Aroma menenangkan dari secangkir espresso hangat menyambut pagi Thera. Menghapus penat akan pekerjaan yang begitu melelahkan, tapi begitu menjanjikan. Thera tak munafik bahwa dalam hidupnya kini, uang adalah prioritas utama untuk membuat dia dan Arion bertahan hidup.
Tapi, Thera terlampau tahu bagaimana hubungannya dengan Arion semenjak dia memutuskan menapaki dunia model. Ada jarak yang perlahan membentang. Ada ego yang semakin lama tak bisa ditentang. Namun ada tanggung jawab yang tak bisa ia tinggalkan.
Bila saja Thera tidak ingat bahwa ia bisa masuk melalui pintu belakang semalam, mungkin pagi ini ia sudah membeku di teras depan. Arion benar-benar melakukan apa pun bila dia tidak suka. Termasuk mengunci pintu untuk kakaknya sendiri, hanya karena tak suka dengan apa yang Thera lakukan.
"Lo kenapa di sini?"
Suara adiknya membuat Thera menoleh. Melirik Arion yang baru saja keluar dari kamar, tepat saat dia menghabiskan rokoknya yang kedua.
"Ini rumah gue juga kalau lo lupa," ucap Thera dingin. Kembali menyesap kopi, sembari fokus pada foto dirinya yang sudah masuk di majalah online. Tampan. Bisa-bisanya Arion membenci pekerjaan yang membuat postur tubuh sempurnanya terlihat begitu luar biasa.
"Sial! Lo pasti jadi penyusup 'kan tadi malam?"
"Di rumah gue sendiri? Sori, ya, gue masuk pakai otak. Lo kira pintu depan lo kunci, maling nggak bisa masuk lewat pintu belakang?"
Arion mendengus kesal. Berjalan menuju dapur, dan meninggalkan Thera yang masih menatapnya dari meja makan.
"Apaan masuk pakai otak. Pakai kakilah. Katanya model, tapi bego juga." Arion masih menggerutu. Tangannya sibuk meraih gelas air sambil sesekali melirik Thera yang masih fokus pada ponsel. Total abai pada keberadaan adiknya yang menyedihkan ini.
Apa dia tidak ingat tanggung jawabnya sebagai Kakak? Apa lelaki itu tidak bisa menyiapkan sepotong roti dan segelas susu di meja makan untuknya? Ah, atau harusnya Arion ingat, bahwa Thera tak pernah peduli apa pun tentang dirinya.
Iya... itu pikir Arion.
"Katanya, sih, punya Kakak. Tapi berasa hidup sendiri. Nggak masalah, sih. Kata orang, jangan menggantungkan hidup kamu dengan orang lain. Tapi percayakan hidupmu pada diri kamu sendiri. Karena orang lain bisa berkhianat. Dih, pinter juga gue walaupun nggak lulus kuliah," gumam Arion.
Ingatannya kembali pada malam tadi. Saat meninggalkan mie-nya begitu saja seteleh beradu mulut dengan Thera. Dia baru memakan beberapa suap. Belum cukup untuk memenuhi gizi cacing-cacingnya di perut. Jadi atas dasar itu, dia kembali beralih pada rak makan. Mencari lagi bungkus mie instan yang sama seperti semalam.
Tidak peduli bila sarapannya terlalu berat. Memaksa lambung untuk bekerja lebih keras. Asal kenyang, akibatnya bisa dipikirkan nanti. Apalagi setelah ini, pekerjaan kembali menanti. Jadi tenaganya harus terkumpul.
Bungkus mie itu hampir terbuka, bila saja Thera tak datang untuk merampasnya. Menahan tangan Arion untuk tidak melanjutkan memasak sarapan yang tak sehat itu.
"Apa, sih? Mie gue juga!"
Arion mendekat. Berusaha meraih mie instan yang hanya tersisa satu di rak makan. Harapan satu-satunya yang ia miliki.
"Lo mau usus lo keriting? Semalam makan mie, sekarang makan mie! Kayak orang susah tau nggak!"
Thera ingat saat pulang semalam, masih melihat mangkuk mie yang sudah mendingin di meja makan. Siapa lagi yang punya bila bukan adiknya. Jadi sebelum Arion berhasil mengambilnya lagi, Thera langsung melempar pada tempat sampah di sisi kiri. Akan dia ingat untuk tak membiarkan mie instan berjejer di rak makan setelah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
AtheRion
Teen FictionAthera-dua puluh lima tahun, bukan sosok sempurna seorang Kakak yang menjadikan dirinya panutan. Arion juga bukan Adik terbaik yang memaksa dirinya menjadi penurut. Mereka sosok dengan ego yang berbeda. Berusaha menjadi satu, saat semesta menetapkan...