Ada saat di mana Thera membenci Jakarta dan seisinya. Memaki jalanan kota juga kendaraan-kendaraan sialan yang mengisinya. Lelaki itu benci terjebak di antara desakan roda-roda lain yang merayap tanpa celah, membentuk barisan panjang dari ujung depan hingga belakang sana. Ia benci mendapati dirinya seperti orang tolol yang mengumpat berkali-kali untuk alasan yang sama; karena kemacetan tak kunjung terurai, juga karena panggilannya ke nomor Arion tidak membuahkan hasil apa-apa.
"Gue berani jamin lo babak belur kalau sampai ketahuan lo sengaja lakuin ini cuma buat cari simpati gue aja, Ar. Nggak akan ada ampun buat lo kalau lo cuma main-main sama gue doang."
Thera kembali mencampakkan ponselnya setelah panggilan ke-limanya lagi-lagi berakhir dengan suara operator. Lelaki itu lantas beralih, menggenggam stir dan merematnya, berusaha menata lagi isi kepalanya yang berantakan. Namun, justru ingatannya yang bekerja dan membangkitkan kembali semua yang sudah coba Thera lupakan.
Kalut semacam ini pernah satu kali ia rasakan. Dulu, saat ia pergi tiga hari untuk karya wisata Sekolah Menengah Pertama, dan pulangnya rumah tidak lagi tertata sempurna. Barang-barang yang seharusnya tersusun rapi di meja pun berserak di lantai, sebagian retak dan sebagian lagi hancur berantakan. Noda hitam kopi menghias di dinding putih dapur yang catnya mulai pudar, sementara di bawahnya, ada keping-keping pecahan gelas kaca yang belum dibersihkan. Saat Thera mencoba memanggil semua orang, yang ia dapati hanya kenyataan bahwa rumahnya telah ditinggalkan. Mama dan Papa mungkin bertengkar lagi hingga akhirnya memilih pergi untuk mencari pelarian.
Saat itu, langkah Thera tertuntun menuju kamar adiknya. Berusaha memastikan anak itu baik-baik saja. Namun, terlambat. Badai besar di rumahnya ternyata tidak hanya menghancurkan Mama dan Papa, tetapi juga Arion. Hari itu, saat Thera berhasil membuka pintu, yang ia lihat pertama kali adalah bagaimana adiknya meringkuk di lantai, dengan jejak air mata di wajah juga lebam di pelipis sebelah kanan, dan dalam keadaan tidak lagi sadar.
Hari ini, perasaan yang sama kembali mengusik Thera. Membawa pikiran lelaki itu terpecah ke mana-mana. Ia butuh jawaban atas semuanya. Termasuk alasan di balik pesan terakhir yang Arion kirimkan padanya.
Saat Thera sedang bergelut dengan pikirannya, ponsel yang tadi sempat ia campakkan kembali menyala. Buru-buru Thera meraih benda itu lagi, berharap Arion yang menghubunginya. Tetapi ternyata nama pimpinan redaksi majalah tempat seharusnya hari ini ia melakukan pemotretan lah yang muncul di sana.
"Kenapa nggak ngomong langsung sama Kaira aja, sih? Kenapa neleponnya ke gue?" Lelaki itu memekik di depan ponselnya sendiri. Tetapi kemudian ia memejam dan menarik napas panjang, mencoba membuat dirinya tenang. Bagaimanapun juga, ia telah membuat kekacauan dengan meninggalkan project besar. Setidaknya ia harus bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan.
Maka setelah merasa cukup mengontrol emosinya yang berantakan, lelaki itu mencoba pelan-pelan menjawab panggilan. Tetapi fokusnya tetap ke jalanan di depan, menunggu sampai mobil-mobil yang berjajar panjang itu sedikit terurai.
"Ya, halo," ucap Thera yang langsung dibalas suara keras dari seberang sana. Ada amarah yang menguar melalui bagaimana wanita itu bicara dan meninggikan suara. Tetapi Thera harus menahan diri untuk tidak membalas dengan emosi yang sama.
"Kamu ini gimana, sih? Semuanya udah ready, dari tim properti, stylish, wardrobe, fotografer, semua udah siap di sini. Tapi kamu malah seenaknya pergi. Manajer kamu bahkan nggak bisa kasih alasan yang jelas kenapa kamu tiba-tiba jadi seenggak profesional ini."
"Maaf, saya akui saya salah karena pergi tanpa kasih pemberitahuan sebelumnya. Tapi saya benar-benar ada kepentingan mendesak dan harus pulang sekarang. Maaf—"
"Kamu pikir dengan permintaan maaf kamu ini, semuanya bisa selesai? Thera, ini bukan project kecil yang bisa seenaknya kamu tinggalin gitu aja. Banyak pihak yang terlibat dalam project ini. Banyak budget yang keluar dan sekarang kamu mau bikin semuanya kacau. Saya nggak mau tau, ya. Kamu balik ke sini sekarang juga. Pemotretan harus tetap berjalan dan saya enggak terima alasan apa pun dari kamu, Athera!"
KAMU SEDANG MEMBACA
AtheRion
Teen FictionAthera-dua puluh lima tahun, bukan sosok sempurna seorang Kakak yang menjadikan dirinya panutan. Arion juga bukan Adik terbaik yang memaksa dirinya menjadi penurut. Mereka sosok dengan ego yang berbeda. Berusaha menjadi satu, saat semesta menetapkan...