Date or Deat! (Raya)

11 1 0
                                    

Racun? Racun tikus atau racun untuk tukang PHP?

Aku menggeleng tak habis pikir dengan pria yang tengah berdiri di antara sofa ruang tamu. Deheman ayah menyadarkannya dari pandangan Arya terhadapku.

Ia kemudian menunduk malu sambil mengusap leher. Aku kembali berjalan menuju kedua pria itu sebelum ibu mendaratkan pukulan protesnya lagi.

Dress berwarna biru tua dengan ikat pinggang sangat tidak nyaman bagiku yang kerapkali berpakaian kasual. Aku dengan canggung mendekati Arya.

Sebelum berangkat, ayah memberikan peringatan agar Arya membawaku pulang sebelum pukul sembilan malam.

Bibirku mencoba membantah tetapi langsung dicegat emak menggunakan telapak tangannya yang bau bawang. Alhamdulillah, dandanan mukaku rusak kalau seperti ini!

Tanpa banyak cakap, emak menggandeng lengan Arya menuju pintu rumah. Aku hanya terdiam menatap mereka. Yang mau kencan aku atau emakku, sih?

Saat memakai sepatu pun aku tak dibiarkan tenang. Emak lantas memukul kepalaku menggunakan kepalanya. Walaupun sudah tua, kepala emak masih sekuat batok kelapa.

Di saat aku menggerutu, nyonya rumahku itu malah memberikan cubitan yang mengalahkan hot-nya cabe-cabean. Sebelum menutup pintu rumah aku berbalik menatap ayah.

"Ayah, lain kali kalau mau beli cabe, bawa cabenya pulang, jangan kang cabenya dong, yang dibawa pulang," ucapku sembari melirik sinis emak. Sebelum sebuah sepatu melayang di kepala, aku bergegas keluar dari rumah. Teriakan emak yang mengataiku sebagai bocah edan tak kuhiraukan.

Tanpa sadar menabrak punggung Arya yang tengah berjalan menuju mobil. Aku membulatkan mata saat cetakan make up, menemple di bagian punggu pria itu. Karya yang sangat estetik!

Arya membalikkan badannya dan tersenyum padaku. Ia mendekatkan wajahnya. "Cantik."

Aku mencibir seraya mendelik. Semoga ia tersandung. Baru aku aamiin-kan, pria itu sudah terjatuh dengan mengenaskan di aspal pkbggir jalan. Tawaku meledak bersama Arya yang kembali menghampiri dan menjepit hidungku.

"Puas ketawanya? Ayo, kita pergi."

***

"Ini?"

"Iya. Tempat kita pertama kali kencan dulu."

Aku menatap Arya datar. Sepenting itukah kenangannya bersamaku sampai ia tak lupa tentang tempat ini?

Aku mencebikkan bibir. Pasti ada udang di balik capcai. Pria ini wajib sulit dipercaya atau tidak, aku yang akan termakan rayuannya.

Pemandngan di sekitar sedikit berubah. Dulu tempat ini tidak dihiasi oleh bangku panjang, pun tak sepopuler dulu.

Hanya aku dan Arya yang sering berkunjung di sini. Di tempat tersembunyi demi menikmati sejuknya alam atau melihat pemandangan kota dari jauh.

Arya menggenggam jemariku. Ia tersenyum seraya mengajak untuk pergi di salah satu kedai ice cream. Memesan cemilan dingin itu tanpa membayar.

"Gue enggak mau nyemil makanan hasil ngutang, yah," ujarku menatapnya angkuh. Ia membukatkan matanya.

"Mana ada hasil ngutang sih, Sayang."

"Itu, belum situ bayar." Aku menggerakkan dagu agar mampu menunjuk kedai ice cream tadi. Tawanya lantas meledak dan dengan cepat mengecup keningku.

Aku menggeram setelah merasakan dinginnya angin di kening. Dikecup kok, air liurnya nempel juga?

"Mas udah order semua ice cream-nya. Nih, ice cream-nya. Kamu suka rasa vanila, 'kan?"

MantanAbleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang