***
Sekali lagi kukatakan, keberadaamu terlalu berharga untukku yang terbuang.
_16_
Hari semakin malam dan dingin. Juna yang sejak tadi terjaga, menatap diam sang adik yang juga terdiam mengalihkan pandangannya.
Sedangkan ayah, pria itu pergi untuk menebus obat dan juga membeli makanan malam. Kedua putranya pasti belum memakan apa pun sejak pulang sekolah.
Anan telah sadar beberapa saat yang lalu. Tapi remaja itu tidak berani untuk menatap sang kakak. Mimpinya tadi begitu nyata.
Bayangan Juna dalam mimpinya semalam
terus saja menghantui pikiran remaja 16 tahun tersebut. Bagaimana jika mimpinya menjadi nyata?!"Nan."
Tubuhnya tersentak ketika suara Juna menyapa alat pendengarannya. Padahal, Juna tidak membentaknya. Hanya panggilan lirih yang terdengar.
"J-Jun."
Nasib buruk untuk suaranya. Ia terdengar ketakutan sekarang. Mata bulatnya menatap takut-takut sang kakak yang terduduk di samping bangsalnya.
Ingatkan Ananta untuk tidak mencabut jarum infusnya dan kabur dari hadapan sang kakak saat ini juga. Pasti akan sangat memalukan jika ia melakukannya.
"Kenapa?"
Suara detak jantungnya memenuhi kedua telinganya. Rasanya seperti tenggelam di kedalaman lautan yang gelap dengan sekelompok hiu pembunuh yang mengintainya. Benar-benar menegangkan!
Ia tidak akan berakhir seperti di dalam mimpinya tadi, bukan?
"Udah berapa lama lo ngonsumsi obat ini, Nan."
Ini sama seperti yang ada dalam mimpinya!
"J-Jun, ma-"
Grepp...
Kedua matanya membulat ketika Juna menarik tubuhnya ke dalam pelukan remaja itu. Pelukan yang sama eratnya seperti pelukan yang ia dapatkan di dalam mimpinya.
"Maafin gue, Nan."
Mereka sama-sama terdiam setelahnya. Terutama Anan yang tak menyangka jika Juna akan meminta maaf seperti ini.
Cklek...
"Hey, ayo makan. Ayah bawain makanan kesukaan kalian."
Juna melepaskan pelukannya perlahan, dan menghampiri ayah yang tersenyum hangat padanya. Si sulung Mahesa itu menundukkan kepalanya, mendadak ayah menjadi sosok yang membuatnya takut juga malu secara bersamaan.
"Juna ud-"
Belum kalimatnya usai, ayah sudah lebih dulu mengusak rambutnya lalu menepuk pundaknya pelan.
"Gak papa. Kamu udah lakuin yang terbaik, kakak."
Ada rasa haru ketika ayah menyebutnya 'kakak'. Itu artinya, ia mendapatkannya kembali. Label yang telah lama menjauhinya, meninggalkannya sendiri. Ia adalah seorang kakak di keluarga Mahesa. Ya, seorang kakak.
.
.
."Ih cepetan dong, Pa!"
Yudha mendengus kesal. Padahal ia sudah sangat lelah mengemudikan mobilnya berjam-jam kemarin malam. Tapi kabar dari sahabatnya membuat mereka cemas dan memutuskan untuk kembali ke Jakarta secepatnya.
Ya, tentu saja panik. Wina sejak tadi mencoba menghubungi Jayandra, namun pria itu tidak juga mengangkat panggilannya. Juna juga tidak bisa dihubungi, membuat Jean serta Raka semakin panik.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANDROMEDA (TAMAT)
Fanfic(Brothership) "Ketika mencoba untuk lebih berani, semua rasa sakit yang dirasa tidak seburuk luka yang diterima." ... Arjuna, aku memutuskan untuk menulis ini karena aku tidak bisa menjawab semua pertanyaanmu saat itu. Andai kamu tahu, aku ini muna...