PAGI ini, hujan tiba begitu tega kala matahari belum sepenuhnya menampakkan diri. Menambah udara dingin yang perlahan merambat masuk hingga ke segala penjuru ruangan.Pemuda itu terlihat sama mendungnya dengan langit pagi ini. Ia berdiri di hadapan jendela kamarnya yang mengarah langsung ke halaman rumah. Dingin yang menusuk hingga ke tulang pun ia abaikan, mata serupa bulan sabitnya menerawang jauh ke depan, bersamaan dengan rintik hujan yang jatuh memukuli bumi.
Ingatan-ingatan itu datang seiring dengan rinai yang jatuh di atas dedaunan. Menariknya hingga ia seakan lupa bagaimana caranya bernapas. Ingatan masa kecilnya yang perlahan terputar dengan sangat baik, tanpa bisa ia lewatkan salah satu bagiannya.
-Jakarta, 2009-
"Yeay hujan, aku suka hujan..."
Kaki kecil itu mulai berlarian mengelilingi halaman rumah yang ditumbuhi rerumputan hijau. Melangkah tanpa ragu, mengabaikan kakinya yang tidak dialasi apapun.
Seluruh tubuhnya mulai basah seiring derasnya air hujan yang turun, ia lalu menengadah keatas, membiarkan tetesan air itu mengenai wajahnya secara langsung.
Gema menyukai hujan, karena hujan tidak datang dengan maksud yang jahat, dia hanya datang untuk membasahi, bukan melukai.
Dengan begitu, ia semakin yakin membelah riuhnya hujan dengan senyum yang masih setia terlukis di wajahnya.
Namun tanpa Gema sadari, diam-diam ada binar yang memperhatikannya dari balik jendela. Bocah dengan jaket hangat yang membungkus tubuhnya, melihat dengan tatapan tertarik ke arah Gema.
Jemarinya terangkat dan perlahan mendarat di permukaan kaca, fokus anak itu masih terpaku pada apa yang Gema lakukan. Rasanya pasti sangat menyenangkan bisa bermain di bawah hujan.
Netranya kemudian mengarah ke segala penjuru ruangan, mencari keberadaan sang Bunda yang katanya pergi ke dapur namun tak kunjung kembali.
Menganggapnya sebagai kesempatan, anak itu lantas segera berlari keluar rumah setelah sempat melepas jaketnya. Menghampiri hujan dan membiarkan tubuh yang semula hangat itu menyentuh dinginnya tetesan air.
Gema nampak terkejut melihat kehadirannya, dengan langkah setengah berlari akhirnya Gema menghampri.
"Lembayung? Kamu main hujan juga?" seru Gema begitu langkahnya tiba di hadapan bocah bertubuh kurus itu.
"Kenapa? Memangnya kamu aja yang bisa main hujan?" Lembayung membalas dengan lantang, suaranya bahkan memecah riuhnya hujan.
"Bunda nggak marah?"
Lembayung berdecak, ia menghiraukan ucapan Gema dan memilih menghindar. Kemudian meniru apa yang sebelumnya Gema lakukan, melompat dan berlarian di bawah guyuran hujan.
Namun hal itu tidak bertahan lama, sampai kemudian langkah kaki lain datang dengan mendung yang mengiringi.
"Astaga Bayu! Kamu nggak boleh hujan-hujanan. Ini basah semua, kamu bisa sakit."
Wanita itu datang dengan raut khawatirnya, segera memayungi tubuh Lembayung dan menyelimutinya dengan handuk tebal.
"Sudah Bunda bilang berapa kali, jangan hujan-hujanan! Tubuh kamu itu gampang sakit dan Bunda nggak mau hal itu terjadi."
Lembayung menghela nafas, ia sudah memperkirakan hal itu. Bundanya akan marah.
"Kamu sebelumnya nggak pernah melakukan hal yang Bunda larang. Siapa yang ngajak kamu, huh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Dilupakan
Fanfiction[𝐎𝐧 𝐠𝐨𝐢𝐧𝐠] Katanya, senja adalah hal yang paling dielukan dan dinantikan. Namun bagaimana jika senja itu hanyalah omong kosong. ...seperti garis kehidupan seorang pemuda bernama Gema Langit Senjakala-yang hadirnya tidak pernah diharapkan. So...