***
Benar apa yang kamu ucapkan, aku memang tidak pantas Juna. Aku terlahir untuk menahan kesakitanku sendiri, dan tak pantas memiliki pelindung seperti dirimu.
_4_
Ananta kira, hari pertamanya akan terasa sangat membosankan karena tidak ada Raka. Tapi ternyata Jean lebih asyik dibanding Raka yang banyak diam.
Ia bersyukur, kehadiran Jean membuatnya terus dekat dengan Juna. Walaupun kembarannya itu sejak tadi diam, mengaduk makanannya tanpa minat.
"Anan, lo pindahan darimana?"
Yang diajak bicara mengangkat kepalanya, menatap Jean. "Se-Semarang, Je." Lirihnya.
Lantas Jean tersenyum lebar, remaja itu senang sekali karena ini adalah kali pertamanya ia bertemu dengan Ananta. Dalam pandangannya, Anan adalah remaja yang menggemaskan dan penurut, tidak seperti Juna yang sudah 11 12 dengan kulkas dua pintu di rumahnya.
"Jangan gugup gitu dong, Nan. Santai aja, anggap aja kita lagi liburan di pantai."
Anan mengangguk kaku. Temannya Juna itu sebenarnya lucu, Anan sama sekali tidak gugup berinteraksi dengannya. Hanya saja tatapam tak suka yang dilayangkan Juna kepadanya cukup mengganggu.
"Jangan terlalu deket sama dia, dia itu manja. Lo pasti direpotin terus sama dia, Je."
.
.
.
"Ananta Gala Mahesa. Dia pindahan dari Semarang."
"Oh ya? Namanya kedengeran gak asing."
"Ah Juna! Nama mereka kedengerannya sama."
"Aku juga lihat mereka berangkat pake mobil yang sama tadi pagi."
"Eh itu tuh anaknya."
Ananta menunduk sedari memasuki toilet. Orang-orang yang tidak ia kenali berbisik sembari menatapnya dengan tatapan penasaran. Apakah ada yang salah dengan penampilannya?
Puk.
Baru saja ia menutup keran, seseorang telah menepuk bahunya.
"Lo Ananta, kan?"
Pertanyaan yang sama seperti yang Jean layangkan tadi pagi. Apakah orang itu temannya Juna juga?
"I-iya."
"Santai aja Bro! Gue gak bakal ngapa-ngapain kok. Gue Kevin, salam kenal."
Kevin merangkulnya hingga mereka terlihat begitu dekat. Padahal ia tidak begitu nyaman, karena beberapa anak menatap mereka sinis.
"Gue bakal seneng banget kalo lo mau jadi temen gue."
"A-ah iya."
Remaja yang baru dikenalnya itu melepas rangkulannya, membuatnya menghela nafas lega. Oh ayolah, Anan tidak begitu nyaman dengan perlakuan Kevin. Mereka bahkan baru saling mengenal.
"Nah, sekarang gue minta kontak lo. Kita kan temen."
.
.
.
"Jay, gue denger lo udah dapet hak asuh Anan. Kenapa bisa gitu?"
Jayandra, pria paruh baya itu tersenyum menatap lawan bicaranya.
Yudha, sahabat karibnya, sekaligus partner kerja. Mereka telah bersama, jauh sebelum memilih keluarga masing-masing. Dan persahabatan mereka akhirnya diwariskan kepada anak mereka, siapa lagi jika bukan Juna dan Jean? Ya meski keduanya baru dekat ketika memasuki sekolah dasar.
"Lagian lo liburannya lama banget."
"Bukannya gitu, Jay. Acara rutin tiap tahun tuh, takutnya mertua gue ngutuk gue kalo gak ikutan. Btw, sejak kapan?"
"Hmm... udah sebulan sih. Tapi gue bingung, Yud. Juna keliatannya gak suka sama Anan."
"Kenapa gitu? Bukannya mereka kembar? Harusnya kan-"
"Tania. Dia udah misahin mereka berdua dari awal, sampai hubungan mereka gak lagi erat seperti sebelumnya."
Yudha nampak berpikir, pria itu mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya. Ucapan Jayandra sepertinya cukup mengganggunya.
"Tapi kalo dipikir-pikir, Jay. Lo dulu tuh bucin banget sama Tania. Gue aja sampe kaget pas denger kalian pisah. Apa sekarang kalian udah baikan?"
Senyum yang mengembang di wajah Jayandra menghilang begitu saja. Tania adalah topik yang sangat dihindarinya, walaupun ia yang memulai, tetap saja hatinya belum siap dengan pembicaraan itu. Baikan?
"Dia udah meninggal. Lagian gak ada yang perlu diperbaikin dari hubungan kita, kan?
"A-apa? Kenapa lo gak nga-"
"Dia yang milih buat pergi, Yud. Seenggaknya, Anan gak lagi tersiksa karena bundanya itu. Gue jahat gak sih? Di saat anak-anak ngerasa kehilangan bundanya, gue ngerasa lega karena hak asuh mereka sepenuhnya di gue."
Ya, Jayandra mengetahui segalanya. Nyatanya, selama sepuluh tahun ini, pria itu selalu mengunjungi si bungsu diam-diam.
"Jay, itu hak lo buat ngerasa lega atau berduka. Gue tau, perjuangan lo buat dapetin hak asuh Anan itu gimana. Sekarang, tugas lo buat si kembar ngerasa nyaman dan aman sama lo."
.
.
.
'Ananta Gala Mahesa, nama lo bagus juga. Sepulang sekolah, temuin gue di belakang sekolah.
-Kevin'
Anan menghela nafasnya panjang. Tiba-tiba rasa tak nyaman menyelimuti hatinya. Oh ayolah, ia kini merasa amat menyesal karena telah mengiyakan permintaan Kevin. Remaja itu terlihat mencurigakan. Tapi sayangnya, Anan tidak cukup berani untuk menentangnya. Oh ayolah, dia bahkan baru menginjakkan kakinya di kota besar ini, detelah sepuluh tahun lamanya tinggal di Ibukota Jawa Tengah.
"Hey, Nan. Diem-diem aja, kuy pulang. Juna dah jalan duluan tuh."
"Mmm.. Jean. Bisa gak kamu kasih tau ke Juna, aku pulang sendiri hari ini. Aku harus pergi sebentar, ada yang harus aku selesaiin."
Meski Jean terlihat ragu, tapi remaja itu tetap mengangguk mengiyakan permintaan Ananta. "Hubungin gue kalo ada apa-apa ya."
"Iya, Je. Makasih ya. Aku duluan." Setelahnya Anan berlari, pergi menuju tempat yang Kevin sebutkan dalam pesannya.
Beberapa siswa meliriknya, tatapan-tatapan penasaran itu seakan mengikutinya di sepanjang langkah kakinya ia melewati lorong sekolahan. Apakah tiba-tiba ia menjadi terkenal di sekolah ini? Sepertinya itu tidak mungkin terjadi.
"Dateng juga lo, Nan. Gue kira, lo gak sempet baca pesan dari gue."
Tubuh Anan mendadak bergetar, pemandangan itu tidak pernah ia kira sebelumnya. Kevin ternyata tidak sendiri, tetapi ada teman-teman yang lainnya, yang memiliki penampilan seperti berandalan. Anan merutuk dalam hati, jika seperti ini rupa orang yang ia temui, seharusnya ia memilih untuk pulang bersama Juna dan Pak Awan.
"Santai aja sih. Yuk gabung! Gue kenalin ke temen-temen gue."
Kevin menyambar tubuhnya, remaja itu dengan santai merangkulnya dan membawanya untuk lebih dekat dengan orang-orang itu.
"Hai Guys! Perhatian semua!" Kevin berteriak cukup keras hingga mengalihkan perhatian mereka semua.
"Ini yang namanya Ananta Gala Mahesa.
Saudara kembarnya Juna."
TBC
...
KAMU SEDANG MEMBACA
ANDROMEDA (TAMAT)
Fanfiction(Brothership) "Ketika mencoba untuk lebih berani, semua rasa sakit yang dirasa tidak seburuk luka yang diterima." ... Arjuna, aku memutuskan untuk menulis ini karena aku tidak bisa menjawab semua pertanyaanmu saat itu. Andai kamu tahu, aku ini muna...
