4. REKAYASA

60 6 2
                                    

“Kehadiranmu ibarat terbitnya pelangi setelah hujan. Mampu mengusir sepi dan kesunyian hati yang terasa menyiksa”

Setelah kejadian hari itu hubungan Nadira dan papanya sempat renggang. Nadira selalu berusaha menghindar, meskipun sudah dibujuk oleh suaminya. Hatinya masih sakit saat papa memukul suaminya. Ia benar-benar tidak terima.

“Maafkanlah papamu, Sweetie. Tidak ada baiknya memusuhi keluarga sendiri apalagi ini adalah Papamu sendiri. Mas tidak masalah dan sudah memaafkan. Ini juga bukan benar-benar kesalahan Papa. Siapa suruh Mas tidak menjaga permatanya yang paling berharga,” bujuk Raka sambil sesekali menatap nakal istrinya.

“Tapi Papa tidak menghargaimu, Mas. Aku sakit hati melihatnya,” gerutu Nadira.

“Wajar jika Papa masih ragu menerima kehadiran Mas karena putri terkasihnya telah memiliki orang lain selain dirinya. Kamu tidak perlu mengambil hati atas perubahan sikapnya itu.”

“Papa bisa cemburu juga!” Nadira terpana mendengar ucapan suaminya dan baru menyadari sesuatu. Selama ini memang hanya dirinya yang dimiliki orangtuanya. Wajar saja papanya begitu overprotective padanya. Namun, ia tetap tidak bisa membenarkan sikap main hakim papanya tanpa memberi kesempatan suaminya untuk membela diri. Tidak pernah.

“Tentu saja bisa, tetapi cemburunya itu karena terlalu menyayangimu. Nah … sekarang apakah kamu masih mau melanjutkan perang dingin ini? Mas merasa gerah melihatnya,” senyum Raka terkembang di bibirnya.

Hatinya terasa lebih hangat karena rasa cinta yang membuncah. Tatapannya terasa memabukkan. Nadira yang menatapnya seolah-olah terpesona dan tak mampu memutus sihir dari mata kelabu itu. Serasa sebuah cahaya putih berpendar di dalam dada dan membuat tubuhnya serasa mengawang-awang. Inikah cinta sebenarnya! Perpaduan rasa sayang dan keindahan yang melenakan jiwa. Nadira tak mampu mengalihkan pandangannya dari wajah tampan berkacamata yang ada di depannya.

“Apakah kamu bisa berbaikan lagi dengan Papamu?” tanya Raka mulai mendekati tubuh istrinya.

Nadira hanya menganggukkan kepala dan tidak mampu berkata-kata. Senyumnya yang manis membuat sang suami merasa takjub. Perlahan Raka mengulurkan tangan dan membelai pipi Nadira.

“Kamu cantik sekali, Sweetie. Mas merasa beruntung telah memilikimu,” ucap Raka dan ketika jarak bibir keduanya semakin dekat, tiba-tiba terdengar keributan di luar kamar.

“Aishh …. Ada apa sih berisik banget?” gerutu Nadira dan segera berdiri.

Raka hanya tersenyum sambil memalingkan wajah. Ia merasa geli membayangkan kegugupan istrinya tadi dan ia terselamatkan dengan suara berisik di luar. Baginya rona merah di wajah  sang istri sangat imut dan mempesona, sehingga ia selalu melihatnya. Nadira sudah keluar kamar dan melihat kejadian di luar kamar. Dengan rasa malas Raka menyusul istrinya.

“Ada apa, Pa?” tanya Nadira mendekati papanya.

Mendengar panggilan itu Prasetyo menoleh kaget dan menatapnya.

“Tuan, ular itu sudah ditangkap dan saya sudah memasukkan ke dalam karung,” lapor Randi dan Ahmad, pekerja di rumah itu. Nadira terkejut mendengar laporan tersebut.

“Segera bawa keluar!” perintah Prasetyo.

“Ular. Darimana asalnya, Pa? Bukankah selama ini tidak pernah ada ular di rumah ini?” tanya Nadira mulai ketakutan.

Prasetyo merangkul tubuh putrinya sambil tersenyum.

‘Ular. Bagaimana mungkin rumah semewah ini didatangi hewan melata tersebut? Bukannya rumah ini jauh dari habitatnya’ Raka tak habis pikir.

The License of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang