Saat sampai di Fakultas Kedokteran aku disuguhkan dengan beberapan orang yang sibuk bergosip sesekali melirik pria yang berdiri tegap di hadapanku. Arya.
Para wanita yang tengah berbincang dengannya berbalik menatapku. Mereka saling pandang kemudian menunduk. "Maaf."
Ah! Aku mengerti sekarang. Mereka tertarik pada Arya yang tidak diragukan lagi ketampanannya. Penampilan pria modis dengan wajah di atas standar ketampanan adalah hal menarik bagi kaum hawa. Kaum adam hanya bisa meratapi nasib karena tidak bisa setampan pria itu. Wow. Wajar saja karena kita hidup di mana fisik adalah hal utama.
Aku menggandeng lengan Arya agar tatapan lapar dari wanita di sekitarnya sirna seketika. Namun, itu bukan hal yang mudah ternyata. Meskipun sudah kugandeng, tatapan itu masih mereka layangkan.
Aku memanggil Arya dengan lembut. Pria itu malah menegang.
"Sayang, mas mau bawa kamu ke KUA lagi boleh?"
Aku melongo dan lebih meemilih menariknya keluar dari sana. Saat duduk di kursi mobil aku memperingatinya agar tidak datang lagi ke kampus. Ia malah mengira bahwa dia membuatku malu. Arya dengan sikap tidak percaya dirinya. Sudahlah, kubiarkan saja dia.
"Kita mau ke mana?"
Arya tidak menjawab. Mungkin dia sedang fokus membelokkan mobil ini.
"Mau ke taman hiburan?"
Lagi, tak ada jawaban. Oh, aku mengerti sekarang. Dia mengabaikanku. "Tepikan mobilnya. Kita perlu bicara."
Arya tidak mengabaikan apa yang kukatakan. "Tepikan mobilnya," ucapku lembut. Akhirnya ia mendengarkan. Mobil kami kini menepi pinggir jalan.
"Ada apa?"
"Seharusnya saya yang bertanya hal itu."
Panggilan Arya berubah seketika. Aku bahkan harus menyipitkan mata menatapnya. Pria itu mana tahu kodeku?
Sepertinya aku yang akan minta maaf. Aku membuka seatbelt, kemudian memanggilnya lagi dengan lembut.Pria ini masih tak percaya bahwa dia tidak pernah membuatku malu. Bahkan aku yang merasa telah membuatnya malu karena memiliki istri yang slempangan.
Untuk menutup keraguannya, aku memberikan kecupan singkat pada bibir ranum itu. Arya tertegun. Setelahnya kami kembali seperti semula.
Sampai di tempat yang kami tuju, aku dan Arya dibuat kecewa dengan jadwal festival yang berubah. Ya sudah, mau bagaimana lagi?
Arya mencoba menghiburku. Namun, menurutku dia yang tengah kecewa karena tak mampu membawaku kencan di festival.
Kami pun mulai mencari lokasi yang akan kami kunjungi. "Bagaimana dengan SMA kita?"
Dari banyaknya tempat kenapa Arya memilih tempat itu? Tempat yang banyak memberikan kenangan. Akan tetapi, kenangan pahit itu adalah kenangan yang paling kuingat.
Aku menipiskan senyuman sebagai tanda tak suka. Pria itu bahkan tak peka. Nostalgia terburukku akan terjadi.
Saat sampai di gerbang, Arya berbincang sedikit dengan pak satpam. Pasti pria itu menggunakan kekuasaannya sebagai ponakan dari pemilik sekolah. Pantas saja saat ia berteriak di tengah lapangan saat senam bersama, tak ada yang berani menegurnya.
Pertama kali masuk ke halaman SMA, yang kulihat adalah lapangan luas yang telah beribah drastis. Arya kembali mengenang masa SMA-nya di sini. Ia masih mengingat di mana aku sering berdiri sambil mengawasi para siswa-siswi.
Ada-ada saja. Aku beralih menatap UKS yang di letakkan di perbatasan antar kelas. Ini disengaja agar bisa membawa lebih cepat murid yang sakit ke sana.
Ingatanku memutar kilas balik di mana aku dibuat kecewa oleh Arya. Tepat sehari sebelum aku memutuskanya. Di mana aku mengecapnya menjadi pria yang paling tidak ingin kutemui dulu.
Saat itu aku mendapatkan kabar jika ia terlibat sebuah perkelahian hingga Arya mengalami beberapa luka. Pria itu dirawat di UKS.
Kekhawatiran sudah tak mampu kutahan. Aku berlari dengan tubuh berat menuju UKS yang lumayan jauh dari kelasku. Suara keras milik Arya dan seorang remaja lainnya ikut bersahutan.
Aku menghentikan langkah perlahan. Memilih menguping di balik jendela sekat pintu UKS. Suara seorang perempuan ikut melerai pertengkaran mereka.
"Arsya itu milik gue. Lo mau apalagi?"
Ucapan Arya membuatku tersentak kaget. Kedua tanganku mengepal dan meremas kuat rok seragam. Bibir kurapatkan agar bisa menahan suara. Jadi, aku dia anggap apa?
Aku menghela napas sejenak, menghlau sesak di dada dan menahan air mata yang ingin keluar. Aku berbalik saat seorang remaja pria keluar dari sana.
Setelahnya kembali menatap pintu dan hampir saja masuk untuk menemui Arya. Hatiku cukup dibuat hancur karena pengakuaannya tadi, dan kini kembali dibuat hancur demgan apa yang kulihat.
Bukan si gadis yang memeluk Arya, tetapi Arya sendiri yang memeluknya. Miris. Ini seperti FTV saja. Saat si tokoh utama melihat kekasihnya tengah bermesraan dengan wanita lain.
Kupikir saat menonton sinetron seperti itu aku tidak akan pernah merasakan apa yang dialami pemeran utamanya. Namun, kali ini aku merasakannya. Perih tapi aku tak bisa berbuat apa pun.
Tak cukup dua kali Arya menyakitiku, pria itu malah menggengam erat telapak tangan si gadis sembari mengelus air matanya. Bahkan senyuman yang katanya ia tujukan padaku seorang, Arya berikan pada gadis itu.
Hebat. Aku tiga kali dibuat kecewa oleh Arya di jangka waktu yang singkat pula. Aku berbalik arah membiarkan mereka. Pergi merenung di bawah pohon.
Tempat tersembunyi yang jauh dari keramaian sekolah. Aku duduh di bawah pohon sambil menutup wajah. Terisak pelan dalam keheningan. Dulu, aku yang bersikeras tidak menjalin hubungan dengannya. Namun, saat ini aku pula yang merasa tersakiti. Lucu.
***
"Itu lagi yang kuingat," gumamku.
"Hmm? Mas enggak denger. Kamu ngomong apa tadi?"
Aku menoleh lalu menatapnya dalam. Apa perlu kupancing saja?
"Gue bilang, lo juga berteriak di sini. Protes karena enggak mau putus."
Raut wajah Arya tampak murung. Pasti itu hanya topeng yang ia pasang untuk membuatku luluh. Aku tidak akan teperdaya dan melupakan kekecewaanku dulu.
"Gue juga mutusin lo di bawah pohon itu, 'kan?"
Aku menunjuk salah satu pohon yang berdiri tegak di pinggir lapangan. Lantas mengalihkan pandang mengamati pria itu. Tangannya mengepal hingga urat tangannya menonjol. Kepala Arya tertunduk.
Sudahlah. Aku berjalan perlahan kembali mengamati area lapangan. Tersentak dan mundur selangkah saat sebuah lengan kekar merangkul bahuku. Mataku pun ikut ditutup.
"Lo ngapain?"
"Mas enggak suka ingat itu."
Suara Arya terdengar serak, tetapi bergetarv seperti menahan sesuatu agar tak keluar. "Cukup kenangan indah aja yang kamu ingat," lirihnya.
Kecupan di pucuk kepalaku terasa menenangkan. Arya menurunkan tangannya dan berpindah memeluk erat pinggangku dari belakang. Wajah ia sembunyikan di ceruh leher. Napasnya yang hangat berembus di perpotongan leher.
"Lepasin." Aku bergerak gelisah di balik pelukannya. Ia malah mengeratkan pelukan itu.
"Sebentar aja kayak gini. Mas mau meredakan rasa kesal dulu."
"Para siswa dan guru yang berada di dalam kelas, menatap kita," bisikku, masih berusaha melepas pelukaannya.
"Abaikan mereka, Sayang. Mas lagi kesel, loh. Dan obatnya cuman kamu. Daripada mas buat keributan, mending kamu diam dulu."
Aku termangu. Mengingat saat Arya marah karena putus denganku. Seminggu setelah putus denganku, sikapnya berubah drastis. Pria itu bahkan memukul seorang siswa hanya karena meminjam penaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MantanAble
RomanceApa jadinya jika mantanmu perfect banget? Good looking? Iya! Baik? Iya! Mapan? Iya! Sholeh? Iya! Dunia Raya rasanya jungkir balik ketika sang mantan―Arya, tiba-tiba mengusik hidupnya. Si idaman kaum hawa yang membuat Raya gedek bukan main! ~~~~...