Kencan Sehari

5 1 0
                                    

Aku menghela napas bosan. Saat ini aku berada di area kantin kampus Raya. Menunggu istriku itu selesai dengan dosennya. Hari ini aku akan mengajakknya kencan, tetapi mendadak aku harus mengantarkannya ke kampus.

Duduk sendiri sembari menikmati minuman dingin kurang lengkap tanpa adanya Raya. Entah sihir apa yang dia tanamkan padaku sampai bisa seperti ini padanya.

Ditambah lagi, besok aku akan berpisah dengannya selama sebulan. Beberapa jam saja aku sudah seperti tak ada semangat hidup. Bagaimana dengan sebulan?

Aku menoleh ke kiri dan kanan. Siapa tahu Raya yang kutunggu sudah tiba. Nihil, hanya ada para wanita sekaligus pria yang menatapku. Tatapan mereka itu cukup aneh. Apa ada yang salah denganku?

Duk!

Aku meletakkan dahi ke meja. Pelampiasan atas rasa bosan ini. Apa aku susul saja Rayaku di kelasnya, yah?

Kenapa tidak terpikir olehku? Lantas, aku mengetikkan pesan untuk istriku bahwa suaminya akam menyusul ke kelas.

Saat aku berdiri, tatapan kaget setiap orang kutemui. Dengan canggung aku tersenyum kepada mereka dan mulai berjalan ke luar dari kantin.

Sebenarnya, kampus ini bisa dibilang juga milikku. Aku sudah menanamkan 40 persen donasi ke kampus ini. Demi Raya. Sebab kampus ini, aku berhasil menemukan jejak istriku.

Aku berjalan menelusuri beberapa lorong kelas. Bertanya pada beberapa siswa laki-laki tentang kelas Raya. Setelah bertanya spesifik tempatnya, beberapa mahasiswi menghampiriku.

"Kak?"

Keningku mengernyit. Mungkin mereka bisa memberitahu jika ada sesuatu di wajah atau pakaianku.

"Hmmm?"

Mereka malah memekik tertahan.

"Boleh minta nomor handphone-nya?"

"Boleh." Mereka tersenyum senang. Tanpa banyak bicara aku langsung mengetikkan nomor telepon di handphone milik salah satu dari mereka. Aku menatap gerak-gerok pemilik handphone itu. Nada sambung dari dial telepon mulai terdengar.

Tak lama suara seorang wanita menjawab panggilan itu. Mereka saling menatap satu sama lain.

"Halo? Siapa?" Pemilik handphone hanya diam saja. Akhirnya aku yang turun tangan.

"Halo, Sayang? Kamu di mana? Mas sudah ada di lorong Fakultas Kedokteran."

"Eh? Tunggu di sana, paham?"

"Oke, Yang."

Telepon terputus. Para mahasiswi itu menatapku bingung.

"Jadi itu bukan nomor handphone Kakak, yah?"

"Iya."

"Engh ... Kak, tadi saya minta nomor handphone-nya Kakak bukan nomor handphone si cewek."

"Owh, nomor handphone saya? Saya enggak hapal. Cuman nomor handphone istri saja yang saya hapal. Kalau kamu mau nomor saya, bisa minta ke istri saya, yah. Tuh, dia ada di belakang kalian."

Para mahasiswi itu tersentak dan berbalik menatap Raya. Wanitaku itu tengah berjalan perlahan sambil menatap kami bingung.

"Maaf." Sebelum pergi, mereka mengucapkan kata itu. Aku mendekati Raya dan mengecup tangannya.

Wanita itu tersentak dengan perlakuanku. "Bagaimana kuliahnya?"

"Seperti biasa."

Raya menggandeng lenganku. Dalam sejarah kebersamaanku dengan Raya, baru kali ini wanita itu merangkulku.

MantanAbleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang