Kalau ditanya soal bagaimana perasaan Rayadinata saat ini, jawabannya sudah jelas: kacau. Sedih marah, tersinggung, dan bingung bercampur jadi satu. Bohong? Untuk apa Rayadinata berbohong sampai harus mengada-ada tentang cerita mistis itu?
Dengan wajah super kusut, Rayadinata sampai di rumah dan sudah memarkirkan motornya di halaman. Baru saja ia ingin membuka pintu rumah, Rayadinata nyaris menjerit ketika ia melihat adiknya yang berdiri di dekat jendela dengan senyum lebar. Melihat kakaknya melompat mundur, Arsadinata tertawa dari dalam rumah kemudian berlari entah ke mana.
"Arsa!"
"Rara, jangan teriak-teriak, saru." Julianto menegur dari arah ruang makan. "Malu sama tetangga."
"Arsa tuh, ngeselin."
"Dih, disenyumin adiknya kok nggak mau." Arsadinata lagi-lagi memasang wajah meledek ketika Rayadinata melirik tajam ke arahnya. Memang hanya Arsadinata satu-satunya orang yang tidak peduli jika Rayadinata sudah mulai naik pitam. Prinsipnya, marah nggak marah bukan urusan saya.
"Heh, udah." Julianto berusaha melerai sebelum baku hantam terjadi di rumahnya. "Bapak nanti ronda, pintu depan dikunci aja soalnya Bapak udah duplikatin kunci yang baru. Kalau laper, nanti beli aja."
"Tumben nggak masak, Pak?" tanya Rayadinata sambil melirik ke arah meja makan yang memang kosong melompong.
"Lagi M katanya," jawab Arsadinata sekenanya, yang membuat Rayadinara menaikkan sebelah alis."
"M apaan?"
"Males."
"Mbak."
"Hm?"
Arsadinata masuk ke kamar sang kakak lalu merebahkan tubuhnya ke kasur dengan sprei berwarna abu-abu itu.
"Laper."
"Makan, dong."
"Beli yang maskotnya badut itu, ya?"
Rayadinata mendecih pelan sambil melempar ponselnya ke kasur. "Iya, buruan. Pesenanku samain aja kaya punyamu."
"Oke."
Arsadinata lantas keluar, yang Rayadinata tebak pasti ke ruang tengah. Adiknya itu memang memiliki kebiasaan menunggu ojek online di ruang tengah sambil menonton televisi meskipun tidak ada acara yang benar-benar menarik perhatiannya. Bagi Arsadinata, ia tidak mau membuat driver menunggu untuk kedua kalinya padahal ia sudah bersusah payah membelikan makanan yang customer inginkan.
Selagi menunggu makanan mereka datang, Rayadinata kembali menekuni tugasnya yang sesungguhnya masih bisa ia kerjakan besok, tapi ia perlu menyibukkan diri supaya tidak terlalu memikirkan perkataan Hendrasaka sore tadi. Benak Rayadinata sedikit terusik, tetapi ia memilih untuk mengabaikan itu.
Lagi pula, mustahil 'kan kalau siaran radio itu benar-benar gaib? Mana ada hantu yang menjadi penyiar radio?
Memilih untuk tidak terlalu memikirkan persoalan tentang DJ Heksa dan radio kampus, atensi Rayadinata pun terfokus pada apa yang harus ia kerjakan di meja belajar saat ini. Saking fokusnya, ia sampai tidak sadar kalau waktu sudah menunjukkan pukul 00:01.
"Selamat malam!" Suara DJ Heksa kembali menyapa indera pendengaran Rayadinata, membuat gadis itu menarik ujung bibirnya tanpa sadar. Suara pria itu selalu terdengar cerah dan ceria, layaknya suasana musim panas yang menyenangkan. "Hayo, nungguin segmen ini dari tadi, ya, setelah ngerasain hari ini kayanya kok nyebelin banget? Tenang, kali ini gue mau bawain cerita dari Melinda biar mood kalian bagus lagi. Buat Melinda, terima kasih udah mau berbagi pengalaman mistis kamu ke After Midnight, ya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
After Midnight
HorrorI thought everything was normal, until I realized how wrong I was. -Bathed in Fear, Bonus Project 1. © 2021 nebulascorpius