Pada dasarnya memang tak ada kesialan yang bisa disyukuri. Bahkan saat hal tersebut datang berulangkali, tanpa ada kesempatan untuk bernapas dengan keberuntungan.
Mungkin, itu yang kini Arion rasakan. Setelah pagi tadi traumanya kambuh, kini manusia satu-satunya yang Arion miliki di rumah ini juga pergi. Dengan alasan pekerjaan yang selalu lebih berharga dari hidup adiknya sendiri.
Arion pernah berpikir, untuk apa Thera menampungnya bila pada akhirnya dia hanya menjadi beban? Hanya menjadi pajangan yang tak pernah Thera pandang berarti?
Dia tak mengatakan ingin hidup dengan Papa yang setengah hatinya dimiliki oleh amarah, dan setengahnya dikuasi ego. Juga dengan Mama yang hatinya sudah mengeras karena luka. Tidak. Dia juga tidak ingin hidup dengan Thera yang bahkan sepenuh hatinya diliputi dengan harta dunia.
Bila saja apa yang dia bayangkan selama ini benar adanya, mungkin dia sudah pergi dari rumah ini dan hidup sendiri. Tapi kenyatannya, semua bayangan akan hidupnya yang akan baik-baik saja bila sendiri, terkikis perlahan. Selamanya Arion hanya akan bergantung pada Thera.
"Sial! Pantes aja betah banget di luar. Sama tu cewek nggak bener ternyata. Pergi buru-buru cuman buat nyamperin Kaira. Apa sih hebatnya tu cewek. Jadi penggoda cowok doang. Cantik juga standar." Arion masih menggerutu. Sembari membersihkan air yang tak sengaja dia tumpahkan tadi.
Sebelumnya, Arion hanya ingin membuat teh hangat untuk membuat dirinya lebih baik. Hanya saja tangannya masih lemas akibat tremor tadi. Jadi tanpa perintah, gelas itu akhirnya jatuh dan membuat kacau dapur.
Ah, sial.
Dia berusaha menghubungi Thera, mengatakan bahwa dia belum sanggup melakukan semua sendiri. Namun jawaban yang dia terima dari Kaira membuat kesalnya memuncak. Entah mengapa, ucapan wanita itu masih menjadi hal yang tak pernah Arion suka. Semanis apa pun itu.
Jadi dengan sisa tenaga yang dia punya, Arion akhirnya membersihkan sendiri kekacauan yang dia buat sendiri. Menunggu Thera pulang dan melihat kekacauan yang dia buat, hanya akan menimbulkan masalah baru.
Tapi seakan ingin mengumpat pada semesta yang tak memberi izin Arion bernapas lega, kali ini kesialan kembali menjadi tamu terbaik di hatinya. Membiarkan sunyi dalam harap kehadiran seseorang lebur begitu saja. Hingga yakinnya hanya satu; dia memang akan tetap sendiri.
Arion masih menunggu di meja makan, tepat saat waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Apa kakaknya tidak akan pulang? Apa laki-laki itu terlanjur nyaman dengan si wanita penggoda hingga lupa bahwa ada satu manusia lagi yang harusnya dia pedulikan?
Ayolah. Arion tidak berani keluar rumah. Dia juga tidak memiliki uang cash untuk memesan makanan. Sedangkan uang di atm-nya sudah habis. Jangan tanyakan upahnya dari hasil sebagai kurir, karena tidak sampai dua hari sudah lenyap.
"Athera, lo ke mana, sih! Nggak inget punya rumah, atau nggak inget punya kehidupan lain selain jual badan?!"
Arion menarik ponselnya. Membuka room chatnya dengan Thera.
Di mana?
Woy
Pulang!
Brengsek! Jual diri sampai malam?
P
P
Thera!
10 menit nggak pulang, rumah jadi hak milik gue
P
P
Adik lo sakit main tinggal aja. Mati baru nyesel
Woy!!!! Kagak pulang atau gimana?Bukan Abang Gue
Kerja.Sama Kaira?
Cih! Kerja apa mesum?Bukan Abang Gue
Mulut lo! Gue lagi sibuk untuk ladenin debat loGue serius! PULANG ATAU GAK?
KAMU SEDANG MEMBACA
AtheRion
Novela JuvenilAthera-dua puluh lima tahun, bukan sosok sempurna seorang Kakak yang menjadikan dirinya panutan. Arion juga bukan Adik terbaik yang memaksa dirinya menjadi penurut. Mereka sosok dengan ego yang berbeda. Berusaha menjadi satu, saat semesta menetapkan...