Stories

0 0 0
                                    

Arya, pria itu masih memelukku dari belakang. Aku membalikkan badan, memeriksa apakah dia sudah tidur atau belum. Saat membalikkan wajah, wajah Arya hanya berjarak tiga senti di depanku. Kamar kami hanya diterangi dengan lampu jamur di atas nakas.

Di balik cahaya lampu, tatapan bersalah Arya, ia tujukan padaku. Tanpa banyak bicara, pria itu mengecup keningku lembut seraya menggumamkan kata maaf.

Aku tak tega membiarkannya seperti itu. "Gue maafin."

Selama bertahun-tahun aku memakan pil pahit dari kesalahpahaman kami, dengan mudahnya memaafkan Arya begitu saja. Dasar hati lemah! Namun, aku tak bisa menampik jika rasa lega itu hinggap di hatiku. Lega karena sudah bisa melepaskan beban yang mengganjal di hati.

Arya memelukku erat. Tak ada suara yang keluar dari mulut kami, sampai aku kembali membuka topik baru. Rasanya sudah wajar jika aku membagi keresahanku ini pada Arya.

"Gue mau cerita tentang Andhini, boleh?"

"Ah, mas juga mau cerita tentang Bang Roy dan Rey. Sepertinya ada yang mereka sembunyikan dari kita."

Ternyata Arya memperhatikan gerak-gerik ketiga orang itu. Sudah tepat jika aku bercerita padanya.

"Iya. Ada yang aneh sama mereka. Kemarin gue ke rumah emak bareng Dhini. Bang Roy malah natap Dhini sinis. Rey juga tiba-tiba canggung ketemu ama Dhini. Adek lo keliatan ketakutan kemarin."

Pria itu tampak berpikir sejenak. "Kira-kira ada apa, yah, Sayang?"

"Gue inget, setelah bantu emak di dapur, gue liat Bang Roy kayak marahin Dhini. Percakapan mereka enggak gue denger jelas. Pas gue mendekat, mereka bilangnya enggak papa."

"Besok kita tanya ke Rey aja."

Aku mengerutkan alis. Kenapa tidak bertanya pada Bang Roy atau Dhini?

"Kenapa harus ke bocah itu?"

Arya tersenyum lebar dengan menatapku dalam. "Apa karena kita megang rahasianya ...?"

Senyumku terbit seketika. Dengan ancaman itu, Rey dengan mudah membuka mulut. Aku dan Arya sama-sama tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala. Besok kami akan menginterogasi Rey.

"Sekarang, tidur, yah." Arya kembali memelukku erat. "Mas kangen banget sama kamu."

Aku terdiam mendengar kejujurannya. Apa aku harus tersanjung?

Dengkuran Arya terdengar pelan. Baru kali ini aku mendengarnya mendengkur. Mungkin karena kelelelahan harus pulang ke Indonesia secara mendadak.

Tanganku melingkar di punggungnya. Mengusap pelan dan menenggelamkan wajah ke dalan pelukannya. Hangat dan nyaman. Pelukan Arya tidak pernah berubah dari SMA. Penuh kasih sayang dan kehangatan.

Aku menatap jakun pria itu. Lucu. Naik dan turun secara teratur mengikut tarikan napasnya. Semoga Arya tidak bangun atau merasa terganggu dengan aksiku selanjutnya.

Satu kecupan berhasil mendarat di jakunnya dan aku semakin merapatkan tubuh kami dengan senyum yang mengembang sempurna.

Arya mengeluh tetapi tak mampu membuatnya terbangun. Aku lalu menuup mata dan menyusul Arya masuk ke dalan dunia mimpi.

***

Aku dan Arya menatap Rey menyelidik. Remaja itu tengah duduk gugup di depan kami. Masih dengan pakaian biasa. Kami membawanya ke kafe setelah Rey selesai dari les sorenya.

Suasana di meja kami memang sengaja dibuat mencekam olehku dan Arya. Tentu saja agar bisa lebih mendalami peran sebagai pengancam.

"Jelasin kenapa sikap kamu, Bang Roy, dan Dhini mencurigakan?"

Arya menatap lekat pada Rey yang gugup. Aku hanya mengangguk dengan tangan yang menyilang di dada. Mengiyakan apa yang dikatakan Arya.

"Ka--kami baik-baik aja, kok, Bang."

Rey mengalihkan pandanganya dari kami. Aku langsung memajukan wajah, mendekat lalu mengamati ekspresi Rey.

"Masih ingat kejadian di bar?" bisikku pada Rey. Wajahnya memucat seketika. Tatapan memohon langsung ia berikan lengkap dengan cengiran khasnya.

"Kak?"

Aku kembali ke posisiku. "Cepat katakan."

"Bang Ar?" Ia malah meminta bantuan dari Arya. Arya hanya menggeleng kemudian mengedikkan bahu. Tak tahu.

"Hah ... okey, tapi kalian jangan ember dan bilang ke ayah dan emak atau orang tuanya Bang Arya."

Aku menatap Arya, pria itu mengangguk setuju. "Iya. Kami enggak akan beberin hal ini ke mereka."

"Beberapa hari sebelum pernikahan kalian, Dhini ditangkep di sebuah klub malam."

Aku dan Arya sama-sama terkejut. Tangannya mengepal di atas meja. Punggung yang semula rileks di sandaran kursi, perlahan menegak.

Genggaman tangan kuberikan pada tangannya. Mencoba menenangkan Arya yang tampak syok dan juga khawatir.

"Lanjutkan, Rey." Remaja itu mengangguk, kemudian menunduk.

"Dari keterangannya, Dhini nemenin temannya yang pengen jemput kakaknya. Tapi temannya itu ternyata enggak ada di sana. Otomatis polisi semakin curiga bahwa Dhini pengguna obat-obatan terlarang ataupun pengedarnya. Dhini, terbukti tidak menggunakan obat terlarang itu. Hanya saja tidak ada bukti yang menjelaskan jika dia bukan pengedar."

"Polisi pasti menggeledahnya, 'kan?"

Rey mengangguk, "Tapi bisa jadi Dhini sudah menyingkirkan obat itu, Bang. Ini yang dipikirkan para polisi itu."

"Lalu dengan Bang Roy?"

"Kak, kebetulan yang tengah bertugas itu Bang Roy. Bang Roy tau kalau Dhini adiknya Bang Arya. Dia jadi dilema, di sisi lain ada calon mertua dari adik perempuannya, di sisi lain adalah tugasnya."

Arya menenggelamkan wajah di antara kedua tangannya. Pria itu terlihat frustrasi.

"Karena didesak sama polisi lainnya, Bang Roy akhirnya meminta Dhini menghubungi orang tuanya."

Aku mengernyit, jika saat itu Dhini diminta menghubungi papa dan mamah, kenapa harus merahasiakan ini dari mereka juga?

"Tapi Dhini enggak mau. Keluarganya sedang berbahagia karena pernikahan kalian, Dhini enggak tega hancurin kebahagiaan itu."

Seorang pelayan menghampiri kami. Pesanan kue dan minuman, kini sudah tertata rapi di atas meja. Aku menepuk pelan bahu Arya. Pria itu hanya tersenyum tipis.

"Terus?"

"Yaelah, Kak. Bentar. Mau minum dulu aku."

Dasar bocah tengil!

"Karena panik, Dhini malah nelpon aku. Dan begitulah caraku terseret dalam masalah mereka."

Rey kembali menyeruput minumannya. Tangannya meraih sepiring cheesecake, tetapi langsung kutepis. Ia malah tersenyum kecut.

"Karena aku belum cukup umur, mungkin? Bang Roy yang jadi penjamin kalau Dhini tidak bersalah dengan catatan Dhini harus dibawah pengawasan Bang Roy."

"Jadi itu alasan Dhini takut--bukan! Lebih tepatnya tidak enak hati ama Bang Roy?"
"Iya, Kak."

"Arya?"

"Hmmm?"

"Lo baik-baik aja?"

Arya menghela napas berat. "Mas gagal jadi abang yang selalu lindungin Dhini, Sayang."

Aku menggeleng kuat, "Enggak. Lo enggak gagal."

Pria itu cemberut dan menyandarkan kepalanya pada bahuku. Rey yang melihat itu, mencibir lalu mengalihkan tatapannya.

"Untung Bang Roy mau nolongin Dhini."  Elusan lembut kuberikan pada surai Arya.

"Jangan pamer kemesraan di depanku! Sekarang aku boleh pergi?"

Aku mendelik dan mengusirnya. "Eleh! Ya udah, aku pamit!"

Rey berjalan ke luar kafe dengan menenteng tasnya. Aku menatap gelas dan piring kue nanar. Sial! Bocah itu ngabisin kue dan minuman, enggak bayar lagi!

Aku menggerutu. Semoga saja dia tersandung hingga terjatuh di depan umum!

MantanAbleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang