Gila sih, ini. Persiapan pernikahannya. Banyak banget tamu yang datang. Dari pesan Naila padaku, ia tulis seperti itu.
Kini aku berada di kamar dengan gaun pengantin dan hiasan sana-sini. Ribet, sesak, dan berat. Rasanya ingin berbaring tetapi emak melarang. Kalau si nyonya rumah itu sudah melarang, tak boleh dibantah atau lap akan menempel di muka. Sadis!
Aku menggerutu sebal. Dalam pesannya, ia sudah sampai dan akan pergi menuju kamarku. Nyatanya teman curutku satu itu belum muncul sama sekali. Pasti dia lagi cari perhatian dengan beberapa cogans di bawah. Aku kembali mencebik.
Tok! Tok! Tok!
Umur panjang. Baru aku memikirkan apa yang ia lakukan, akhirnya wanita itu datang juga. Naila segera masuk setelah melihatku duduk di depan meja rias.
"Masyaa Allah, Bu. Cantik amat," ucapnya sembari meneliti penampilanku.
"Mana oleh-oleh gue?"
Keterpukaan Naila berubah drastis. Ia menjitak keningku sebab tak bisa menjitak kepala yang telah dipenuhi hiasan pernikahan.
"Ck! Sahabat lo pulang jauh-jauh dari Jepang, bukannya nanya 'Gimana hari lo di sana?' Malah nanya oleh-oleh! Dahlah, ngambek gue sama lo!"
Dari pantulan cermin Naila menatapku galak. Kedua tangannya ia sklangkan dan sandarkan pada bahuku. Pakaian serta hiasan pernikahan saja sudah berat, ditambah ia bersandar di bahu! Edan!
"Ngapain gue nanya kek gitu? Lo pun enggak bakalan bawa gue ke sana, 'kan? Udah! Oleh-olehnya mana? Nail, berenti sandar di bahu gue!"
Aku menggerakkan bahu. Setelah lepas dari sandarannya, aku berdiri dan duduk di pinggir ranjang lalu menyodorkan tangannke arah Naila. "Oleh-oleh? Ingat, yah. Kado pernikaan dan oleh-oleh, tuh, beda!"
"Jadi lo maunya oleh-oleh gue kasi sekarang, tapi kado nikah ntar pas lo di pelaminan?"
"Lo emang yang paling tau gue, Nail. Salut gue sama lo," ujarku sembari menatapnya haru. Ia mendekatiku dengan helaan napas yang dibuat panjang olehnya.
"Gini amat punya sahabat matre," gumamnya masih kudengar dengan jelas.
"Bentar. Nih, oleh-oleh lo." Naila mengambil sesuatu di bawah kolong ranjang. Sebuah paperbag sudah berada di tangannya. Sejak kapan ada di sana?
"Kapan lo taruh di sana? Lo 'kan baru pulang kemarin?"
"Lo tau 'kan gue punya dedemit di mari?"
Kernyitan di dahiku menghilang. Tahu yang dimaksud dengan dedemit yang Naila maksud. Siapa lagi kalau bukan Rey? Adikku satu itu menyukai Naila. Jadi tak heran jika dia mau disuruh ke sana-kemari oleh Naila.
Aku meraih paperbag itu dan membuka isi di dalamnya. Apa ini? Dua ikan koi di kantung yang berbeda?
Aku menatap Naila tak percaya. Ia malah tersenyum bangga. "Lo beneran mau gue santet, yah. Gila!"
Senyum Naila perlahan memudar. Ia menghela napas dan memegang bahuku. "Yaya, lo tuh, enggak tau aja berapa harga koi itu di Jepang. Kalau lo jual di Indo, gue yakin lo bakalan bisa beli rumah plus akuarium kaca buat dipasang di rumah ntu!"
"Emang berapa harganya? Palingan lebih mahal cabe di pasar."
Naila mendekatkan diri padaku kemudian membisikkan harga koi itu. Aku membulat tak percaya sambil menggelengkan kepala. Naila menganggukkan kepala.
"Apalagi gue belinya jantan ama betina. Jadi lo mau jual atau peranakin tuh koi, bisalah!"
Aku memberikan kiss jauh untuk Naila. "Gila aja gue mau jual. Dua koi aja harganya segitu, gimana kalau banyak koinya? Btw, thnaks banget deh, buat lo," kataku dengan tatapan jail yang mengarah padanya.
"Udah tau gue otak matre lo kek gimana."
Naila memperhatikan ikan koi itu. "Dedemit gue boleh juga, nih. Dia bersihin airnya, loh, Yaya."
Aku ikut memperhatikan ikan koi itu. Airnya bersih, bening lagi. Aku mengangukkan kepala.
Suara mic yang sedang dinyalakan membuatku mengalihkan tatapan ke arah pintu. Tak lama dari sana, emak masuk dan menatapku sembari tersenyum.
Naila menghampiri emak dan langsung memeluknya erat. "Naila kangen banget sama omelan emak." Emak memberikan satu tepukan kecil pada bahu Naila bersamaan dengan kekehan kecilnya.
Entah kenapa, emak rasanya lebih kalem saat ini. Aku menelan ludah saat emak mulai mendekatiku. Wanita yang telah melahirkanku itu duduk di sampingku dengan tangan yang menggenggam kedua tanganku erat.
"Sebentar lagi Arya akan mengucapkan ijab kabul atas namamu, Nak. Itu artinya kamu akan menjadi istrinya. Seseorang yang akan selalu berada di sisinya. Menemani Arya dalam keadaan suka dan duka. Emak cuman mau kasi pesan ke kamu, boleh?"
Emak menatapku dalam. Aku menggigit bibir bawah kemudian mengangguk seraya menudukkan kepala.
"Apa pun yang terjadi pada kalian nanti. Tolong turunkan sedikit egomu. Emak tau kamu tuh, keras kepala banget. Kalau suatu saat nanti, kamu sampai menyakiti hati suamimu dengan kekeras-kepalaan kamu ini, ingat pesan emak, yah. Sebagai istri kamu harus patuh kepada suami. Emak tau, Raya, putri emak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak. Karena itu baru identitas putri emak yang sebenarnya. Arya pun menyadari hal itu. Kamu tau apa yang dia ucapkan kepada emak kemarin malam?"
Aku menatap emak dengan mata yang memerah kemudian menggeleng pelan. Emak tampak tersenyum.
"Dia bilang, 'Bu, Raya tuh pedulian tapi gengsi. Anak gadis ibu itu suka banget kepikiran tentang ucapannya apakah dia sudah menyakiti orang apa tidak? Jika Raya tak sengaja menyakiti ibu dan bapak, mohon dimaafkan yah, bu. Besok Raya akan menjadi tanggung jawab saya. Semua dosanya pun saya yang tanggung. Kalau dia menyakiti ibu dan bapak, tolong maafkan dia demi saya. Saya pun akan menjelaskannya dengan lembut kepada Raya agar dia tak merasa bahwa saya tidak mendukungnya dan tidak berada di sisinya.' Emak masih ingat setiap ucapan Arya. Dia benar-benar mencintai Raya. Bahkan dia lebih tau kamu dibanding emak dan ayah. Malam itu emak sangat bersyukur bahwa emak enggak salah milih suami untuk putri emak satu-satunya."
Emak menatapku dengan bulir bening yang turun bebas di pipi tirusnya. Aku terisak pelan. Dada rasanya ingin meledak. Emak menghapus air mata yang mengalir di pipiku.
"Anak emak enggak boleh nangis. Make up-nya rusak nanti."
Aku mengecup tangan emak dan memeluknya erat. Semakin menangis dalam pelukannya.
"Hari ini, kamu akan pergi bersama suamimu untuk menempuh hidup yang baru. Emak harap, apa pun masalah kalian jangan sampai amarah dan ego membuat kalian menyetujui untuk bercerai. Itu yang paling emak takutkan."
"Mak, kalau kangen Raya bilang, yah. Jangan dipendam kek eek," ujarku, lirih. Emak langsung melepaskan pelukannya dan menyentil dahiku pelan. Suara tawanya kini mengalun bersama air mata yang belum berhenti mengalir.Suara tangis lain yang terdengar cempreng, mengalihkan perhatian kami. Di kursi meja rias, Naila tengah menangis tersedu-sedu. Aku dan emak saling tatap hingga tawa kami mengalun lagi.
"Saya terima nikah dan kawinnya Raya Adinata Pricillia Atika Fahrasya Mahendra binti Danuar Adinata Mahendra dengan mas kawinnya tersebut, dibayar tunai."
KAMU SEDANG MEMBACA
MantanAble
RomanceApa jadinya jika mantanmu perfect banget? Good looking? Iya! Baik? Iya! Mapan? Iya! Sholeh? Iya! Dunia Raya rasanya jungkir balik ketika sang mantan―Arya, tiba-tiba mengusik hidupnya. Si idaman kaum hawa yang membuat Raya gedek bukan main! ~~~~...