XX

106 14 0
                                    

"Kita pertama kali ketemu belasan tahun lalu, tepatnya di salah satu jalur hiking Pegunungan Menoreh. Aku waktu itu jalan-jalan sama kakakku, Mbak Hayu, yang masih SMA. Sialnya, karena aku sering berhenti di jalan buat lihat sana-sini, aku nyasar. Bayangin, Ra, anak SD kelas 3 nyasar di hutan.

"Aku berusaha nyari Mbak Hayu sebisa mungkin, teriak-teriak manggil namanya walaupun yang kudenger cuma gema suaraku sendiri. Aku nangis, mana waktu itu udah mendung gelap. Aku mau ketemu Mbak Hayu, mau pulang. Aku nyesel waktu itu maksa dia buat hiking ke Pegunungan Menoreh cuma karena aku kepingin setelah denger cerita temenku yang habis hiking juga bareng kakaknya.

"Sampai aku nemuin bapak-bapak yang lari ke pinggir jurang dan nyelametin anak perempuan yang hampir jatuh ke sana. Anak perempuan itu nangis, lengannya luka-luka sambil teriak manggil papanya ke arah jurang, sedangkan si bapak-bapak nahan dia supaya nggak nekat ikut turun.

"Aku lihat bapak-bapak itu gendong si anak perempuan. Aku akhirnya berjalan deketin mereka tepat saat gerimis turun. Si bapak kaget karena aku tiba-tiba muncul, sedangkan anak perempuan yang dia gendong masih histeris.

"Aku minta tolong buat nganterin ke bawah, siapa tahu Mbak Hayu udah di bawah 'kan? Tapi kamu tahu 'kan, Ra, cuacanya hujan. Otomatis jalurnya pasti lebih licin. Karena si anak perempuan ini masih histeris, si bapak-bapak nggak punya pilihan lain selain nolongin salah satu di antara mereka berdua.

"Udah bisa nebak 'kan siapa yang dipilih?"

"Ya, si anak perempuan, lah; karena ada risiko dia bakal lari nyusul papanya yang udah jatuh ke jurang. Aku ditinggal, Ra. Aku ditinggal di hutan dengan jaminan kalau bapak-bapak itu bakal balik lagi setelah nganterin si anak perempuan ke rumah penduduk.

"Aku ditinggal gara-gara kamu histeris nangisin orang tua yang jelas udah nggak bisa ditolongin, paham?"

Heksandriya menghentikan monolognya, mengusap pipi Rayadinata dengan lembut.

"Hujannya tambah deres, aku kedinginan, tetep teriak-teriak di hutan mesipun rasanya mustahil bakal ada yang nanggepin.

"Tapi, aku salah. Ada yang nanggepin teriakanku, Ra. Aku denger suara Mbak Hayu, dan menurut insting seorang bocah, aku bakal ngikutin arah sumber suara itu 'kan? Kuikutin, Ra, dan tanpa sadar aku udah ngelewatin sesuatu yang tak kasat mata."

Rayadinata melotot, menatap Heksandriya tak percaya sekaligus ngeri.

"Iya, aku malah masuk ke dimensi lain; tempat di mana aku bisa ngelihat kalian tapi kalian nggak bisa ngelihat aku. Bayangin, setelah aku masuk ke dimensi itu, hujannya berhenti. Aku lihat banyak penduduk sama tim penolong nyariin aku; lihat Mbak Hayu udah nangis sampai sesek, teriak-teriak manggil namaku sampai suaranya parau.

"Padahal aku jelas-jelas ada di depan dia.

"Dan gara-gara itu, Mbak Hayu disalahin dan dirundung orang tua dia sendiri. Aku lihat itu semua, ngelihat gimana mata kakakku bengkak karena nangis. Badannya makin kurus karena dia nggak nafsu makan sama sekali.

"Sampai dia hampir nyerah karena tekanan keluarga, tapi berhasil ditolongin sama salah satu temennya yang nggak pernah nyalahin dia. Telat sedikit aja, Mbak Hayu beneran mati kayanya.

"Dan waktu Mbak Hayu udah mulai pulih, temennya ini ngusulin sesuatu."

Rayadinata mulai cemas. Ia punya firasat kalau ia tidak menyukai apa yang akan diceritakan Heksandriya kepadanya.

"Hayu, gimana kalau kamu ngelakuin perjanjian sama setan aja buat nemuin Heksa?"

After MidnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang