Kejadian malam tadi masih menyisakan sakit yang membuat Arion terlampau kecewa. Terlebih kakaknya juga tidak pulang. Ternyata benar, Thera menyesal telah menahannya untuk tak tinggal bersama Mama dan Papa. Thera menyesal menghabiskan waktu dan tenaganya hanya untuk membuatnya tetap hidup. Seharusnya sejak awal dia tahu, bahwa pikirannya tentang Thera tak pernah salah. Laki-laki itu memiliki dunianya sendiri. Dunia di mana tidak ada nama Arion di dalamnya.
Bila saja dia memiliki tempat untuk pergi, mungkin sejak semalam bukan rumah ini yang menjadi tujuannya pulang. Akan tetapi, dia masih cukup sadar diri untuk tak membuat Thera semakin menjatuhkan harga dirinya, hanya karena dia pergi tanpa tujuan.
Arion masih merasakan perih di telapak tangannya. Membiarkan luka itu menganga semalaman. Berharap dapat sembuh seiring bergantinya waktu. Tapi sepertinya sia-sia. Luka itu terlanjur tercipta, seperti di hatinya. Bahkan dia sangsi ada yang mampu menyembuhkan selain dirinya sendiri.
Dengan obat seadanya, Arion berusaha membersihkan lukanya. Membalut dengan perban, agar tak menggangu pekerjaannya nanti.
Lalu, semua seperti dejavu saat langkah yang Arion bawa ke meja makan, kembali menemukan sosok Thera di sana. Hanya saja tak seperti biasanya. Thera tak lagi menyiapkan sarapan sebagai permintaan maaf yang tak ia utarakan. Tak menyambut Arion, walau dengan nada dingin.
Kini laki-laki itu hanya sibuk dengan laptop dan segelas kopi. Sama sekali tak peduli, bahkan saat Arion hanya berjarak beberapa langkah di belakangnya. Apa Thera masih marah?
Tunggu, bukankah Arion yang pantas sakit hati di sini?
Namun, semua kata-kata menyakitkan yang terucap dari mulut Thera kemarin, masih menjadi alasan kuat untuk Arion mempertahankan egonya. Dia tidak akan menjatuhkan harga diri untuk wanita seperti Kiara.
Dengan langkah tegas, Arion berjalan melewati kakaknya. Hanya sekadar mengambil air untuk membasahi kerongkongan, sebelum dia berangkat bekerja. Tidak peduli pada apa yang Thera sedang kerjakan, dan kapan laki-laki itu pulang. Terlebih dengan keadaan Kaira. Sungguh dia bahkan ingin wanita itu lenyap dari dunia ini, se-ka-rang!
Hening beberapa detik, hingga saat Arion berbalik, pandangan Thera menusuknya. Tapi sekali lagi, dia tidak peduli. Arion lebih memilih melanjutkan langkahnya, dan bergegas pergi.
Hingga suara Thera membuatnya urung. Meredam sekali lagi gemuruh di hatinya.
"Tangan lo kenapa?"
Arion masih tak menjawab. Menatap tangannya yang terbalut perban. Apa tidak ada pertanyaan lain yang lebih berbobot untuk mengawali pertemuan setelah perang kemarin?
"Lo mau pura-pura bunuh diri dan berharap gue kasihan terus maafin sikap buruk lo kemarin? Ar, gue sering bilang, lo udah dewasa. Jadi stop bertingkah kayak anak kecil!"
Ternyata pikiran Arion salah. Thera tidak berbasa-basi untuk mencairkan suasana, melainkan untuk memperkeruh keadaan.
"Ini tangan gue, Ther. Nggak ada urusannya sama lo. Mau gue pura-pura bunuh diri, mau gue pura-pura mati, atau bahkan mati sekalian, itu sama sekali bukan urusan lo! Lo urus aja cewek sialan itu!"
"Stop bawa Kaira dalam obrolan kita!"
Arion tersenyum. Menyakitkan. Harusnya Thera menyadari bila saja lelaki itu masih memiliki hati nurani sebagai seorang Kakak.
"Gimana gue bisa bersikap baik sama cewek itu, kalau dia aja bisa merubah pola pikir seorang Athera Januarta buat benci adiknya sendiri?! Apa cewek kayak gitu masih pantas gue hormati? Bang, gue nggak peduli sekali pun lo nggak nganggap gue adek lo lagi. Tapi gue nggak akan pernah rela kalau lo jatuh ke tangan cewek nggak bener kayak Kaira!"
KAMU SEDANG MEMBACA
AtheRion
Teen FictionAthera-dua puluh lima tahun, bukan sosok sempurna seorang Kakak yang menjadikan dirinya panutan. Arion juga bukan Adik terbaik yang memaksa dirinya menjadi penurut. Mereka sosok dengan ego yang berbeda. Berusaha menjadi satu, saat semesta menetapkan...