Aku bangun setelah mendengar suara masjid. Menyingkirkan tangan Arya dari area perut dan menatapnya yang kini terlelap. Setelah lelah bercerita semalam, kami pun tertidur.
Aku menggerakkan bahu tegap pria itu. Tak ada gerakan. Beberapa kali pun kucoba tetap sama. Aku teringat masa SMA-ku saat bersamanya dulu. Ia memang paling sulit dibangunkan jika melakukan guncangan apa pun.
Aku kemudian duduk di tepi ranjang. Menunduk perlahan dan mengelus lembut pipi pria itu. Berbisik perlahan di telinganya.
"Arya, bangun."
Keningnya mengernyit samar. Tubuh tegap itu tengah meregangkan tubuh disusul dengan mata yang setengah terbuka. Akhirnya, ia terbangun.
"Salat subuh," ucapku sembari berdiri dan berjalan masuk ke kamar mandi. Darah terasa naik ke perpotongan leher. Saat aku melihat pantulan diri di depan cermin kamar, leherku memerah.
"Tidak, Raya."
Aku menggeleng mencoba menepis sikap malu-malu ini. Kalau Arya menyadarinya, pria itu pasti merasa telah membuatnya sudah menang dariku.
"Jangan lupakan tentang apa yang kamu dengar pada saat itu," gumamku samboll menatap pantulan diri. Tak lama aku mulai membersihkan diri.
Saat keluar dari kamar mandi, aku menatap Arya yang tengah menatap pantulan hujan di balik jendela.
"Ada apa?"
"Mas enggak bisa ke masjid, Sayang. Hujannya awet ini."
"Ya udah, lo salat di mari aja."
"Salat bareng?"
"Hmmm."
Arya menatapku dari batas hingga bawah. "Udah berwudu?" Aku mengangguk sebagai jawaban. Senyum lebar pria itu tunjukan sembari menatapku.
Kaki panjangnya dengan cepat mendekat. Aku mundur perlahan. Jangan-jangan dia?
"Gue peringatin, jangan berani lakuin apa yang lo pikirin."
"Emang apa yang mas pikirin?"
"Yah, apa yang lo pikirin sekaranglah!"
Arya mulai mengejarku. Pria gila dan sinting ini benar-benar membuatku stres. Apa yang dipikirkan oleh otak tampannya itu?
"Lo mau batalin wudu gue, 'kan?"
Ia mengulum bibir. Kebiasaan yang selalu ia lakukan jika ketahuan berbuat sesuatu. Pria itu menggeleng. Tidak. Jangan percaya dengak wajah sok polosnya. Jangan tertipu! Jangan! Tapi kenapa mantanku ini terlihat sangat manis?
Kuatkan hatiku, Ya Allah!
"Enggak lama lagi, emak pasti manggil kita untuk turun ke bawah. Lo mandi dan berwudu sana!" usirku padanya menggunakan sapu yang berada tak jauh darinya. Aku mendorong Arya menggunakan sapu itu. Ia cemberut.
"Enggak ada morning kiss gitu, Yang?"
"Sakarepmu! Enggak ada!"
Tanpa sadar aku berteriak karena gugup. Aku pasti msnjadi manusia yang paling edan jika mengiyakan permintaan Arya tadi. Dipeluk pun aku tak sudi!
Ya ampun, lalu yang meluk Arya kemarin siapa, Ray?
Please, anggap saja itu dedemit kemarin sore! Yah, anggap saja seperti itu atau aku kena peletnya dia. Pelet ketidakberdayaan di depan cogans!
Suara pintu kamar mandi, membuyarkan lamunanku. Arya keluar dari sana dengan tampilan yang amat segar. Pria itu tengah menyugar rambutnya yang basah.
Aku seperti melihat iklan minuman dingin. Bahkan ini lebih segar dari campuran lemon dan lime. Pesona pria tampan sehabis mandi memang sangat sulit dipungkiri.
"Sayang, udah salat?"
Aku yang tertegun perlahan menarik kembali nyawa yang sudah terbang akibat pesona pria itu.
"Hah? Ah, belum, Mas."
Dengan sesegar aku menutup mulut. Semoga pria yang tengah memakai sarung itu tidak mendengar panggilanku.
"Mas?" Arya terkekeh pelan tetapi telinganya merah merona. "Yuk, Sayangnya mas, kita salat dulu."
Aku berdeham dan pergi menggelar sajadah, lalu memakai mukenah. Arya mulai mengucapkan takbir.
***
"Salim." Aku menatapnya bingung tetapi malah mencium tangannya. Arya dengan kopiah salah satu ujian hati yang paling berat. Kenapa pria ini terlihat sangat tampan?
Lama-lama aku bisa mati mendadak sebab kehabisan oksigen karena ketampanannya.
Tok! Tok! Tok!
"Raya bangun! Emak tau kamu kebo tapi sekarang kamu tuh, udah punya suami! Ada anak orang yang perlu kamu kasi makan!"
Setdah, Emak! Dikira Arya kucing apa? Bisa pakai bahasa halus juga. Cocok, tuh! Emak makhluk halus, bahasanya juga halus!
Kalau emak tahu apa yang aku pikirkan, dia pasti langsung lemparin lap ke mukaku.
"Raya, bangun! Emak tau apa yang kamu khayalin sekarang! Keluar atau emak dobrak nih, pintu pake saringan Naruto?!"
"Mak, Naruto mah pake rasengan bukan saringan!" timpalku pada emak yang masih berada di pintu luar kamar.
"Sebodo teing! Nyok, keluar sekarang!"
Suara langkah kaki emak perlahan memudar. Aku mengalihkan tatapan ke Arya. Ia tampak menggaruk pelipisnya.
"Emang gini," kataku dengan gelengam pertanda agar ia mau memaklumi kami.
Di ruang makan sudah ada emak yang tengah memasak. Ayah yang tengah duduk sambil menyesap kopi, Bang Roy yang memainkan handphone-nya, dan Rey yang tengah menguap.
Arya menyusul di belakangku. "Pagi, Mak." Aku langsung menghampiri emak dan membantunya menyiapkan sarapan kami.
Aku menyusun piring di hadapan para pria yang tengah duduk si meja makan, dan duduk di salah satu kursi kosong.
Emak tengah menyendokkan nasi di atas piring Ayah. Ia kemudian menatapku dengan alis yang hampir bertautan.
"Raya, pindahin nasi gorengnya ke piring Arya." Emak menyodorkan bakul nasi itu padaku. Tanpa banyak protes, aku mulai melaksanakan perintah emak.
Satu setengah sendok nasi sudah berpindah ke piring Arya. Aku hampir saja mendaratkan tubuh di kursi sebelum emak kembali menegur.
"Eh? Kenapa dikit banget kamu kasinya? Tambahin."
"Emak." Aku memberengut dan kembali berdiri.
"Mau ngebantah emak?"
"Bukan gitu, Mak. Arya punya maag enggak boleh dikasi banyak makan di pagi hari kek gini. Ntar perutnya keram," ujarku sambil menatap pria yang berada di sampingku ini. Ia tersenyum kecil dengan binar mata yang memancarkan hal begitu bahagia.
Sesaat aku menatapnya lekat. Alis yang tebal, bulu mata lentik nan panjang, bentuk mata yang sempurna, hidung yang mancung hingga bibir seksi ranumnya. Bibir yang kemarin mengecupku.
"Ray, enggak mau makan?"
Emak menperhatikanku yang masih berdiri di samping Arya. Emak memang tidak bisa melihatku senang saat memandangi ciptaan Tuhan berupa cowok ganteng!
Aku duduk di samping Arya dan mulai menikmati sarapan pagi ini. Di sela-sela makan, ayah bertanya pada pria itu tentang rumah yang akan kami tempati.
Dari sana aku mengetahui, lokasi rumah itu cukup jauh dari sini karena berdekatan dengan laut. Arya memang berniat membuatku nyaman dengan menyiapkan hal yang aku sukai.
Bukan hanya itu, ia juga sengaja memilih rumah yang dominan dengan suasana laut. Mulai dari pemandangan laut, akuarium kaca, sampai kolam. Uniknya, ada taman juga.
Rumah impian yang pernah aku ceritakan padanya, ia wujudkan setelah kami menikah. Persis seperti ucapannya pada saat kami masih SMA. Arya bahkan mengingat segala detailnya.
Raya, tenangkan jantungmu yang tengah berdetak lebih cepat itu!
KAMU SEDANG MEMBACA
MantanAble
Roman d'amourApa jadinya jika mantanmu perfect banget? Good looking? Iya! Baik? Iya! Mapan? Iya! Sholeh? Iya! Dunia Raya rasanya jungkir balik ketika sang mantan―Arya, tiba-tiba mengusik hidupnya. Si idaman kaum hawa yang membuat Raya gedek bukan main! ~~~~...