Sembilan Belas | Kita Telah Sampai

7K 689 334
                                    

Matahari masih belum naik lebih tinggi saat Thera menyibukkan diri dengan menu sarapan juga satu suplemen wajib yang tidak boleh ia lewatkan setiap pagi; kopi. Sebelumnya lelaki itu sudah menyiapkan dua piring nasi goreng di meja dan saat ini baru selesai menggoreng dua telur mata sapi yang ternyata bentuknya tidak sesempurna perkiraannya. Tetapi ia tidak peduli.

Ia membawa dua telurnya ke meja, meletakkan telur yang bentuk kuning masih utuh ke piring Arion, dan menyisakan yang kurang sempurna untuknya. Masalahnya, kalau Thera memberikan si telur yang tidak sempurna itu untuk Arion, anak itu pasti akan langsung mencecarnya dengan kalimat seperti; "ganteng doang, goreng telur aja gagal". Dan Thera tidak ingin membuang-buang waktu dengan membela diri yang pada akhirnya hanya akan sia-sia, karena ia tahu Arion tidak pernah mau kalah beradu mulut dengannya.

Diam-diam lelaki itu menarik senyuman. Membayangkan paginya yang tidak pernah lagi terasa membosankan. Waktu tiga bulan ternyata memang telah mengubah banyak hal. Ada beberapa hal yang hilang dan mau tidak mau harus Thera lepaskan, tetapi itu masih tidak sebanding dengan apa saja yang sekarang berhasil ia genggam. Salah satunya ... Arion.

"Lo mandi apa cosplay jadi keong, deh, Ar? Lama amat. Keburu dingin ini nasi gorengnya."

Setengah memekik, Thera melirik lagi pintu kamar mandi yang dari tadi belum terbuka. Kalau sedang mode rajin mandi, adiknya itu memang betah sekali berlama-lama di dalam sana. Kadang sampai menghabiskan air di bak mandi yang Thera isi penuh pagi-pagi buta, atau sengaja menjajal seluruh produk cuci muka milik Thera yang ia tinggal di sana.

Thera sendiri sudah duduk di balik meja, meniup-niup kopi hitam yang khusus ia beri dua sendok gula hari ini. Sampai akhirnya pintu kamar mandi terbuka dan Arion muncul dari baliknya hanya dengan mengenakan celana selutut juga handuk yang ia kalungkan di lehernya, membiarkan dada bidangnya terbuka, tanpa busana.

"Gue mandi lama biar glowing," ucap anak itu, sembari mengusap rambut basahnya dengan handuk dan berjalan menghampiri meja.

Masih sambil meniupi kopinya, Thera terkekeh. Ia kemudian menyeruput isi di gelasnya, mengecap buih yang tidak pernah gagal memberinya lega, sebelum akhirnya ia menurunkan gelas kopinya kembali dan membuka suara.

"Boleh juga perut lo. Udah lebih kebentuk daripada yang terakhir kali gue liat. Lumayan, lah," ucap Thera. Setidaknya, untuk ukuran seorang Arion Januarta yang malas olahraga, proporsi tubuh seperti itu sudah cukup sempurna.

"Nggak usah jelalatan mata lo. Dosa!"

"Apaan lo cowok juga."

"Ya tapi tetep aja ini aset gue."

"Kalau nggak mau dilihat, pake baju makanya. Lo selalu ngamuk liat gue telanjang tapi sekarang sendirinya main buka-bukaan."

Arion yang tadi sudah menggenggam sendok dan nyaris menyuap nasi gorengnya mendadak berhenti untuk kemudian menatap Thera. Menunda sejenak niatnya untuk makan karena kalimat terakhir lelaki itu ternyata mengusik lebih dari yang ia kira.

"Beda, ya. Gue telanjang di depan lo doang. Lah lo telanjang di depan kamera habis itu fotonya disebar ke media sosial. Kalau gue main buka-bukaan, yang nikmatin pemandangan indah ini juga cuma lo doang. Tapi kalau lo yang buka-bukaan, yang ngelihatin aset lo, tuh, semua orang. Paham bedanya?"

Mendengar itu, Thera justru tertawa dan mendorong gelas kopinya sedikit ke tengah. Arion sudah kembali makan, dengan handuk yang masih ia biarkan menggantung di leher, seolah sengaja membiarkan topik sebelumnya menguap lalu lenyap.

"Yang penting, kan, sekarang udah enggak," ucap Thera kemudian. Lelaki itu meraih piringnya sendiri dan ikut menyendok nasi gorengnya. Membiarkan detik merangkak menjadi jeda yang cukup untuk mengembalikan tenangnya pagi di sana.

AtheRionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang