Aku tengah terpaku menatap laptop. Sesekali melirik handphone yang kuletakkan di samping tangan kanan. Menunggu balasan pesan dari calon istriku. Aku menyandarkan punggung ke kursi. Menatap tak bersemangat pada benda pipih itu.
"Hah ... kenapa dia tidak membalas?"
Tanganku kembali terulur kemudian jari mulai mengetik beberapa pesan. Centang satu, Raya tak membuka pesanku. Aku memilih membuka dial telepon dan menghubungi Rey.
Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum diangkat oleh remaja itu.
"Assalamualaikum, Bang Ar. Ada apa?"
Suara Rey terdengar tengah berbisik.
"Waalaikumsalam, Rey. Kamu di mana sekarang? Kok, bisik-bisik gitu?"
"Aku lagi sekolah, Kak. Tuh, gurunya lagi ngajar di depan papan tulis."
Ya ampun, aku lupa jika ini masih jam belajar dia.
"Udah. Matiin aja. Ntar kmu ketahuan sama guru, bye."
Helaan napas lagi-lagi aku keluarkan. Sedang bosan tanpa adanya balasan dari Raya. Mungkin, dia sibuk mempersiapkan diri demi hari pernikahan kami.
Aku membuka galeri handphone dan menatap foto SMA-ku bersama Raya. Gadis manis itu memang sudah cuek dan judes sedari dulu. Bahkan perkataan mencemooh karena badannya yang gemuk, pun ia abaikan.
Waktu pertama kali aku memintanya untuk menjadi kekasihku, ia bahkan membawaku ke dokter yang berada di UKS. Demi memeriksa kesehatanku. Raya dulu masih kelas 1 SMA sedangkan aku kelas 3 SMA.
Gadis unik itu sudah merebut hatiku semenjak ia melempari beberapa anak SMP yang telah membuat adiknya terluka. Aku hanya menjadi saksi bisu keberutalannya pada saat itu.
Tak hanya itu, ia bahkan meminta sebuah penutup luka padaku hanya karena ia sering melihatku di UKS.
Ternyata dia memperhatikanku, yah. Nyatanya salah. Ia salah satu anggota osis ketertiban. Jadi saat upacara berlangsung, ia wajib menempatkan petugas UKS di sekitaran lapangan, termasuk aku. Lebih tepatnya, aku mantan ketua osis pada saat itu, merangkap sebagai petugas UKS.
Aku jadi sering memperhatikan Raya mulai saat itu. Di mana ia berada saat waktu istirahat hingga siapa saja temannya.
Saat awal mendekatinya pun sangat sulit. Setiap kali aku ingin berbicara atau mengajaknya, ia selalu mengatakan hal yang sama, "Gue enggak punya urusan sama lo."
Jawabannya itu sangat menohok tetapi tak membuatku menyerah. Sampai Tuhan memberikan jalan padaku.
Pada saat itu aku tengah sakit. Berjalan sendiri dengan mengandalkan tembok sebagai penopang. Sekitaran lorong sedang sepi sebab jam pelajaran telah dimulai.
Raya yang tak sengaja melihatku hampir linglung menghampiri dan langsung memapahku ke UKS. Ini yang membuatku semakin menyukainya. Kebaikan hati serta kepeduliannya sudah tak perlu diragukan lagi. Tanpa dikatakan pun ia akan peka sendiri. Cocok melengkapi aku yang tidak peka terhadap orang yang meminta tolong tetapi gengsi.
Tatapanku tak pernah luput darinya saat kami berjalan menuju UKS. Ia menyadari tatapanku itu tetapi masih memasang muka datar sembari menatap jalanan.
Saat sampai di UKS pun, ia melepaskan rangkulannya secara tiba-tiba hingga membuatku harus mendarat secara keras di brankar.
"Lo ngapain natap gue mulu? Ngeselin tau, ngak?" gerutunya masih dengan wajah datar. Matanya menelisik sekitar. Mencari seseorang yang harusnya ada di sini.
"Dokter Naina?"
Tidak ada jawaban yang terdengar. Ia menghela napas dan mengacak rambutnya pelan. "Lo beruntung kali ini," ujarnya dengan jari yang menunjuk telat di wajahku.
Raya menempelkan tangannya di leherku. "Keluhan lo apa aja?"
"Pusing, pengen muntah, badan rasanya menggigil dan agak susah napas karena kamu deket banget ama aku."
Raya memasak tampang jijik. Ia kemudian berjalan menuju lemari obat. "Lo udah makan?"
"Belum."
"Laillahaa Illallah! Lo tuh ... ck! Tunggu di sini."
Aku tersentak kaget mendengar gerutuannya. Ia pun keluar dari UKS. Aku memilih berbaring sebentar di atas brankar dengan selimut yang melilit tubuh. Sesekali menghela napas karena panas tubuh.
Mataku yang semula terpejam, terbuka lagi karena mendengar suara pintu terbuka. Aku membalikkan badan menatap Raya yang tengah membawa semangkuk makanan dan juga air.
"Nih, makan dulu buburnya."
Aku menggeleng dan kembali berbaring miring ke arah tembok UKS, membelakangi Raya. "Lo tuh, yah! Ya udah, gue taruh di sini makanan ama obat lo."
Suara langkah kaki yang perlahan menjauh membuatku bangun dan duduk di brankar. "Tetap di sini, please?"
Ia mengambil salah satu kursi dan duduk di samping brankar. Tangannya meraih semangkuk bubur dan menyodorkannya padaku.
"Makan."
Aku mengangguk dan mulai menyantap bubur itu hingga tandas. Raya kemudian menyodorkan air dan obat. "Istirahat, ngerti?" ujarnya sebelum pergi tanpa bisa kucegah.
Sejak hari itu, aku memutuskan untuk tidak ber-PDKT lagi dengan Raya. Namun, langsung memintanya menjadi istriku. Tentu saja ia menolak. Aku lantas menawarinya menjadi seorang pacar. Itu pun ia tolak. Aku mempertegas bahwa tak ingin menjadi teman biasanya. Lagi-lagu Raya menolak.
Prinsipku, semakin Raya menolak, aku akan semakin gencar merecoki hidupnya. Beberapa teman sekelas, tak satu atau duakali menasihatiku untuk berhenti mengejar gadis itu. Mereka pun terkadang menjadikan Raya sebagai bahan candaan. Mengatakan bahwa Raya tidak cocok denganku atau apalah. Besoknya, aku menjauhi mereka. Tak butuh teman yang hanya menilai dari fisiknya saja.
Raya ternyata sama keras kepalanya denganku. Tak habis ide, aku menawarinya sebuah tantangan.
Selain menyukai laut, Raya juga menyukai tantangan. Kapan dia menyukaiku juga?Aku mengajaknya bertemu di taman belakang sekolah. Memberikan sebuah tantangan. Tantangan itu pun dimenangkan olehku. Tahun terakhir SMA, aku lalui bersama Raya.
Setelah lulus pun kami terpaksa LDR. Ia yang bersekolah di Jakarta, aku yang berkuliah di luar negara. Pertanyaan pun terus bermunculan dan masih dengan pertanyaan yang sama.
Pertanyaan yang membuat Raya memilih mengakhiri hubungan kami. Hingga sskarang pun, pertanyaan itu masih mengganjal di hati.
***
Ketukan pintu membuatku menegakkan badan. Perlahan ibu membuka pintu. Ia lantas masuk dengan membawa minuman dingin.
"Diminum, Bang."
Aku meraih minuman itu dan meminumnya hinggat tandas. Ibu dengan cepat duduk di hadapanku.
"Nanti kalau udah nikah, Abang tinggal di sini, yah," katanya dengan wajah yang berbinar senang.
"Mah, mana bisa gitu. Aku udah siapin rumah untuk keluargaku, loh."
Wanita paruh baya di depanku itu mendesis tak suka.
"Bang, mamah tuh udah klop sama Raya. Enggak bisa apa kamu tinggal di sini aja?"
"Enggak bisa, Mah. Nanti Raya banyakan mainnya sama Mamah dibanding ama aku."
"Idih! Dasar posesif, cemburuan, over banget kek papa kamu, tuh!"
Mamah bangkit dari duduknya lalu meraih gelas kosong di atas meja. Sebelum benar-benar pergi, ia hadiahkan satu pukulan menggunakan nampan pada kepalaku.
"Ini hadiah mamh untuk Abang."
Aku hanya melongo sembari memegang kepala yang sempat ia pukul tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
MantanAble
Roman d'amourApa jadinya jika mantanmu perfect banget? Good looking? Iya! Baik? Iya! Mapan? Iya! Sholeh? Iya! Dunia Raya rasanya jungkir balik ketika sang mantan―Arya, tiba-tiba mengusik hidupnya. Si idaman kaum hawa yang membuat Raya gedek bukan main! ~~~~...