🌻8🌻

1.6K 219 3
                                    

***

Setidaknya, hal itu bisa membuat rasa sedihmu berkurang.

_8_

'Nan, kayaknya aku bener-bener bakal pindah sekolah deh. Aku mungkin bakal tinggal di rumah bibiku, dan sekolah bareng sepupuku. Papa sama mama bakal pindah tugas di Sumatra, aku gak bisa ikut karena mereka mungkin gak tetap disana.

-Raka.'

"Siapa?"

Anan tersenyum pada Jean yang terlihat penasaran. "Sahabatku. Katanya dia bakal pindah sekolah."

"Oh. Gue kira Kevin."

Ah ngomong-ngomong tentang Kevin, ada banyak hal yang sebenarnya ingin ia tanyalan tentang remaja itu.

"Jeje kenapa bisa kenal sama Kevin?" Mata bulatnya menatap penasaran pada remaja yang dihadapannya.

"Ya, siapa sih yang gak kenal sama dia? Dia kan dulu terkenal banget di sekolah lama gue. Musuh bebuyutannya Juna. Makanya lo harus jauh-jauh dari dia. Gue cemas, dia punya rencana buruk, Nan."

"Ta-tapi kenapa bi-"

"Setauku, Kevin iri karena Juna selalu lebih unggul darinya."

.
.
.

Klasik.

Satu kata yang menggambarkan permasalahan di antara Kevin dan Juna.

Ananta termenung di dalam kamarnya. Sore tadi, ia diantar oleh Jean sampai rumah. Sama-sama mengayuh sepeda mereka masing-masing, karena rumah mereka searah.

Matanya menyendu,

Apa itu artinya, Kevin hanya memanfaatkannya untuk menghancurkan Juna? Jahat sekali.

Anan bahkan tidak sampai memikirkan hal tersebut sebelumnya. Untungnya, ia cepat-cepat menghindari Kevin. Tapi melihat remaja itu mendatanginya siang tadi, ia jadi khawatir. Bukan pada dirinya sendiri, tapi pada Juna yang menjadi tujuan Kevin.

Cklekk..

Pandangannya beralih pada Ayah yang baru saja membuka pintu kamarnya.

"Putra bungsunya ayah kenapa gak keluar kamar? Ayah udah bawain pecel lele kesukaan kamu dulu."

Senyumnya mengembang, walau terlihat kaku. "Makasih ayah. Anan bakal nyusul nanti, ayah sama Juna makan aja duluan."

Tapi bukannya keluar dari kamar si bungsu, ayah lebih memilih untuk mendekatinya dan duduk di pinggiran kasur, menghadap Ananta yang masih memeluk bantalnya erat.

"Kenapa murung?"

Ah, dia ketahuan.

"Anan rindu bunda?"

Mata bulatnya bergetar, ia buru-buru mengalihkannya ke dindin kamarnya. Anan tidak kuat menatap ayah, tidak untuk saat ini.

"Bu-bukan itu." Lirihnya.

Sejak insiden mati listrik di rumah Jean, ayah terlihat selalu mencemaskannya. Ia senang, karena akhirnya ada juga orang yang cemas padanya. Bahkan saat masih bersama bunda, bunda tidak pernah berbicara selembut ini padanya.

Ananta bahkan masih bisa merasakan sakit di punggungnya, mungkin masih ada bekasnya disana.

"Ayah, Anan takut." Ia menundukkan kepalanya perlahan. "Banyak hal yang gak terduga di dunia ini. Anan takut kehilangan kalian, An-Anan takut sendiri." Setelahnya, Anan terisak. Beban di dadanya seakan meluap, menggumpal di pelupuk matanya.

Suara helaan nafas mendominasi kamar tersebut, termasuk suara isakan lirih Anan.

"Anan, ayah juga dulu penakut. Ayah gak bisa naik sepeda sampai hampir lulus sekolah dasar."

ANDROMEDA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang