XVII

76 15 1
                                    

Radio itu sudah dibawa oleh Arsadinata dan akan dibuang entah ke mana, meninggalkan Rayadinata sendirian di dalam kamarnya dengan segala macam pikiran berkecamuk dalam kepalanya.

Jadi, semua pengalaman mistis yang diceritakan di radio itu sesungguhnya merupakan pengalaman Rayadinata sendiri?

Lalu, dari mana DJ Heksa tahu tentang cerita-cerita Rayadinata? Apakah ini semua ulah teman-teman magangnya? Rasanya tidak mungkin. Terlalu kelewatan jika mereka semua berkomplot hanya untuk menjahili Rayadinata seperti ini.

Inneke. William. Coraline. Melinda. Tora.

Rayadinata merapalkan kelima nama itu dalam hati, berusaha mengingat siapa tahu ia mengenal mereka.

Nihil.

Rayadinata tidak mempunyai teman sekolah atau kenalan dengan nama-nama itu.

Lantas, mereka itu siapa?

"Rara?"

Gadis itu nyaris melompat dari tempat tidur saat seseorang memanggil namanya. Ia menoleh ke arah pintu yang ternyata masih dalam kondisi terbuka, menampilkan sosok Julianto yang sedang mengenakan jaket.

"Bapak? Mau ke mana?"

"Mau layat ke Kalasan, mertua temennya Bapak meninggal. Kamu di rumah sendirian nggak apa-apa? Bapak tadi denger suara motornya Arsa soalnya."

"Ah, itu ... Arsa ke Toko Merah, nyari cat air atau apalah nggak ngerti."

"O, ya udah." Julainto mengangguk. "Adikmu dikabarin biar pulangnya nggak mampir-mampir. Bapak berangkat dulu, ya?"

"Hati-hati, Pak, nggak usah ngebut."





Senja berakhir lebih cepat dari biasanya, menghapus harapan Arsadinata untuk berpapasan dengan orang di jalan. Di jam-jam ini, jalanan desa akan terasa lebih sepi, karena sebagian penduduk melaksanakan ibadah berjamaah di masjid atau mushala.

Dalam kata lain, tidak akan ada orang yang melihat Arsadinata terkapar di jalanan dan tertimpa motornya sendiri.

"Nekat, ya, mau buang radionya?'

Arsadinata seketika merasa merinding.

"Kakakmu itu belum dengerin siaran terakhirnya DJ Heksa, nanti dia nyesel kalau nggak tahu cerita selanjutnya."

Seseorang mendekatinya. Arsadinata secara samar bisa melihat postur tubuh orang itu. Wanita dewasa dengan tubuh tinggi, dan seorang pria yang berdiri tidak jauh dari tempat Arsadinata saat ini. Langkah kaki wanita itu terdengar seperti ketukan setiap kakinya menyentuh aspal. Arsadinata membuka mulut, hendak mengucapkan sesuatu, tapi terlambat.

Kepalanya dihantam menggunakan radio tua milik ayahnya.

Berkali-kali.

Hingga wajah rupawannya tak dapat dikenali lagi.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sudah hampir dua jam dan Arsadinata tak kunjung pulang, membuat Rayadinata merasa cemas dan berusaha menghubungi sang adik. Tidak ada respons, dan gadis itu hanya bisa menunggu di dalam rumah dengan ketakutan yang terus bergelayut manja di lengannya.

Hampir setengah jam kemudian, ia mendapati sebuah pesan dari Arsadinata yang mengatakan kalau ia sebentar lagi sampai di rumah. Sang adik meminta Rayadinata untuk membuka gerbang supaya Arsadinata tidak perlu repot-repot turun dari motor saat ia pulang nanti.

Sesuai permintaan siswa SMA itu, Rayadinata lantas pergi keluar dari kamarnya, berniat untuk membuka gerbang rumah. Baru saja ia membuka pintu, Rayadinata menyadari kalau pintu rumahnya tidak dalam keadaan terkunci. Apakah Arsadinata sudah pulang?

"Arsa?" ucap Rayadinata sambil berjalan keluar menuju teras rumahnya.

Tidak ada jawaban. Motor Arsadinata pun tidak terlihat. Rayadinata menginjakkan kaki ke halaman, melihat ke sekeliling, tidak menemukan siapa pun di sana. Gerbang rumahnya juga tidak dikunci.

"Apa Bapak tadi lupa ngunci, ya?" Rayadinata bertanya pada dirinya sendiri. "Balik lagi aja, deh. Arsa juga belum kelihatan."

Ia berjalan kembali ke dalam rumah, dan Rayadinata memilih untuk menunggu adiknya di ruang tamu saja.

Sampai ia melihat benda yang tak asing diletakkan di atas meja ruang tamu.

"Selamat malam."

Rayadinata bergegas mendekati meja dan melemparkan radio tua itu ke lantai, berharap benda itu langsung rusak.

"Kembali lagi bersama Heksa Kesuma-"

"Stop!"

"Di segmen After Midnight-"

"Stop!"

"-dengan cerita dari Utari."

Rayadinata berlari mendekati pintu rumah, berusaha untuk membukanya, tapi terkunci. Begitu juga dengan semua jendelanya.

"Jangan panik, dong, 'kan ceritanya belum dimulai?"

After MidnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang