Tujuh belas | Tentang Luka dan Masa Lalu

5.3K 660 332
                                    

"Jadi, lo mau apa?"

Suara rendah Thera kembali menyisir canggung di meja tempat sekarang mereka berada. Sudut kantin yang lengang sore ini menjadi pilihan setelah sebelumnya Thera memastikan Arion bisa ia tinggalkan sendirian di kamarnya.

Kehadiran Giandra yang begitu tiba-tiba cukup mengejutkan Thera. Pasalnya, lelaki itu sudah menghilang lama. Jika Thera tidak salah ingat, terakhir mereka bertemu adalah lima tahun lalu. Di malam terakhir bulan September yang kelabu, tepat di dini hari menjelang pagi, di jalanan sepi yang tak lagi berpenghuni. Hari itu mereka sama-sama mempertaruhkan nyawa ... juga hidupnya.

"Lo nggak mau tanya kabar gue dulu? Walaupun cuma basa-basi, seenggaknya lo perlu tau kabar gue setelah lima tahun enggak pernah muncul di depan lo lagi. Iya, kan?" Senyum Giandra mengembang, tetapi tatapan lelaki itu menjatuhkan. Ia memainkan gelas kopinya di meja, membiarkan uap tipis-tipis mengepul dari sana untuk kemudian pecah di udara.

Namun, Thera tahu kedatangan Giandra bukan tanpa alasan apa-apa. Sama seperti bagaimana lelaki itu menghilang tiba-tiba, Thera yakin kedatangannya juga menyimpan tanya. Sejenak ia menghela napas panjang, sebelum akhirnya kembali membuka suara.

"Lo ada di sini sekarang, artinya lo baik-baik aja. Cepet bilang, lo mau apa? Gue nggak bisa lama-lama. Adek gue sendirian."

Sebenarnya, yang lebih membuat Thera penasaran adalah karena tadi lelaki itu sempat membawa-bawa nama Kaira. Namun, alih-alih menjelaskan, lelaki itu justru tertawa.

"Lo emang nggak pernah berubah, ya, dari dulu. Tetep cuek dan nggak peduli sama orang-orang di sekitar lo. Satu-satunya yang lo peduliin cuma diri lo sendiri. Bahan sekalipun orang di sekitar lo mati, asal lo masih bisa napas, lo nggak akan peduli."

"Lo dateng ke sini cuma buat buang-buang waktu gue?"

Thera tidak tahu omong kosong macam apa yang Giandra bawa di sana. Tetapi jika tujuan lelaki itu memang hanya ingin memancing amarahnya—seperti yang dulu selalu dia lakukan—Thera tidak akan tinggal diam.

"Lima menit lo yang kebuang buat dengerin gue ngomong barusan, nggak sebanding sama lima tahun yang gue habisin buat jadi orang cacat. Lima menit lo, nggak akan pernah sebanding sama lima tahun gue setelah kejadian sialan malam itu, Athera Januarta."

Nama panjang Thera yang dilafalkan penuh penekanan itu sejenak membuat Thera diam. Lalu kata cacat yang Giandra sebutkan seperti bergema di telinga, membawa efek yang tidak biasa pada jantungnya. Ingatan Thera seperti dibawa pada malam kelam itu lagi setelah mati-matian ia berusaha lupa. Ada nyaring suara benturan juga teriakan yang menyeruak di udara. Disusul gaduh luar biasa dari bagaimana sebuah sepeda motor terpelanting keras ke jalanan hingga kaca spionnya pecah berserakan.

Thera mengerjap, berusaha keluar dari pikirannya dan mengambil napas sebanyak yang ia bisa. Di hadapannya, Giandra kembali memutar-mutar gelas kopi dengan garis senyum yang masih sama. Lelaki itu tampak jauh lebih tenang daripada Thera, tetapi matanya seperti menyimpan amarah yang begitu besar. Yang menuntut pelarian juga pelampiasan.

"Gue seneng karena ternyata lo nggak lupa, Thera," ucapnya kemudian. Sembari mengangkat gelas yang dari tadi ia mainkan dan menyesap buih kopinya perlahan-lahan.

Sementara Thera diam. Lelaki itu masih berusaha mencari ketenangan saat Giandra meletakkan kembali gelas kopinya ke meja dan tersenyum menyudutkan. Tetapi semua tidak berlangsung lama. Setelah Thera kembali menggenggam tenangnya, lelaki itu segera membuka suara.

"Denger, ya. Semua yang terjadi sama lo di masa lalu, itu nggak ada sangkut pautnya sama gue. Kita sama-sama kerja malam itu, sama-sama pertaruhin nyawa dan segalanya. Jadi kalau akhirnya lo kenapa-kenapa, itu emang udah jadi risiko pekerjaan kita."

AtheRionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang