🌻6🌻

1.6K 230 13
                                    

***

Tapi bolehkah aku berharap kamu mau menerimaku lagi, Jun? Aku merindukan masa-masa kecil kita.

_6_

"Ayah, kita mau kemana?" Kalimat pertama Anan yang tujukan pada Ayah hari ini.

Sejak pagi tadi, remaja itu masih takut untuk memulai percakapan dengan ayah. Bayangan tentang ayah yang terlihat sangat marah membuatnya diam. Tapi saat ini, pria paruh baya itu nampaknya sedang dalam suasana hati yang baik. Ayah tak henti-hentinya tersenyum, sampai Juna mengira ayahnya kerasukan ruh saat berada di kantor. Hey, rumor kantor ayah berhantu sudah tersebar di kalangan karyawan. Pak Awan saja sering bercerita di pos ronda bersama warga lain.

Ngomong-ngomong, sore tadi ayah mengabari keduanya, bahwa pria paruh baya itu akan menjemput mereka. Dan benar saja, saat ini mereka tengah terduduk di kursi belakang, karena kursi di samping pengemudi telah penuh dengan tas belanjaan.

"Tante Wina ngundang kita buat makan malam di rumahnya."

"Pa-pacar ayah?"

Bukannya menjawab pertanyaan Anan, pria paruh baya itu malah tertawa keras. Sedangkan Juna yang sejak tadi mencoba untuk memejamkan matanya, kini berali menatapnya tajam.

"Jangan sok tau, lo!"

"Juna, jangan gitu sama adeknya!"

Ayah menegurnya, dan membuat si sulung mahesa itu mendengus.

"Tante Wina itu istrinya sahabat lama ayah. Anaknya sekolah bareng kamu sama Juna."

Anan mengernyit bingung. Apa jangan-jangan Kevin? Kevin tahu jika ia adalah saudara kembar Juna. Mungkin saja kan dia mengetahuinya dari orang tuanya.

"Si-siapa?" Mendadak ia gugup.

Sungguh Anan tidak siap menghadapi Kevin saat ini. Ada Juna, ia tidak siap jika benar Kevin memiliki niatan yang buruk kepada saudarnya.

"Nanti juga kamu bakal tau."

.
.
.

Jean menggerutu sejak tadi. Papa dan mamanya mendadak bertingkah aneh. Terlebih lagi mama yang terlihat lebih bersemangat untuk memasak berbagau macam hidangan. Padahal biasanya, wanita paruh baya itu lebih memilih untuk membuatkan telur mata sapi untuk suami dan anak satu-satunya.

Bukannya tak senang, tapi tingkah kedua orang tuanya itu memang sangat mencurigakan. Apa jangan-jangan mereka merencanakan sesuatu? Ah, atau mungkin-

"GAKKKK!!!"

"Jean!"

"Je, jangan teriak-teriak di dalem rumah! Malu sama tetangga, nanti dikiranya Papa melihara jin."

Ia melototi papanya. Papanya itu memang selalu asal berbicara. Suka sekali mengejek anaknya. Padahal ia satu-satunya disini.

"Papa jahat!"

"Kenapa sih, sayang? Mama kaget loh kamu teriak kayak tadi."

Pandangannya beralih pada mama yang telah selesai dari kegiatannya menata meja makan.

"Kalian gak lagi nyembunyiin sesuatu dari Jean, kan?! Kalian gak lagi mau ngadain syukuran karena mama lagi hamil, kan? Jean gak mau punya adek!"

Tuk!

"Aduh!" Jean mengaduh setelah mamanya memukulkan sendok sayur padanya.

.
.
.

"Ughh... gemesnya! Gak kayak Jean sama Juna, pipinya gak berisi."

Dengusan keras terdengar dari Jean yang berdiri di samping mamanya. Ya, setidaknya ia bisa bernapas lega sekarang, karena ternyata keluarga paman Mahesa lah yang akan datang. Lupakan tentangnya yang merengek tadi!

ANDROMEDA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang