ga terduganya?'
Ntah mengapa Ananta menjadi cemas, pikiran negatifnya menyeruak hingga permukaan. Tidak mungkin kan, jika selama ini Ayah-
'Ayah kamu selalu dateng ke sekolah tiap tahunnya, buat mantau nilai kamu. Gak nyangka, kan? Eh udah dulu ya, mama manggil nih. Bye Anan!'
"Bye Raka."
Ayah?
Remaja itu terdiam, cukup lama. Tidak mungkin kan jika selama ini Ayah memperhatikannya? Pria itu sangat sibuk, sampai tak memiliki waktu banyak untuk sekadar berbicara padanya melalui sambungan telepon.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANDROMEDA (TAMAT)
Fanfic(Brothership) "Ketika mencoba untuk lebih berani, semua rasa sakit yang dirasa tidak seburuk luka yang diterima." ... Arjuna, aku memutuskan untuk menulis ini karena aku tidak bisa menjawab semua pertanyaanmu saat itu. Andai kamu tahu, aku ini muna...