6. RENCANA LICIK (1)

44 3 0
                                    

“Setelah kepergianmu, maka jangan pernah berharap dirimu akan diterima kembali dalam hidupnya”

Prasetyo masih melirik putrinya yang tampak gelisah. Hari ini adalah jadwal kepulangan Raka dan sebenarnya ia malah berharap menantunya itu tidak pulang saja. Padahal jika mengingat kembali kehidupan mereka tanpa Raka sangat membahagiakan. Masa penyembuhannya menjadi lebih cepat dari jadwal biasanya. Nadira juga lebih care dan bisa menemaninya.
‘Bagaimana caranya mencabut ‘parasit’ ini dari kehidupan putriku?’ pikirnya sambil menatap ke teras depan.

Tiba-tiba terdengar suara mobil memasuki gerbang depan dan Nadira segera berlari keluar meninggalkan papanya. Raka sedang menyerahkan tasnya pada Pak Ahmad dan mengambil buah-buahan yang ada di bagasi.

“Mas Raka …,” teriak Nadira dan terhenti di depan Raka.

Raka menatapnya sambil tersenyum dan membentangkan kedua tangannya. Melihat itu mata Nadira berkaca-kaca dan ia segera berlari memeluk suaminya. Ada rasa haru di dalam hati Raka melihat tubuh istrinya yang agak kurusan. Apakah mungkin ia sakit karena rindu? Raka hanya menggelengkan kepala, tetapi jika memang itu penyebabnya alangkah bahagianya.

“Kamu merindukanku ya?” tanyanya.
Nadira tak bisa berkata-kata.

Hanya isak tangis bahagia yang mampu ditunjukkannya sambil memeluk erat sang suami. Prasetyo menyusul keluar dan melihat kedatangan Raka dengan ekspresi datar dan sikap yang dingin.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Prasetyo basa basi padahal seharusnya ia tidak berniat bertanya seperti itu.

“Baik, Pak. Maaf saya terpaksa tinggal lebih lama dari rencana sebelumnya karena kematian ibu Aini. Kebetulan ada rencana pembangunan tambahan gedung panti dan saya diminta turut membantu untuk lokasi dan desain tambahannya,” terang Raka tanpa diminta.

“Masuklah. Nad, suamimu pasti lelah. Segera siapkan makan siang untuknya,” pinta Prasetyo dan segera kembali masuk ke dalam rumah.

Nadira menggandeng lengan suaminya dengan manja dan senyum selalu merekah dibibirnya. Rasanya ia tidak sanggup untuk berpisah lagi dengan Raka.

Menahan beban rindu itu sangat menyiksa dan baginya sehari rasa setahun. Kepergian Raka membuatnya menyadari sesuatu bahwa ia sangat mencintainya. Ada bagian jiwanya yang hilang selama kepergian Raka.

“Mas, biar Nad yang menyimpan koper dikamar. Apakah Mas mau mandi dulu?” tanya Nadira.

“Boleh juga. Tolong ya, Sweetie,” pinta Raka dan memilih duduk di sofa sebentar sambil melepas lelah.

Prasetyo sedang menatapnya intens.

“Baiklah. Nanti Nad siapkan di kamar,” sahut Nadira dan segera masuk ke kamar.

Setelah kepergian Nadira, Raka merasa kikuk berhadapan dengan mertuanya. Ia mengatur duduknya dan menundukkan kepala.

“Bagaimana kabar Papa?” tanya Raka berusaha mencairkan suasana.

“Alhamdulillah, lebih baik dari sebelumnya. Sepertinya penyembuhanku lebih cepat jika kamu tidak ada di rumah ini,” ucapnya ketus sambal menatap majalah yang dipegangnya.

Mendengar itu Raka merasa terkejut sekaligus tersinggung sekali. Ia merasa seolah-olah kehadirannya adalah penyebab penyakit mertuanya.

“Syukurlah, Pa. Saya ikut senang melihat penyembuhan Papa,” sahut Raka mengabaikan rasa yang menyakitkan akibat perkataan mertuanya.

“Mas Raka, airnya sudah siap,” panggil Nadira dari pintu kamar.
Raka menoleh padanya dan menganggukkan kepala.

“Pa, saya permisi dulu ya. “ Setelah itu ia berjalan menuju kamar untuk membersihkan diri. Prasetyo hanya memalingkan wajah dengan tidak suka.

The License of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang