“Rasa ini telah menghempas diriku dalam lingkaran kesesatan yang nyata dan mencoba meraih bintang-bintang di langit, tetapi semuanya
hanya fatamorgana”Raka masih berdiri di depan gerbang rumah mertuanya yang telah ditempati bersama Nadira sejak menikah. Suasana sunyi menyambutnya dan seolah-olah tidak ada kehidupan di rumah tersebut.
Harapan yang membuncah di hati dan membawanya kembali seolah-olah sirna begitu melihat kesunyian yang menyergap. Hening. Tiba-tiba ia melihat seorang lelaki keluar sambil membawa sebuah tempat sampah besar. Ia tidak mengenalnya sama sekali. Siapa dia?
“Pak … Pak,” panggil Raka sambil melambaikan tangan. Lelaki paruh baya itu melihat dan segera mendekatinya.
“Ada apa, Pak?” tanyanya ramah.
“Ke mana pemilik rumah ini, Pak? Saya adalah menantu di rumah ini?” terang Raka. Lelaki tersebut tampak menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan wajahnya tampak bingung.
“Ada apa, Pak? Ke mana perginya pemilik rumah ini?” tanya Raka kembali.
Tampak kepalanya masih celingak celinguk melihat ke arah rumah, tetapi tidak ada orang lain yang keluar sama sekali.
“Maaf, Pak. Pemilik rumah ini baru datang besok. Dan rasanya pasangan muda itu belum mempunyai anak yang sudah menikah. Bapak siapa?” tanya lelaki tersebut.
Pasangan muda? Bukannya pemilik rumah ini mertuanya? Apakah rumah ini sudah dijual? Secepat itu? Berbagai pertanyaan muncul di pikiran Raka dan ia semakin sulit menemukan jawaban. Yang bisa menjawabnya hanya sang mertua. Lalu dimana mereka?
“Maksudku apakah pemilik sebelumnya sudah menjual rumah ini?”
“Maaf, saya tidak tahu. Tetapi sekarang rumah ini adalah milik Pak Nugroho. Bapak mencari siapa?” tanya lelaki tersebut dan masih berusaha membantu Raka.
Mendengar perubahan nama pemilik rumah, tubuh Raka tampak lemas dan ia tak mampu berkata-kata lagi. Tubuhnya merosot sambil bersandar di pagar dan wajahnya menunduk sedih.
“Pak, apakah Bapak yang bernama Raka?” tanya si lelaki paruh baya tersebut.
Mendengar namanya disebut, Raka segera bangkit dan menatap Bbpak itu.
“Benar, Pak. Apakah Bapak mengenal saya?” tanya Raka balik.
Kemudian ia melihat bapak itu mengeluarkan sesuatu dari saku celana dan menyerahkannya pada Raka.
“Surat ini saya temukan saat membersihkan kamar yang ada di lantai dua. Mungkin ini ditujukan untuk Bapak. Ambillah!” ucapnya.
“Benarkah! Terima kasih ya, Pak,” sahut Raka dan segera menatap surat tersebut.Lelaki paruh baya itu memilih pergi dan melanjutkan pekerjaannya. Raka membuka surat dengan tergesa-gesa dan tulisan tangan Nadira menerpa matanya.
Melihat tulisan itu mata Raka langsung berkaca-kaca karena menahan rindu pada sang istri. Ia pun membaca surat itu dengan perlahan dan menyerap setiap kata yang ditulis. Ketika sampai pada kalimat terakhir, wajah Raka sudah penuh dengan airmata. Tubuhnya terguncang menahan rasa. Ada gumpalan rasa sesal yang membuatnya tak mampu berkata-kata maupun teriak. Ia tak mampu menjelaskan kesalahfahaman yag terjadi.
Jika saja waktu bisa diputar kembali, ingin ia meneriaki kebodohannya yang langsung menerima amplop dari mertuanya tanpa memberi penjelasan. Mengapa hari itu ia tidak menunggu sang istri sampai sadar, malah sibuk menemani bayi mungilnya yang sedang gawat? Rasa sesal menyiksa hati dan ia bingung hendak menjelaskan semua ini tidaklah benar. Semua hanya rekayasa yang dibuat seseorang untuk memisahkan mereka.
![](https://img.wattpad.com/cover/274276958-288-k159933.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The License of Love
Любовные романыBerawal dari keinginan sang mama ingin melihat Nadira menikah sebelum meninggal dunia. Keinginan itu dipenuhi Nadira dengan Raka, kekasihnya. Pernikahan pun dilakukan secara sederhana. Prasetyo terpaksa menyetujui juga, meskipun sebenarnya tidak. ...