Empat | Kita yang Tak Pernah Sekata

4.2K 637 284
                                    

Bila saja malam mampu meredam lara. Menguapkan segala kesakitan tanpa asa yang tersisa, mungkin Arion akan menyukainya. Menjadikan dirinya nyaman dengan ruang sunyi tanpa cahaya.

Tapi kenyataannya, malam menjadikan gelap sebagai kuasa atas rasanya. Iya. Dendam itu masih ada. Benci itu masih tersisa. Tapi dia tak lagi memiliki kuasa untuk mengatur takdir yang diberikan semesta. Mungkin selamanya akan seperti ini. Menahan segala sakit batinnya sendiri.

"Tangan dia ini, lebih berharga daripada semua yang lo punya. Jadi jangan berani-berani sakitin dia."

Kata-kata itu masih menjadi melodi terbaik yang kini mengalun di telinganya. Arion masih mengingat bagaimana tatapan penuh amarah kakaknya. Bagaimana nada suara yang begitu tenang, mampu menyayat hatinya hingga meninggalkan luka yang tak pernah terbaca oleh lelaki itu.

"Dia memang lebih berharga dari yang gue punya, Bang. Karena sekarang, satu-satunya yang gue punya nggak pernah mandang gue berharga."

Arion meremas botol soda yang sudah dia teguk setengah. Kembali menahan segala amarah atas perlakuan Kaira yang membuat Thera semakin membenci dirinya. Dia tahu, bahkan di mata kakaknya, dia tak sebanding dengan harga seorang wanita yang baru Thera kenal. Semua orang lebih berhaga. Semua hal yang Thera miliki sekarang memang berharga. Kecuali satu, dirinya.

Detik berlalu begitu lambat. Membiarkan Arion terdiam dengan sepi di meja makan. Menunggu kedatangan Thera, hanya untuk kembali mematahkan semua pemikiran buruknya. Dia hanya ingin satu hal, Thera menarik semua ucapan menyakitkan yang dia lontarkan saat bersama Kaira tadi.

Hingga tepat pukul sebelas malam, suara langkah kaki membuat Arion kembali tersadar. Menguapkan rasa lelah dan kantuk yang sejak tadi coba dia halau.

"Gue mau ngomong," ucap Arion saat Thera melangkah begitu saja melewatinya.

Ada helaan napas berat sebelum Thera akhirnya terhenti. Namun tak berniat sedikit pun berpaling menatap adiknya. Ada amarah yang masih coba dia tahan, dan tak akan pernah bisa dia luapkan.

"Apa kelebihan Kaira dibanding gue? Sampai lo bisa bela orang lain daripada adik lo sendiri?"

"Karena dia jauh lebih baik dari lo!"

Arion tak berniat mendekat. Walau ucapan Thera kembali membuka luka yang belum sepenuhnya pulih. Iya. Sejak kapan dia terlihat baik di mata seorang Athera Januarta?

"Sekalipun gue adek lo?"

Thera berbalik. Menatap Arion dengan wajah dingin seperti biasa. Walau tak bisa dipungkiri, kini ada amarah yang teredam dari bagaimana sorot mana itu beradu.

"Lo sekarang perlu pengakuan atas status lo sebagai adek gue? Bukannya lo sendiri yang malu punya Kakak pelacur kayak gue?"

Semarah apa pun Thera, dia tak pernah melontarkan kalimat dengan nada tinggi di hadapan adiknya. Berusaha mati-matian menahan amarah agar tak meledak di hadapan Arion. Walau dia tahu, kalimat yang terlontar akan begitu menyakitkan. Hanya saja, bukankah sama saja dengan apa yang Arion sampaikan? Bukankah anak itu juga menggores luka yang sama besarnya?

"Berhenti membawa Kaira dalam masalah gue sama lo! Berhenti menjatuhkan dia, di saat dia mencoba untuk berpihak sama lo, Ar! Lo udah dewasa. Harusnya lo bisa mikir, mana ucapan yang pantas dan nggak pantas lo ucapkan di hadapan orang lain. Jangan sampai cara bicara lo, buat lo kelihatan rendah!"

"Kaira udah ngeracuni otak lo dengan sikap sok manis dia! Lo juga udah dewasa, Bang. Harusnya lo tahu, mana orang yang seharusnya lo bela, dan mana yang nggak! Walaupun gue tahu, gue memang nggak akan pernah berharga di mata lo. Bahkan di hidup lo."

AtheRionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang