06. Tetap Hidup 🍁

3.2K 466 37
                                    

-Jakarta, 23 April 2011-

Hari ini, tepat pada tanggal dua puluh tiga bulan april, Gema telah genap berusia tujuh tahun. Namun ia hanya diam, terduduk di pinggir jendela kamarnya. Tidak ada perayaan dan ucapan selamat ulang tahun yang ia dapatkan. Rumahnya dingin dan sepi, bersamaan dengan seluruh orang di rumahnya yang pergi sejak beberapa saat lalu. Tentu untuk merayakan ulang tahun Lembayung di suatu tempat spesial, lalu bagaimana dengan dirinya? Bukankah ia juga berulang tahun. Tetapi sepertinya mereka semua lupa, atau bahkan tidak perduli.

Selama beberapa tahun kebelakang, sebenarnya Gema tidak pernah mempermasalahkannya. Ketika Bunda hanya membuat satu kue untuk Lembayung, ketika lilin itu hanya di tiup oleh Lembayung, dan ketika mereka hanya menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Lembayung. Gema tidak meraung meminta semua hal yang saudara kembarnya dapatkan, ia hanya tetap tersenyum meski hatinya diam-diam merasa tidak adil.

Sejujurnya Gema sempat merasa marah dan kecewa, tapi dia tidak bisa melakukan apapun. Dia hanya berusaha mengerti keadaanya. Dan kalaupun ia harus egois dan merajuk, bukankah itu wajar? Karena Gema hanyalah anak kecil yang belum mengerti apa-apa.

Gema melihat keluar jendela, menatap hampa keatas langit yang semula berwarna biru, hingga senja perlahan membuatnya berubah menjadi kelabu, ungu, kemudian orange kemerahan. Gema tersenyum, dalam kondisi apapun senja selalu hadir menemaninya.

Matanya ia biarkan menjelajah keatas langit, bersamaan dengan kesadarannya yang tenggelam dalam lamunan panjang. Beberapa kali suara kendaraan diluar rumah mengusiknya dengan suara deru mesin yang cukup keras. Namun pikiran anak itu tetap melayang tanpa bisa dihentikan.

Hingga satu helaan nafas terdengar, Gema akhirnya sadar ia telah melakukan hal yang sia-sia dengan melamun. Anak itu lalu berdiri, membawa langkah kecilnya menuju nakas yang terletak di samping tempat tidurnya.

Matanya terpaku pada sebuah benda yang terpajang di atas nakas itu, sebuah action figure yang salah satu tangannya telah copot karena dengan sengaja di banting oleh saudara kembarnya. Namun Gema tetap membiarkan benda itu terpajang apik di nakasnya, benda berharga miliknya yang ia dapat dari sang Ayah satu tahun sebelum pria dewasa itu pergi untuk selamanya.

"Selamat ulang tahun anak Ayah. Selamat bertambah usia. Tetap menjadi anak kuat dan hebat kebanggaan Ayah, ya? Ingat, jangan pernah sedih lagi. Gema harus happy terus, okay?"

Gema tersenyum getir, menikmati sesak yang tiba-tiba datang hingga membuatnya ingin menangis. Ia rindu sosok Ayahnya.

Gema lalu memejam, berusaha menata kembali hatinya yang tak berbentuk. Ingatan tentang sang Ayah masih menjadi kelemahan terbesar yang akan selalu ia simpan dan ia kenang ketika rindu membuatnya merasa tercekik.

Gema menarik nafas panjang, tangan kecilnya lalu beralih meraih korek api yang sengaja ia simpan di dalam laci. Perlahan, di tengah senja yang sibuk membakar langit, Gema mulai menyalakan korek api tersebut dan mengarahkannya ke hadapan mulutnya.

Hingga kemudian, helaan nafas dari mulutnya berhasil membuat api kecil itu padam sepenuhnya. Gema meniupnya, menganggap korek api itu adalah lilin ulang tahunnya.

"Selamat ulang tahun. Tetap hidup, walaupun tidak ada yang menginginkan kamu hidup... "

Ucapnya lirih pada dirinya sendiri, di susul dengan sebuah senyum sendu yang terlukis bersamaan dengan angkasa yang berubah gelap.

...

GEMA sudah lupa kapan terakhir kali ia berada di meja makan, terduduk di hadapan banyak hidangan yang tersaji dan berada di tengah-tengah keluarganya.

Senja Yang Dilupakan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang