Sudah satu jam sejak Thera membawa Kaira ke rumah sakit terdekat dan sekarang perempuan itu sedang istirahat. Kata dokter, reaksi alerginya tidak parah karena ditangani dengan cukup cepat. Dari situ Thera bersyukur karena tadi langsung membawa Kaira ke sini sebelum alerginya bereaksi lebih parah.
Sejenak lelaki itu menghela napas dan menatap lagi wajah pucat Kaira yang masih berkeringat. Melalui bagaimana ia mengernyit bahkan ketika matanya memejam, Thera tahu perempuan itu kesakitan. Untuk itu ia meraih tisu di meja, lalu menyeka keringat di pelipis juga dahi Kaira pelan-pelan. Berusaha tetap membuatnya nyaman.
Tetapi gerakan Thera justru membuat perempuan itu membuka mata dan terjaga. Senyum tipisnya saat tatap mereka berjumpa ternyata cukup melukai hati Thera. Ia tidak pernah melihat Kaira tersenyum sepedih ini. Tidak pernah melihat mata perempuan itu menatapnya serapuh ini.
"Masih sakit nggak?" tanya Thera kemudian, setelah mengusap kepala Kaira sekali lagi dan duduk kembali di kursi samping ranjang. Membiarkan Kaira meraih jemarinya untuk digenggam.
"Sakit banget. Tapi nggak apa-apa. Selama kamu ada di sini, aku baik-baik aja."
Seketika persaan bersalah kembali mengisi dada Thera, menusuk sedemikian dalam lalu membawa retak di sana. Ia masih tidak bisa lupa bagaimana tadi perempuan itu merintih di sepanjang perjalanan dan bahkan nyaris kehilangan kesadaran. Ia juga masih belum lupa, bagaimana tangan gemetar perempuan itu meremas lengannya yang terbalut jaket tebal. Sekarang, bahkan saat dokter menyelesaikan pemeriksaan dan meninggalkan ruangan, Thera masih harus mendengar bagaimana Kaira mengeluh kesakitan.
"Maaf, ya. Aku nggak tau kamu ada alergi separah ini. Kamu juga kenapa nggak kasih tau dari awal, sih? Terus tadi, kalau kamu tau itu bakal bahaya, harusnya kamu nggak usah makan. Kenapa kamu nekat?"
"Thera, kamu tau 'kan kita bertiga nggak pernah makan bareng? Tadi itu pertama kalinya kita makan di satu meja yang sama, dan bahkan Arion sendiri yang pilihin menu buat kita. Aku cuma mau hargai dia. Aku nggak mau dikira gimana-gimana apalagi sampai bikin dia kecewa. Ah, iya, aku sekalian minta maaf karena tadi nggak sengaja bentak dia. Aku kelepasan. Maafin aku, ya. Aku lega karena Arion nggak apa-apa. Karena kalau sampai dia kenapa-kenapa gara-gara tindakanku, aku pasti bakal ngerasa bersalah banget."
Siapa sangka nama Arion yang Kaira bawa di dalam obrolan mereka justru membawa rasa berbeda untuk Thera. Seketika lelaki itu memejam dan menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya agar tak kembali berantakan. Kemudian ia menatap Kaira tepat di matanya yang tak lagi berbinar. Juga garis-garis senyumnya yang memudar, menjadikannya tidak lagi tegar.
Setelah semua yang Arion lakukan, bisa-bisanya Kaira masih berpikir demikian? Perempuan setulus dan sebaik ini, kenapa selalu Arion sia-siakan?
"Maafin aku juga, ya. Mungkin aku sempat nyakitin perasaan kamu tadi. Aku minta maaf juga untuk Arion atas kekacauan yang dia bikin. Sama kayak aku, dia juga nggak tau kamu ada alergi, jadi tolong maafin dia."
Thera bisa merasakan genggaman Kaira menguat. Setelahnya perempuan itu menggeleng dan tersenyum hangat.
"Nggak apa-apa. Aku juga salah karena terlalu maksain diri cuma supaya Arion nggak kecewa. Yah, kamu tau 'kan, Thera ... aku sayang sama Arion kayak adik aku sendiri. Aku jadi terlalu mikirin perasaan dia, dibanding sama keselamatanku sendiri."
Kalau seperti ini, rasanya Thera ingin menyeret Arion ke hadapan Kaira untuk meminta maaf. Untuk mengakui seluruh salahnya, dan menarik seluruh kata-kata kotornya untuk perempuan yang bahkan menyayanginya seperti keluarga. Atau jika tidak bisa, ia sendiri yang akan menyadarkan anak itu tentang siapa Kaira. Ia sendiri yang akan membuat anak itu menghapus seluruh pikiran buruknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AtheRion
Teen FictionAthera-dua puluh lima tahun, bukan sosok sempurna seorang Kakak yang menjadikan dirinya panutan. Arion juga bukan Adik terbaik yang memaksa dirinya menjadi penurut. Mereka sosok dengan ego yang berbeda. Berusaha menjadi satu, saat semesta menetapkan...