Mimpi Ndasmu! (Raya)

11 1 0
                                    

Apa ini?

Tanganku mulai meraba benda di sisi lain tempat tidur.

Ah, boneka, yah?

Senyum najong terbit di bibir. Tanganku menampar keras boneka itu. Bentar.

Bunyinya kok, beda, yah?

Dengan mata tertutup, aku merangkak naik ke atas boneka itu, meraba rambut, alis, mata, hidung, sampai bibir?

Ini boneka atau human kemarin sore?

Mataku perlahan terbuka. Dari jarak 3 cm, siluet seorang pria tampan yang tengah tersenyum tampak di penglihatanku.

Aku mengedipkan mata berkali-kali kemudian mendengus. Ini pasti mimpi yang indah.

"Sayang, kangen banget sama Mas sampe enggak mau turun dari badan Mas, yah?"

Entah ini halusinasi atau memang mimpi. Sebuah lengan terasa melilit pinggangku. Usapan halus juga mampir di rambut.

Aku memukul keras dada bidang yang tengah kusandari. Terkekeh kecil dalam hati. Ini beneran mimpi yang indah.

Suara ringisan lantas membuatku mengangkat kepala, menatap cemberut pada pria di bawahku.

Lah! Ini si mantan kok, bisa?

Aku menjilat telapak tangan dan mengangkat tangan tinggi-tinggi ke atas. Ada rasa dingin dari AC yang menyapu telapak tangan. Itu artinya, ini bukan mimpi!

Mata bulatku menatap pria yang tengah mesem-mesem sembari mencolek pahaku. Satu tamparan berhasil mencium pipi tampannya. Lagi, ia meringis.

Aku abaikan itu dan bangkit dari posisiku.

"Lo?! Lo udah siapain mahar, enggak?!"

Bukan apa-apa, cuman kalau doi sama aku sudah belah duren otomatis perlu duit buat nikah, 'kan? Kalau enggak nikah, habis dia dirajam sama abangku.

Arya yang tengah mengelus pipinya, tampak mengernyit samar. Tawa keras seketika keluar dari bibir cipokable pria di hadapanku ini.

"Kok, Sayangnya mas gemesin, sih? Biasanya cewek kalau tidur seranjang sama cowok bakalan nanya, 'Kita ngelakuin itu apa enggak?' Lah, kamu malah nanya masmu udah siapin mahar apa enggak?"

Si mantan bangkit dari peraduannya dan menghampiriku. Elusan sayang ia berikan pada rambutku. Tatapan tajam yang kulayangkan malah membuatnya semakin tertawa keras.

"Apaan, sih?"

Aku sesegara mungkin memelintir tangannya ke belakang. Ilmu bela diri yang kupelajari ternyata bisa digunakan di waktu seperti ini.

Bukannya mengerang kesakitan ia malah memberikan senyuman lembut padaku dari pantulan cermin di sisi kanan kami. Di saat aku lengah, Arya memutar badannya dan memelukku dari belakang.

Embusan napas Arya dapat kurasakan di perpotongan leher. Aku menegak ludah gugup sembari memejamkan mata. Napas terasa memburu. Baru kali ini aku sedekat itu dengan seorang pria. Semoga saja dia tidak mencium bau iler dari rambutku.

"Ekhem! Mau mandi bareng ngak?"

Entah kenapa suara doi terdengar sensual dan sexy? Aku sampai dibuat tak berdaya hanya karena suaranya itu. Demi menyadarkan diri, aku membenturkan kepala dengan kepalanya dan langsung lari ke kamar mandi.

Ah! Laki cemen! Baru saja kepala yang dibenturka sudah meringis, belum juga aku benturin yang lain?!

***

"Gue butuh banyak penjelasan dari lo," ujarku seraya menatapnya dengan mata melotot. Kini kami berada di ruang tamu sebuah rumah yang baru kutempati.

"Deketan sini, Sayang. Mas mau peluk kamu."

Aku semakin melotot padanya demi menghalau salting. Siapa sih, yang enggak mau dipeluk sama cogans sekelas Cha Eun Woo?

Demi mempertahankan harga cabe, aku memilih tetap duduk di posisiku. Lebih tepatnya lesehan di balik meja yang memisahkan kami.

Ia menghela napas dan berdiri kemudian menghampiriku. "Enggak baik kalau kita bicaranya jauh-jauhan," ucapnya setelah duduk di sampingku sembari menggenggam tangan.

Bisa gila aku! Mantanku yang satu ini enggak pernah berubah romantisnya! Jangan sampai aku melupakan kejadian saat kita putus waktu itu.

Kejadian yang mampu meruntuhkan cintaku yang terbangun untuk Arya. Aku menghela napas demi menghalau rasa sesak di dada. Tanpa sadar melepaskan genggaman tangannya.

Dari raut wajah lelaki itu, ia tampak kecewa.

Tidak Raya! Jangan teperdaya.

"Jelasin." Tuntutku penuh penekanan.

Terakhir kali aku bertemu dengan pria ini saat ia langsung menyetujui permintaan gila emak untuk menikahiku.
"Semalam kamu pergokin Rey di bar. Kamu datang dan marah-marah ke dia karena minum alkohol. Supaya Rey enggak minum-minum, tanpa pikir panjang kamu yang minum alkoholnya. Sampai sekarang Rey merasa bersalah banget dan janji enggak ngulangin kejadian itu lagi."

Yah, bener, sih. Semalam aku dapat info kalau Rey lagi ada di bar. Tanpa pikir panjang langsung menyusul ke sana.

Duh, bayangin. Kakak mana yang tahan, saat adeknya mau mencoba alkohol? Di bar itu aku langsung marah ke dia dan nenggak alkoholnya sebotol. Gila!

Ada yang mencurigakan. Terus aku kenapa bisa ada di mari? Di rumah si mantanable ini?

"Kenapa gue ada di ranjang lo?" Ia mengalihkan tatapannya dariku. "Jawab."

"Emm ... gini, karna kamu mabuk, Rey nelpon Mas."

"Kenapa harus Ma―lo yang dia telpon?"

Hampir aku terbawa suasana sebab panggilan Mas-nya itu. Aku mengernyit saat mendapati Arya yang tengah mesem-mesem. Jarinya terulur mencoba meraih pipiku, tapi langsung kutepis seraya menatap datar padanya. Dia cemberut. Imut!

"Kan berabe kalau nelpon Bang Roy? Bisa diborgol dia."

Kali ini aku diam. Abangku yang satu itu  seorang polisi. Bisa-bisa Rey digrebek sebelum dikebiri di rumah. Nasib!

"Rey takut kamu kena amuk setelah mabuk. Jadi dia minta mas buat bawa kamu ke sini."

Aku melotot kaget. Adik ingusanku yang satu itu malah menawarkan kakaknya menginap di rumah cowok? Sarap! Pulang dari sini, bukan Bang Roy yang kebiri dia tapi aku.

"Sayang." Guncangan kecil di tubuh serta panggilan mesra itu membuatku bergidik ngeri. Lantas kutatap Arya dengan tatapan sejijik-jijiknya. Dia malah tersenyum menawan.

"Ini hari terakhir kita ketemu kek gini. Besok, kamu sama mas dipingit," katanya sembari menatapku penuh cinta?

Aku berdeham kemudian mengalihkan tatapan. Debaran ini harus kuhilangkan. Ingin mengumpat lagi rasanya, hanya saja aku sudah banyak mengumpat tadi.
"Gue mesti pulang." Aku bangun dari dudukku dan menatapnya dari bawah. Baru selangkah, tangan kekarnya mencegat lenganku.

"Khusus hari ini aja. Mari kita berkencan."

Ajakannya itu membuatku tertegun. Wajah jahil yang diberikannya tadi berubah 180 derajat. Hanya tatapan penuh harap yang ia layangkan padaku.

Gugup, aku menegak ludah. Menggangguk seraya menatap manik matanya. Senyum bahagia menenangkan, terbit di bibir Arya. Tanpa banyak bicara, ia memelukku erat seakan tak mau melepaskanku.

Aku menggeram dalam hati. Menggigit bibir bawah berusaha menghalau debaran di dada. Kenapa rasa itu belum pudar setelah bertahun-tahun lamanya? Walaupun pernah disakiti oleh pria ini, aku masih saja berdebar karena perlakuan manisnya.

"Ayo, kamu pasti lapar. Mas sudah menyiapkan sarapan untuk kita tadi."

Arya menggenggam kedua tanganku lembut lalu merangkul bahuku menuju meja makan. Yah, pasti ke meja makan. Enggak mungkin dia mengajak aku ke meja penghulu. Benar, 'kan?

Aku menatap punggung dan bahunya. Heran saja, kenapa Arya harus memiliki punggung dan bahu yang sandarable, sih?!

Gagal Move On kalau kek gini!

***

MantanAbleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang