Hatgai penulis dengan memberikan Vote juga komentar💐
●.●
Yuna menatap dirinya didepan cermin. Dirinya sekarang sudah menggunakan seragam sekolah. Atas yang terlalu 'ngepas' dan bawahan rok yang pendek diatas rata-rata. Rasa tak nyaman tentu muncul. Di kehidupan Yuna sebelumnya, pakaiannya sangat longgar. Ia senang. Karena dengan itu, semua bekas luka yang ada di tubuhnya dapat tertutupi.
Yuna menatap bekas sayatan di lengan kiri bagian atas miliknya. Luka baru yang tadi malam ia buat. Tentu saja, dengan seragam sependek ini, luka ini dapat terpampang jelas.
Yuna menghela nafas lelah. Kantong matanya tebal. Ia tak menggunakan riasan milik Yuna yang berada di meja riasnya. Foundation, pelembab, serum, bedak, dan segala tetek bengeknya. Mukanya pucat tentu saja. Tapi biarlah, Yuna senang akan itu.
Tangan Yuna mengambil jaket dan tas sekolahnya. Kemudian menuruni tangga. Dia melihat bi Iyem yang sedang menyiapkan makanan di atas meja dan ibu Yuna yang sudah menantikannya untuk sarapan bersama. Lucas dimana? Entahlah, dia tak peduli.
Yuna dengan canggung duduk di depannya. Ia bingung. Sejak dulu dirinya tak pernah sarapan saat akan kesekolah. Perutnya selalu kosong. Dia baru bisa makan saat istirahat. Itupun karena diberi makanan gratis oleh ibu kantin setelah membantunya mencuci piring. Kalau tidak seperti itu, dia tak akan bisa makan. Dan akhirnya memilih diam di perpus menahan lapar.
Kalau dipikir-pikir. Dulu dia semengenaskan itu ya....
•••
Keluar dari pintu mobil Yuna menjadi pusat perhatian. Terlebih karena ketidak hadirnya disekolah disebabkan kejadian yang mengerikan.
Kalau dipikir pikir, dari banyaknya semua siswa siswi yang menatap Yuna, mimik wajahnya sama. Tak suka. Yuna pembully di sekolahnya. Tentu saja, siapa yang suka? tak ada. Mereka hanya berpura pura suka karena takut. Apalagi dengan adanya Deska di sampingnya yang sudah terkenal memegang sabuk hitam di ekstrakurikuler karate.
Walau begitu, tidak masalah. Yuna sudah terbiasa dengan tatapan. Dulu tatapan mencemooh. Sekarang tatapan benci. Tak jauh beda bukan?
Lagi pula, mereka tak berarti bagi Yuna. Yuna hanya ingin mencari para malaikat Aria. Untuk menjadi pencabut nyawanya.
Tanpa sadar Yuna tersenyum jahat. Membuat beberapa siswa menyingkir menjauh. Mengira dia sedang merencanakan hal buruk pada mereka.
Disisi lain. Para geng Gavin yang masih di parkiran semua menatap Yuna yang baru turun dari mobilnya. Begitu juga Gavin. Gavin mendecakkan wajah sebal. Kehidupannya yang tenang sudah selesai. Cepat sekali si manusia ular itu masuk ke sekolah lagi.
"Tunangan lo dateng tu." Teman Gavin yang berkacamata menyelutuk. Namanya Gugu. Seseorang yang paling tenang di antara geng Gavin. Berkacamata. Terlihat pintar.
"Gue denger si caper kemaren nyoba bunuh diri. Gila. Saking frustasinya dia gegara lo milih Aria," ucap teman Gavin, Rangga, playboy kelas kakap yang punya 120 mantan, sambil menggelengkan kepala prihatin.
Gavin hanya diam mendengarnya. Matanya hanya terus mengikuti gerak gerik Yuna.
Gugu yang mendengar perkataan Rangga membuka mulutnya ingin menyanggah. Tetapi ia menahan kalimatnya keluar. Entahlah. Tiba tiba dia malas untuk berbicara.
Rangga yang melihat itu menepuk mulut Gugu dengan gamplang. Membuat sang korban menatap tajam kearahnya.
Rangga tertawa. "Kebiasaan banget lo mangap mangap nggak jelas gitu."
Gugu mengosok bibirnya brutal. Merasa ternodai dengan tangan asin milih sahabatnya. "Bangsat Rangga. Asin njir."
"Alah... bilang aja enak"
Gavin menghela nafas lelah. Kemudian dia turun dari motor miliknya. Berjalan hening meninggalkan kedua sahabatnya yang berteriak sebal kepadanya.
"Kita lihat. Rencana apa lagi yang akan Yuna lakukan untuk gue." batin Gavin tak sabar.
•••
Yuna memasuki kelas yang sangat berisik. Ketika kakinya selangkah melintasi pintu. Semua mata tertuju padanya. Seketika, kelas yang tadinya ramai mendadak hening bagai tak bertuan. Semuanya tegang. Dalam pikiran masing-masing pasti mereka sedang mengutuk masa tenang mereka yang sebentar lagi berakhir. Mereka yang dulu nya menjadi babu Yuna akan kembali melaksanakan tugas.
Yuna mengabaikannya. Kemudian dengan santai menuju bangku paling belakang. Bangku miliknya. Kemudian meletakkan kepalanya di atas meja.
Melihat Yuna tak melakukan apa apa. Siswa siswi yang tadi menghela nafas kemudian menghembuskan nafasnya lega. Sebelum mereka kembali tegang saat di depan pintu kelas Deska melotot horor pada mereka.
"Kenapa kalian? kaya nggak suka banget Yuna masuk lagi?" tanya Deska galak.
Sang ketua kelas dengan panik menggelengkan kelapanya. "Kita seneng kok Yuna udah baikan. Ya kan temen temen?" tanyanya gelagapan
"I-iyaaa," jawab sekelas kompak. Terlihat muka mereka yang sangat berlawanan dengan apa yang mereka ucapkan.
Deska mengangguk puas. "Oh syukurlah," balas Deska sembari menunjukkan mimik wajah mengejek. Ia kemudian menuju bangku Yuna. Dan ikut mendudukkan tubuhnya disamping Yuna. Tangannya bertenger di belakang kepala. Mengamati para penghuni kelas yang berpura-pura sibuk dengan urusan masing masing.
Tak lama bel berbunyi. Deska dengan pelan menggoyangkan bahu Yuna dengan niat membangunkannya.
Yuna bangun dengan mata pandanya. Rine yang duduk di bangku depannya pun menggelengkan kepala.
"Masih pagi Yun...." Ucapnya gemas
Yuna tersenyum singkat menanggapi Rine. Dia kemudian membalas "Ngantuk soalnya."
Deska tiba-tibe berceletuk. "Mau tidur aja?"
Rine melototkan matanya. Ah iya tau, Deska pasti akan mengajak mereka membolos lagi. Hei, tapi Rine tak ingin ikut-ikut. Ia sudah kena omel ibunya kemaren.
"Tolong PR kalian kumpulkan ke depan." Guru yang baru saja datang berucap di depan kelas. Membuat Deska mendapatkan ide menarik.
Deska kemudian mengangkat tangannya.
"Ada apa Deska?"
"Saya, Yuna sama Rine nggak bawa PR, Bu," ucapnya dengan percaya diri.
Tuh kan benar firasat Rine. Rine hendak menyanggah. Tetapi Deska meliriknya seolah dia adalah penghianat. Dengan pasrah Rine menurut.
Bu Fera, guru bahasa inggris itu pun menghela nafas capek.
"Karena kalian sudah pintar ya sudah tak apa," balasnya cuek. Lebih tepatnya, capek.
Melihat tak sesuai rencana Deska. Rine cekikikan didepannya. Tapi ternyata Deska gigih juga.
"Tidak adil dong bu kalau murid lain dihukum kita tidak," tukas Deska.
Bu Fera memasang wajah bersalah. "Benar katamu, Deska. Ya sudah, kalian saya hukum untuk menulis 5 lembar permintaan maaf dan dikumpulkan besok. Sekarang, kalian bisa ke perpustakaan," perintah bu Fera.
Saat itulah sekelas tau. Bahwa tangan mereka harus pegal karena harus menulis 15 lembar surat permohonan maaf yang bukan kesalahan mereka.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
I Just Want To Die
FantasyWarning : 18+ Harsh word and Adult scene. Tolong bijak dalam memilih bacaan sesuai umur. Tidak suka silahkan keluar. Dan mohon, jangan plagiat cerita orang. •~• Reina Yuna Hidupnya tak pernah bahagia. Sedetikpun tak pernah. Seakan tuhan memang tak...