Izin

4 1 0
                                    

Setelah makan, aku dan Arya bersantai dengan menonton film komedi. Jarak yang terbentang di posisi duduk kami cukup jauh. Dia yang memilih bersandar di tangan sofa dengan mata yang menatapku, dan aku yanng duduk kaku di lengan sofa lainnya.

Situasi macam apa ini? Apa dedemit tampan itu tidak bisa menjaga mata?

Aku berusaha agar tidak melihat Arya. Lelaki itu terlalu menggoda.

"Perhatikan filmnya jangan gue yang lo perhatiin?"

Senyum miring Arya tampilkan. Lelaki itu malah mendekat padaku. Sebelum berhasil menghindar darinya, ia menarikku duduk di atas sofa kembali.

Arya beralih duduk di hadapanku dengan menggengam kedua tangan. Detak jantung sudah tak mampu aku realisikan. Berdetak semaunya.

"Sayang, dengerin mas." Pelan, Arya berucap. Awalnya aku bingung, kenapa dia duduk di bawah bukan di sampingku?
"Begini, maafkan mas." Maaf karena mengusik hidupku kembali?

"Mas ada urusan bisnis di Singapura selama sebulan."

Deg!

Jangan bilang dia akan ke sana?

"Lo bakalan ke Singapura?" Pria itu mengangguk. "Bagaimana dengan kuliah lo?"

"Mas sudah tanya ke dosennya. Beliau memaklumi sampai mengizinkan mas untuk video call tentang materi yang dia berikan."

Aku tertegun. Bingung mau menanggapi apa. Arya masih menggenggam tanganku. Harusnya aku senang pria itu akan pergi ke sana selama sebulan. Namun, dalam hati perasaan aneh itu mulai merayap dan sukses berubah menjadi sesak.

"Mas tau ini akan menjadi sangat berat di usia pernikahan kita yang baru sehari, tapi urusan ini lumayan penting. Kamu juga harus berkuliah, jadi mas tidak bisa membawamu ke sana."

Yah, mungkin terasa sesak karena hal itu. Aku menelan ludah. Tersenyum kecut akan ungkapan Arya. Pria itu menatapku dalam yang mampu menembus hati.

Apa aku masih mencintainya?

"Bagaimana? Kamu izinkan mas? Kalau tidak, mas akan berusaha untuk mengatur jadwalnya lagi."

"Lo wajib pergi?"

"Hmmm ... bisa dibilang seperti itu."

Mulutku membuka sedikit. Tatapan penuh harap dari Arya, membuatku tak tega menolaknya. Dalam hal ini, aku tidak bisa mencegahnya.

"Oke, enggak masalah."

Pria tegap itu tampak tertegun. Genggaman tangannya pun menguat. Arya menyandarkan kepalanya di pahaku.

"Kapan lo akan pergi?"

"Dua hari lagi."

***

Jam di nakas sudah menunjukan pukul 3 pagi, tetapi mataku sama sekali belum terpejam. Beberapa kali aku membalikkan badan ke kanan dan kiri. Tetap saja tak berhasil membuatku mendapatkan posisi ternyakan.

Aku tidur menyamping menatap Arya. Dua hari lagi pria itu akan ke Singapura. Ada yang mengusik hatiku sejak ia mengatakan itu. Lebih tepatnya gelisah sampai tak bersemangat? Mood seketika turun dengan sangat drastis.

Ah, begitu besarkah pengaruhnya?

Aku gelisah di tempat tidur pria itu malah tidur dengan lelapnya. Apa dia tidak khawatir? Bagaimana jika aku diculik nantinya?

Aku memilih duduk bersandar di punggung kasur. Menatap sekitar yang hanya diterangi dengan lampu jamur. Pria ini membuatku kehilangan mood dalam waktu beberapa menit saja. Sial!

Tangan mulai menjambak rambut sendiri demi melampiaskan rasa frustrasi. Namun, hanya kujambak dengan kekuatan yang tak seberapa. Gila saja jikalau ingin melepaskan rambut itu dari kepala dengan kekuatan yang sulit dijelaskan.

Kulangkahkan kaki menuju balkon kamar. Mengamati langit yang kian menggelap. Bintang di sana pun tidak muncul sama sekali.

"Apa yang kamu amati?"

Aku berbalik saat mendengar suara seseorang. Arya berdiri tepat di belakang dan meraup pinggangku. Kini kami terlihat seperti berpelukan.

Tak lama pria iti mendekatkan wajahnya. Refleks aku memejamkan mata. Benturan kecil di dahi kini kurasakan. Pria itu ternyata menyatukan kening kami.

Embusan napas Arya dapat kurasakan. Kenapa jantung ini malah semakin berdetak cepat?

"Lo sendiri?"

"Mas enggak bisa tidur karena kamu."

"Karena gue?" Aku mengernyit, bingunng.

"Mas pikir, mas bakalan rindu banget sama kamu nantinya." Arya menatap dalam mataku. Elusannya di pipi membuatku memejamkan mata. Embusan napasnya membentur pipiku yang lain. Aku merasakan sesuat tengah menempel di bibir. Bergerak perlahan hingga rasa dingin bibir Arya berubah hangat.

Pria itu semakin memperdalam ciuman kami. Aku bahkan dibuat mabuk olehnya. Tangan Arya mulai menyusup semakin dalam memeluk pinggangku. Tangan yang lain, semakin menekan tengkuk.

Malam ini, aku benar-benar larut hingga terjatuh ke dalam pesonanya.

***

"Mas cinta kamu."

Aku terbangun tiba-tiba dari tidurku. Langsung duduk sembari mengatur napas yang tak beraturan. Apa itu?

Kuusap wajah mencoba menyingkirkan peluh yang bercucuran. Pagi ini badan terasa pegal. Selimut yang menutupi tubuh pun membuatku berkeringat.

Kamar tampak berantakan. Aku seperti bernostalgia pada adegan one night stand sebuah sinetron. Aku menyusup ke dalam selimut yang menjuntai ke lantai. Meraih baju Arya di sana.

Mataku melebar menatap sobekan di bagian pinggir kaus itu. Bagaimana bisa aku seagresif ini padanya?

Lupakan! Yang terpenting adalah kondisiku saat ini. Aku berdiri di samping tempat tidur setelah memakai kaus Arya, lalu mengikat dua sisi yang sobek alias LDR-an itu.

Perlahan menyibak selimut, tepat di tempat aku tidur tadi bercak merah tercetak jelas di sana. Bukan mimpi ternyata! Duh, bisa-bisanya aku melakukan itu? Ini semua salah Arya!

Orang yang kusalahkan itu malah tidur terlentang. Menampilkan punggung tegap nan kulit putihnya. Pipiku kembali merona mengingat kejadian semalam.

Sesegera mungkin aku memungut pakaian yang berserakan dan meluncur ke kamar mandi. Sampai aku selesai mandi, Arya tidak boleh bangun dari tidurnya. Bisa-bisa malu aku digoda olehnya sebab semalam.

"Pagi, Sayang."

Sapaan itu kuterima saat ke luar dari kamar mandi. Aku menatap Arya yang tengah asyik memotret noda darah di seprai kami. dasar pria gila! Untuk apa memotret noda itu?

"Berhenti motret noda itu," ucapku penuh ancapan. Arya malah tertawa. Ia kemudian bangun dari ranjang. Syukur pria itu memakai celanaya kembali semalam.

Arya memelukku erat sambil mengecup pucuk kepalaku. Sesekali ia mengelus lembut punggu. "Seneng ngak semalam?"

Aku memukul dadanya ia malah semakin tertawa. "Ciee ... yang udah ex-virgin."

Tanpa ia duga aku mendorong tubuhnya menjauh lalu cemberut menatapnya. Arya memegang bahu dan mengecup kening. "Thanks." Ia lalu bergegas ke kamar mandi meninggalkan aku yang membeku karena perlakuan manisnya. Lagi.

Sepertinya ada yang aku lupakan. Wajahku berubah datar, kening kukerutkan sambil menatap sinis pintu kamar mandi. "Wudu gue batal karena lo!"

Tawa keras terdengar dari dalam kamar mandi. Jadi tadi dia mengerjaiku? Dan bodohnya aku malah meleleh hanya karena sikapnya itu!

Kalau boleh disantet, aku akan melakukan hal itu pada Arya sekarang juga. Berani sekali memporak-porandakan hatiku!

Setelah salat Subuh, aku membereskan tempat tidur yang menjadi pergulatan kami semalam. Arya tengah melakukan olahraga ringan di ruang olahraga.

Aku turun ke bawah, menyiapkan sarapan untuk pria itu. Sandwich sudah siap disajikan.


MantanAbleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang