🌻18🌻

1.6K 196 2
                                    

***

Menjadi tak terduga, karena orang-orang di dalamnya.

_18_

"Kak Kevin!"

Kevin mendengus ketika suara yang sudah tak asing lagi menyapa kedua telinganya, berbeda dengan Juna yang malah menahan tawa karena tingkah sahabatnya itu.

Hey! Siapa lagi jika bukan Jean?!

Padahal,  Kevin baru saja memarkirkan mobilnya di halaman rumah Keluarga Mahesa. Dan menemukan dua remaja yang juga baru saja memarkirkan sepedanya.

Raka saja sampai malu mengakui jika remaja itu adalah sepupunya. Memang, Jean itu tingkat kepedeannya serta sok kenal dan sok dekatnya itu terkadang diatas rata-rata manusia normal.

Ya, manusia normal. Mungkin sejenis Raka, dikurangi sedikit kadar emosinya.

"Hai Jean! Lo kenapa tiba-tiba ada disini?"

Agak aneh bagi Kevin, seumur-umur, baru kali ini ia berbicara santai dengan Jean. Ya, sebelumnya mereka selalu berakhir dengan tatapan tajam. Sekonyol-konyolnya Jean, remaja itu bisa juga menjadi sangat garang dan dingin, seperti tokoh pria utama dalam cerita cinta yang banyak ditulis.

"Nyariin bayi gue lah kak, masa nyariin si patung hidup kek Juna. Gak banget!"

Diam pun tetap kena, Arjuna Gala Mahesa, yang kini tengah bertahan melawan godaan untuk menampol mulut licin sahabatnya itu.

"Adek gue ketiduran noh, mau gendong gak? Kan lo bapaknya."

Juna tahu saja kelemahan Jean, remaja itu langsung meringis tanpa berniat menjawab pertanyaan Juna. Hey! Mau dikemanakan wajahnya jika ia mengaku tidak kuat?!

"Udah-udah, gue aja."

Ada sedikit kelegaan ketika Kevin mengajukan diri. Remaja yang lebih tua itu mengangkat tubuh Anan, membawanya keluar dari mobil tanpa beban.

"Juna tolong bukain pintunya ya. Kalian juga jangan berisik."

Semudah itu? Jean hampir saja menjatuhkan rahang bawahnya, Kevin kuat sekali!

Pada akhirnya, mereka mengikuti di belakang, seperti anak bebek yang mengikuti induknya. Iya, mereka berbaris mengekori Kevin yang tengah menggendong Anan. Tapi ketika baru saja memasuki rumah-

"Ayah! Papi!"

Jangan salah paham dulu, itu Jean yang berteriak. Ya, putra tunggal Yudha itu kini memanggil paman Jayandra dan paman Theo dengan sebutan ayah dan papi. Lagipula mereka tidak keberatan, terlebih Theo yang merasa memiliki banyak anak sekarang, dan ia jadi tidak kesepian lagi.

Ngomong-ngomong, mereka menemukan dua pria dewasa itu tengah duduk di ruang tamu. Bukannya ayah bilang sedang ada urusan tadi? Kenapa tiba-tiba ada di rumah?

"Loh, kalian udah nyampe? Ada Raka sama Jean juga? Sini ayah yang gendong, kasihan Anan gak nyaman keliatannya."

Kevin sih tidak keberatan. Ayah itu kuat, bahkan pria dewasa itu terlihat tidak kesulitan ketika mengangkat Anan yang masih tertidur pulas.

"Jun, lo kasih Anan obat tidur ya? Kok pules banget tidurnya?" Celetuk Jean yang mengundang tawa lirih Theo. Anak-anak ini ternyata melebihi ekspektasinya, luar biasa.

Juna mendengus kesal. "Justru kalo boleh gue mau cekokin lo obat tidur sekarang juga."

"Udah-udah. Kalian laper kan? Papi udah beliin banyak makanan buat kalian."

"Raka mau!"

.
.
.

"Ayah."

Jayandra yang baru saja membenarkan selimut untuk putra bungsunya itu mengalihkan pandangannya. Anan menggeliat, seperti bayi yang baru saja bangun dari tidurnya. Ah sudah lama sekali.

"Iya? Kepala Anan pusing? Atau ada yang sakit?"

Ia berjongkok di samping ranjang. Tangan besarnya mengusap surai si bungsu, matanya setia menatap pergerakan sang anak.

Bungsu Mahesa itu beranjak perlahan, lalu memeluk erat tubuh bongsor sang ayah. "Anan sayang ayah, jangan sedih ya. Maafin Anan sama Juna yang jarang merhatiin ayah."

Jayandra tersenyum, tatapan matanya bertemu dengan mata sendu si bungsu. Seharusnya ia yang meminta maaf, karena telah menjadi pengecut selama ini. Selalu memperhatikan kesakitan si bungsu tanpa bisa membantunya.

"Ayah juga sayang Anan, jangan sakit lagi ya. Jangan takut lagi, sekarang gak cuma ada ayah dan Juna, tapi juga ada Papi, Kak Kevin, Jean, Raka, juga Papa Yudha dan Mama Wina. Kamu gak sendirian, Nan."

Tentu, ucapan Jayandra membuat Anan tersenyum lebar. Benar, kali ini ia tak sendirian, rumah yang ia impikan telah ramai, terisi oleh orang-orang hebat di sekelilingnya.

"Ayah."

"Hmm. Anan butuh sesuatu?"

Remaja itu tidak menjawab pertanyaan sang ayah, malah memilih untuk mengeratkan pelukannya, membuatnya tenggelam dalam tubuh sang ayah.

"Maaf karena Anan sempat berprasangka buruk ke ayah. Anan kira ayah udah gak peduli lagi sama Anan, makanya ayah gak nemuin Anan waktu di Semarang. Tapi, ternyata ayah selalu ada buat Anan. Maafin Anan ya."

Jayandra menghela nafas, tangan besarmya mengusap pelan punggung mungil si bungsu. Pelukan hangat pertamanya, setelah si bungsu bukan lagi menjadi sosok balita yang banyak bertanya.

Pria dewasa itu benar-benar merindukannya saat ini. Wajah Anan tidak banyak berubah, senyumnya masih cerah seperti dulu. Namun matanya lebih sering menyorotkan tatapan sendu, dan pipi gembilnya yang perlahan menghilang.

"Udah ya peluknya, kamu harus makan siang dulu. Keburu Jean sama Juna ngabisin makanannya."

"Gendong!"

Bukan Jayandra namanya jika ia menolak. Nyatanya pria itu dengan senang hati mengiyakan permintaan si bungsu, menggendongnya di punggung.

"Oke, kereta api tujuan ruang makan segera meluncurrr!!! Tuuuttt Tuuutt!"

Anan tertawa mendengarnya. Ayahnya itu ternyata tidak melupakannya. Padahal sudah lama sekali mereka tidak melakukannya.

Dari deretan masa lalunya yang kelam, ternyata ada juga yang berharga. Seperti kebersamaannya dengan Juna, ayah dan bunda.

Yah, Bunda.

Bagaimanapun perlakuannya dulu, wanita itu tetap saja bundanya. Wanita yang membiarkannya hidup di dalam kandungannya, juga wanita yang berjuang untuk melahirkannya.





...

TBC

...



Hmzz,,, jangan tanya gimana kelanjutan kisah dari cimol yang Jean beli kemarin. Hilang! :"(

Eh ga tau deh🙃

ANDROMEDA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang