Dua Saudara Ipar

3 1 0
                                    

Sepi. Satu kata yang mampu mendeskripsikan keadaan rumah besar ini. Aku yang lelah setelah berkuliah tadi pagi, kini harus tinggal sendiri di rumah. Naila? Jangan tanyakan ia di mana sekarang, jika bukan mengintili bosnya.

Apa aku ke rumah emak saja? Lumayan bisa menghilangkan penat sembari menjambak rambut Rey. Jam sekolahnya pun sudah lewat. Itu artinya si curut ada di rumah emak.

Aku bergegas mengganti pakaian dengan celana jins dan kaus putih. Totebag kusampirkan di bahu kanan, menuruni tangga dan bergegas memakai sepatu. Sebelum sempat membuka pintu, suara bel mengagetkanku.

Siapa yang datang?

Tanpa pikir panjang, aku membuka pintu itu. Seorang gadis yang kutaksir seusia Rey berdiri membelakangiku.

"Kak Raya."

Aku tersenyum senang dan memberikan pelukan untuknya. "Andhini? Duh, kangen sama kamu."

"Aku juga, Kak." Dhini melepaskan pelukan kami dan mengangkat paperbag di tangannya. "Aku dengar Bang Arya lagi ke Singapura, pasti Kak Raya kesepian. Jadi aku ke sini sekalian bawain cheesecake kesukaan Kak Raya."

Aku tersenyum cerah, membuka sedikit paperbag itu. Kue cheesecake yang memang jarang dijual oleh toko itu, sudah ada di sana. Ya ampun!

"Wah! Makasih, Dhini. Eh, tapi kakak baru aja mau ke luar rumah."

Raut kecewa tampak jelas di wajah adik iparku itu. Aku tersenyum kecut mendapati reaksinya.

"Yah ... enggak papa, Kak Raya mau ke mana? Aku ikut."

Duh, kenapa bisa Arya punya adik semanis ini? Kalau bisa ditukar, aku akan menukar kedua saudaraku dengan Andhini. Gadis polos nan manis. Sama seperti kakaknya.

"Kakak mau ke rumah ortu, mau jambak rambutnya Rey."

Andhini tertawa kecil saat mengetahui tujuanku ke sana. Ia langsung menggandeng lenganku dan mulai berjalan.

"Ya ampun, Kak. Datang ke rumah ortu, cuman mau ngejambak Rey? Ya udah, aku ikut bantuin, deh!"

Tawa kami mengalun bersama. Tak lama Andhini terbatuk kecil. Langkahnya ia hentikan, aku pun mengikutinya.

"Ada apa, Dek?" Aku menata gadis itu bingung. Ada yang salah?

"Emmm ... di sana ada Pa--Bang Roy?"

Tumben, Andhini menanyakan abangku itu. Aku menggeleng saat mengingat kembali jadwal Bang Roy di hari ini, sepertinya abangku itu sedang bertugas.
Helaan napas lega terdengar dari Andhini, kemudian ia kembali tersenyum cerah meskipun beberapa waktu lalu wajahnya tampak lempeng sebelum menanyakan perihal Bang Roy.

Saat sampai di tempat parkir, Bu Wati selaku supir yang ditugaskan Arya untuk mengantarku ke mana-mana, bergegas membuka pintu mobil.

"Bang Arya beneran cinta mati sama Kak Raya."

Aku merasa de javu? Beberapa kali mendengar kalimat itu dari beberapa orang terdekat, jika melihat perlakuan Arya terhadapku.

Setelah masuk ke dalam mobil dan memberitahu tempat tujuan kami pada Bu Wati, aku dan Andhini kembali berbincang.

Ternyata Andhini tipe yang suka menistakan saudaranya. Sama sepertiku. Kami bercerita tentang nilai minus dari saudara masing-masing.

Aku bahkan tanpa ragu tentang kolor Bang Roy yang kerapkali dijadikan lap oleh emak. Padahal Bang Roy sudah menyembunyikan barang pusakanya itu.

***

Saat sampai di rumah orang tuaku, kami disuguhkan dengan pemandangan Rey yang tengah dipukul menggunakan lap oleh Emak.

"Mak, ada Kak Raya, tuh!"

Bocah itu menunjukku demi menghentikan aksi brutal Emak. Aku hanya menggelengkan kepala dan mengecup tangan Ayah yang hanya duduk tenang di teras rumah.

Setelahnya menghampiri Emak dan mencium tangannya. Ih! Bau terasi!

Aku yang biasanya akan mendapat pelukan dari Emak, malah disuruh minggir dari hadapannya. Emak menghampiri Andhini yang menatapnya kebingungan.

"Assalamualaikum, Tante." Suara imut Andhini terdengar, ia kemudian mengecup tangan Emak.

"Masyaa Allah, imutnya. Adiknya Arya, 'kan?"

Emak langsung mencubit pipi Andhini yang chubby. Gadis itu hanya tertawa senang, bahkan raut keberatan tak terlihat di wajahnya. Benar-benar, ingin kuangkat dia menjadi adik kandungku.

"Iya, Tante." Andhini menjawab dengan kepala yang ia anggukan. Manis banget!

"Ya udah. Yuk, masuk."

Emak merangkul bahu Andhini dan masuk ke dalam rumah. Lah? Aku ditinggalin, gitu? Emak ter-la-lu!

Di dalam rumah, tepat di ruang tamu Bang Roy tengah menonton TV seraya memasukkan popcorn ke dalam mulutnya.

Nih, abangku satu bukannya kerja malah santai di sini? Aku langsung mengambil bantal sofa dan melemparkannya pada kepala pria itu dari arah belakang.

Popcorn di tangannya berhamburan ke lantai.

"Kutu kupret! Emejing!"

Bang Roy berbalik menatapku dan menatap dalam pada Andhini. Setelah ditatap seperti itu oleh Bang Roy, Andhini bersembunyi di balik punggu Emak.

Ia bergumam seraya memelintir ujung baju Emak. Mungkin, takut dengan tatapan Bang Roy.

"Sekate lo, Bang. Bukannya kerja malah ngadem nonton bola! Mak, marahin tuh, si Abang!"

Emak hanya menggeleng dan menggandeng Andhini masuk lebih dalam ke rumah. Aku melongo dibuatnya.

"Makanya tau sikon lo! Liat, nih? Kaki abang lagi diperban dan belum bisa banyak jalan."

Aku mendesis dan langsung lompat lalu duduk di sampingnya. Popcorn di tangan pria itu, aku rampas dan memperhatikan pertandingan bola.

"Woy! Harusnya lo oper ke sana!"

"Gini amat punya adek cewek. Enggak ada akhlak banget, dah!"

Aku memberikan tatapan tajam padanya. "Budu amat!" Sebelum mulutnya mengeluarkan suara lagi, aku mengambil segenggam popcorn dan memasukkannya ke dalam mulut Bang Roy. Suaranya itu lumayan bersisik! Eh, berisik!

Ayah dan Rey ikut bergabung bersama aku dan Bang Roy. Sementara Emak dan Andhini, masih sempat kulihat tengah bercengkerama di dapur.

Samar, suara Emak terdengar bersama suara Andhini yang imut. Emak membawa minuman hangat, dan Andhini yang membawa cheesecake.

Emak meletakkan teh di atas meja, disusul Andhini yang tampak ragu-ragu. Aku memperhatikan Bang Roy yang memasang wajah datar, dan Rey yang biasanya ribut kini terdiam.

Ada apa dengan ketiga orang ini?

Selepas meletakkan potongan cheesecake di masing-masing piring, Andhini berlari kecil dan duduk di sampingku. Ia menyembunyikan wajahnya dari Bang Roy. Sementara pria itu dengan santainya menyuruput teh buatan Emak.

"Kak?" Aku menoleh menatap Andhini yang menunduk. "Katanya dia enggak ada di rumah. Kok, sekarang ada, sih? Kayak jailangkung aja."

Aku mengulum bibir menahan tawa saat mendengar julukan Andhini untuk Bang Roy. Yah, pria itu memang pantas disebut dengan jailangkung. Mampus!

"Maaf, Dek. Dia tiba-tiba nongol, sih. Yang sabar, yah."

***

Waktu berlalu begitu cepat. Kini di meja ruang tamu hanya tersisa gelas kosong dan beberapa potongan cheesecake. Ayah sedari tadi sudah bersiap untuk berangkat kerja. Rey tengah bermain game dengan headset di telinga.

Aku membantu Emak membereskan gelas dan piring, kemudian mengangkatnya menuju dapur. Andhini ingin ikut ke sana, tetapi langsung dicegat Bang Roy yang meminta bantuannya.

Tatapan memohon Andhini, membuatku tak tega. Namun, suara Bang Roy yang tak seperti biasanya membuat gadis itu mau tak mau membantu abangku.

Andhini memapah Bang Roy menuju toilet. Siluet mereka sudah tak mampu kulihat saat aku berbalik menuju dapur.

Ada yang aneh? Kenapa mereka terlihat seperti majikan kejam dan pembantu polosnya?

MantanAbleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang